SALAMATAKAKI #10: Merayakan Pesta Cerita, Memestakan 30HariBercerita Raya
Setiap cerita mempunyai nilai. Tidak ada yang terlalu remeh untuk dibagikan.
Sundea
Penulis kelontong. Dea dapat ditemui di www.salamatahari.com dan Ig @salamatahari
21 Februari 2023
BandungBergerak.id - “Aku bawa bukunya, kok,” kata Kira.
“Ok. Nanti aku pinjam, ya, buat ingat-ingat lagi hehe,” sahutku.
Siang itu, 12 Februari 2023, aku datang ke Bagi Kopi Signature di bilangan Jalan Surya Sumantri untuk menghadiri Pesta Cerita. Pesta Cerita adalah ajang kopi darat untuk teman-teman 30HariBercerita (aku ceritakan selengkapnya nanti, ya).
Karena peserta 30HariBercerita tersebar di seluruh Indonesia, Pesta Cerita diadakan di berbagai kota, termasuk Bandung. Aku, yang awalnya hanya ingin datang bersilaturahmi, malah diminta membantu mengulas buku Ini Mimpi Budi, karya bersama peserta 30HariBercerita yang terbit 2017 silam. Rupanya Pesta Cerita edisi Bandung butuh bala bantuan. Hanya ada dua sukarelawan sekaligus admin @30HariBercerita—Sigit dan Vito—yang stand by di Bandung. Itu sebabnya Kira dan Eru, sukaralewan dari Yogyakarta, jauh-jauh datang.
30HariBercerita
Awalnya, 30HariBercerita adalah proyek personal teman baikku (yang ingin identitasnya dirahasiakan). Pada tahun 2012, ia menantang diri untuk menulis secara konsisten di blog selama 30 hari. Sejak tahun 2016 tantangan itu ia pindahkan ke Instagram. Siapapun boleh ikut menulis bersamanya. Aturan mainnya, kita yang ikut diharapkan konsisten bercerita di akun Instagram masing-masing selama 30 hari. Terdapat tagar harian yang wajib dicantumkan agar tulisan kita mudah ditemukan dan dapat dibaca oleh peserta lainnya. Setiap hari akan ada cerita yang diunggah ulang di akun Instagram @30HariBercerita.
Jika dalam rentang 30 hari ada waktu kita tak sempat menulis cerita, merapel diperbolehkan. Apakah akan ada sanksi jika kita melanggar aturan main ini? Tidak ada, sebab pada dasarnya 30HariBercerita merupakan komitmen kita kepada diri sendiri.
Konsisten hadir setiap tahun membuat tantangan 30HariBercerita semakin luas. Selain pesertanya semakin banyak, tantangan 30HariBercerita pun mulai menjalin kerja sama dengan pihak lain, di antaranya platform Karyakarsa, dan sudah bisa menggarap cendera mata sendiri yang dijual di lokapasar.
Terus berkembang, 30HariBercerita membutuhkan lebih banyak tenaga penggerak. Barisan sukarelawan yang menjadi admin @30HariBercerita ikut ditambah. Tugas membaca dan mengunggah ulang cerita pun harus dibagi-bagi dalam shift. Ribuan cerita masuk setiap hari dan teman-teman yang menggawangi @30HariBercerita berusaha membacanya dengan cermat satu per satu.
Buku Ini Mimpi Budi
Ini Mimpi Budi adalah karya bersama peserta 30HariBercerita yang diterbitkan secara swadaya. Isinya tulisan teman-teman 30HariBercerita pada tahun 2016.
Di tantangan 30HariBercerita, sesekali ada tema tertentu yang harus kita ikuti. “Mengarang” adalah tema yang rutin muncul. Pada tema ini, kita disuguhi paragraf tidak utuh yang harus dilengkapi. Budi selalu menjadi tokoh utamanya. Sebetulnya ini tema paling sulit karena satu kalimat dengan kalimat yang lain sering nyaris mustahil dihubungkan. Namun, entah mengapa tema inilah yang paling sering ditanyakan kapan hadirnya oleh peserta.
Setelah edisi pertama kehadiran Budi di tahun 2016, cerita seru karangan teman-teman diseleksi untuk dibukukan. Berhubung setiap cerita—yang memang dibuat untuk unggahan Instagram—sangat pendek, tulisan-tulisan yang akan dimuat di dalam buku diminta diperpanjang sedikit. Maka, 16 teman yang tulisannya terpilih, antara lain A. Hilman, Jihan Suweleh, dan Agatha Astari yang juga membuat ilustrasi untuk Ini Mimpi Budi, merevisi tulisan masing-masing dengan seru.
Baca Juga: SALAMATAKAKI #9: Galeri Grey dan Bangunan Cagar Budaya Pelantang Seni
SALAMATAKAKI #8: Film Pesantren, Stigma Runtuh Toleransi Tumbuh
Pesta Cerita
“Aku mau baca lagi dulu bukunya sebelum bahas nanti. Soalnya aku agak lupa isinya, udah agak lama, ehe,” aku mengaku kepada Kira.
Sebagai “pemain lama” yang ikut menyaksikan kelahiran Ini Mimpi Budi, aku diajak terlibat dalam agenda acara Pesta Cerita. Banyak peserta 30HariBercerita yang belum tahu tentang buku ini karena belum lama bergabung dengan 30HariBercerita. Jadi, alangkah serunya jika “Ini Mimpi Budi” diperkenalkan kepada mereka. Siapa tahu di lain waktu peserta 30HariBercerita akan membuat karya bersama lagi, setuju, nggak?
Sambil membuka lembar-lembar Ini Mimpi Budi milik Kira yang mulai menguning, Kira dan aku melakukan kilas balik ke tujuh sampai delapan tahun silam. “Waktu itu aku ngadmin masih sehari penuh sendirian, Kak,” kenang Kira.
Aku jadi ingat, ketika memutuskan untuk menyusun buku Ini Mimpi Budi, tidak mudah memilih cerita yang akan dimuat dalam buku. Padahal jumlah cerita yang masuk ke meja redaksi belum sebanyak sekarang. Demi mempermudah, kala itu kami mencoba membuat tabel-tabel kategori untuk tema-tema yang sering muncul.
Saat memeprkenalkan Ini Mimpi Budi kepada peserta Pesta Cerita, kusadari waktu telah menitipkan banyak sekali kisah kepada tantangan bercerita ini; baik melalui perjalanannya sendiri maupun melalui cerita teman-teman yang kian lama kian beragam. Aku mengamati wajah-wajah teman baru yang hadir di Bagi Kopi Signature. Sebagian di antaranya mengaku sebagai fresh graduate yang baru tahun itu bergabung dan merampungkan tantangan menulis 30 hari.
Setelah membahas Ini Mimpi Budi, kami masuk ke sesi lokakarya. Peserta dibagi dalam kelompok dan diminta bekerja sama membuat kolase cerita dengan huruf-huruf yang disediakan panitia.
Karya dan pengalaman setiap kelompok sangat beragam. Ada tema kepalsuan yang dikemas secara jenaka. “Karena kita semua palsu, (jadi supaya nggak palsu) pertama-tama kita harus jatuh cinta dulu ke diri sendiri,” cetus Frizka salah satu anggota kelompok tersebut.
Ada pula yang mengangkat tema melepaskan perasaan dengan “teriakin aja” lantas meminta teman yang paling pemalu dan sulit bersuara lantang untuk membacakan hasil karya kelompok. Kelompok lainnya saling berdiskusi dengan sungkan-sungkan karena takut ide mereka tidak cocok dengan ide teman-teman lain.
Di sesi terakhir, teman-teman diberi kesempatan berbagi pengalaman selama ikut 30HariBercerita. Eru menemukan teman baru yang menjadi sobat ngelapak paling klop hingga saat itu, sementara Sigit berkata: “Adanya 30HariBercerita adalah tempat untuk saya hening.”
Sigit yang bekerja di sebuah korporasi dengan segala ritme dan tuntutannya membutuhkan ruang untuk melepas stres. Meskipun hanya sempat menjadi admin shift malam, Sigit bersedia menjadi sukarelawan 30HariBercerita. “Padahal kalau malam tulisan yang masuk paling banyak,” komentar Kira.
Stanley, yang selalu mengaku bernama Budi, mengatasi patah hati dengan menulis. Sementara bagi Lenny, 30HariBercerita adalah titik balik. “Ada suatu masa selama beberapa tahun saya nggak bisa menulis,” aku Lenny. Tantangan 30HariBercerita “memaksa”-nya menulis secara konsisten. Ternyata bisa, sebab bukankah tak ada satu hari pun yang tak mengandung cerita?
Salah seorang peserta bertanya, mengapa 30HariBercerita tidak dibuat lebih panjang, lebih lama daripada sekadar 30 hari. Ternyata, teman baikku yang merahasiakan identitasnya itu sudah menitipkan jawaban. “Supaya 11 bulan berikutnya, teman-teman bisa membuat tantangan sendiri”. Di Yogyakarta misalnya, sudah ada komunitas @yogyakartabercerita. Mungkin ada di antara teman-teman yang jadi terinspirasi untuk membuat program serupa?
Aku percaya banyak kebaikan yang lahir dari pertukaran cerita. Ada kawan baru, sudut pandang baru, kecermatan membaca peristiwa, refleksi, pilihan topik obrolan yang bukan gunjingan semata, serta kesadaran yang berpendar seperti pelita di dalam kepala.
Setiap cerita mempunyai nilai. Tidak ada yang terlalu remeh untuk dibagikan. Buktinya, di Pesta Cerita, ketika Bandung sedang dingin-dinginnya akibat hujan yang turun tak henti-henti sejak subuh, sekelompok manusia di Pesta Cerita tetap terjaga dalam hangat.
Tetap terjaga dalam hangat, sebab mereka dipeluk erat-erat oleh cerita-cerita kecil maupun besar.