Diskusi Masih Satu, Masih Melawan; Memperkuat Akar Rumput Memperpanjang Napas Perjuangan
Eva Erliyani sebagai satu-satunya warga Tamansari yang bertahan dari penggusuran rumah deret. Keberadaan Eva sebagai penanda langgengnya ketidakadilan.
Penulis Emi La Palau14 Februari 2022
BandungBergerak.id - “Saya tidak mau lagi ada kezaliman-kezaliman karena membiarkan Pemkot (Pemerintah Kota) dengan adanya penggusuran di Tamansari. Itu mungkin yang menjadi salah satu tanggung jawab saya kenapa saya sampai hari ini masih diam, bertahan di sana,” ungkap Eva Eryani (52), dalam diskusi Masih Satu, Masih Melawan, di Aula Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) di Jalan Merdeka, Kota Bandung, Minggu (13/2/2022) sore.
Diskusi tersebut menghadirkan Eva Erliyani, Deti Sopandi, Lasma Natalia, dan Fay sebagai narasumber, dan Wanggi Hoed sebagai seniman pantomim. Diskusi ini sebagai rangkaian penutupan pameran foto Kisah Senyap yang diinisiasi oleh PannaFoto Institute yang bekerja sama dengan Kurawal Foundation dan Unpar, sejak 4 hingga 13 Februari 2022.
Eva mengatakan, rasa tanggung jawab itulah yang mendorongnya tetap bertahan. Ia menjadi satu-satunya warga yang masih bertahan di atas lahan Tamansari RW 11 yang menjadi area pembangunan Rumah Deret. Sebagai rakyat, ia merasa memiliki ada hak untuk menuntut pemerintah memenuhi hak-hak warga negara sebagaimana dijamin dalam konstitusi, hak atas tanah dan ruang penghidupan yang layak.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Tri Joko Her Riadi selaku dosen Interated Arts Unpar, Eva banyak menceritakan bagaimana ia sebagai rakyat biasa, yang tak paham persoalan hukum dan peraturan, lalu dihadapkan pada kondisi pemberangusan hak secara sewenang-wenang oleh pemerinta kota, sehingga mau tak mau ia harus kembali belajar mempelajari konstitusi sebagai amunisi untuk melawan.
Hingga kini, keyakinannya untuk memperjuangkan hak atas ruang hidupnya semakin kokoh. Ia semakin paham bahwa memang selama ini pemerintah melanggar hak-hak yang seharusnya dijamin, hak atas papan, akan hidup yang layak. Keberadaannya di Tamansari menjadi penanda bahwa napas perjuangan akan hak hidup masih ada. Meski tinggal seorang diri, toh ia masih tetap melawan.
Dalam perjalanannya, bertahan di tengah konflik tentu membutuhkan energi yang tak sedikit. Dibutuhkan waktu panjang untuk terus mengawal kasus. Selama bertahan, Eva ditemani pendamping hukum dari PHBI Jabar, Deti Sopandi.
Kasus Tamansari merupakan satu dari sederet konflik tanak di Kota Bandung. Upaya memperjuangkan hak hidup juga dilakukan warga Anyer Dalam, warga Kebon Jeruk, warga Dago Elos. Hingga kini, mereka terus bertahan melawan kezaliman di tanah air sendiri.
Belajar Menjadi Manusia
Di Tamansari, Deti Sopandi tak hanya membantu warga mengadvokasi kasus. Dari perjalanan panjang tentang persoalan sengketa lahan itu, ia banyak belajar. Salah satunya menjadi manusia. Di tengah kondisi sosial yang tak sehat ini ia mengambil sikap untuk tetap mendampingi warga. Baginya hal ini seperti panggilan hati nurani. Sebagai manusia, ketika melihat ketimpangan yang terjadi, sudah selayaknya bergerak dan membantu dengan kemampuan dalam bidang masing-masing.
“Di Tamansari itu aku belajar jadi manusia, ketika kita melihat ketimpangan yang terjadi baik itu di keluarga kita, di tetangga kita, di sosial kita, kita menyadari, lalu melakukan konfrontasi mengkritisi, apa pun itu dengan cara kita,” ungkapnya.
Menurutnya, seorang manusia yang tidak memiliki kewarasan hati nurani untuk bersolidaritas belum dibilang manusia.
Sudah lima tahun, ia mendampingi warga dalam sengketa Tamansari. Selama itu ia tentu membutuhkan kekuatan untuk bertahan. Apalagi yang dilawan adalah pihak yang memiliki kuasa besar. Sebagai perempuan, ia juga menghadapi kondisi lapangan yang tak mudah, beberap kali ia sempat mendapat pelecehan secara verbal dari para mandor pekerja rumah deret.
Namun, tekad dan keberanian itu tak pernah luntur. Sembari terus belajar, mengadvokasi, juga tetap bekerja untuk menyambung kehidupan. Agar perlawanannya tetap berjalanan. Sebagai seorang perempuan, juga sebagai manusia.
“Kita harus berjuang, kerja ya kerja, adapun kita berkegiatan lain dikerjakan, kita manusia, kerja, kehidupan juga tetap jalan. Perjuang ini napasnya panjang, toh 5 tahun ini kalau kita ngak stabil kita akan lenyap,” katanya.
Anak Muda dan Akar Rumput
Perampasan lahan, penggusuran paksa, menjadi persoalan hak asasi mendasar yang perlu terus diperjuangkan bersama. Dibutuhkan kesadaran bersama secara kolektif untuk memperpanjang napas perjuangan itu. Anak-anak muda dalam hal ini menjadi bagian terpenting. Hadirnya Aksi Kamisan Bandung, menjadi satu wadah edukatif tentang HAM dan mendekatkan isu HAM pada anak-anak.
Pegiat Aksi Kamisan Bandung, Fay mengungkapkan bagaimana ia tertarik dengan isu-isu HAM. Berawal dari yang hanya melirik Aksi Kamisan Bandung di seberang Gedung Sate, hingga kini ia bergerak langsung dengan rekan-rekannya.
Menurutnya, HAM merupakan hal fundamental atau paling dasar yang harus diperjuangkan. Sehingga masalah HAM harus dipahami bersama.
Masalah HAM tidak harus berkaitan dengan masa lalu. Fay melihat bagaimana pelanggaran-pelanggran hak asasi masih terus terjadi hingga kini baik di Bandung maupun di Indoneisa umumnya.
Ia juga melihat persoalan HAM kini tak lagi mengawang-ngawang. HAM semakin dekat denga anak muda, semakin dekat dengan zaman mereka.
“Kita tidak berkiblat dari masa lalu, bahwa kita harus menemukan formula-formula kita sendiri. bagaimana kita menemukan cara kita sendiri untuk menghadapi tantangan zaman yang akan datang. Di Aksi Kamisan Bandung kita mencoba hal-hal itu, dan bagmana sebanyak mungkin kita merangkul kawan-kawan terdekat, kawan-kawan kuliah, kawan pelajar, dan sebagainya. Untuk sama-sama kita mempelajari tentang HAM,” ungkapnya.
Perjuangan atas hak-hak asasi itu tentu tak bisa berjalan seorang diri. Fay mengatakan Aksi Kamisan Bandung selalu membuka diri kepada siapa pun. Menurutnya, sebagai anak muda, penting kiranya untuk terus hadir dan memahami bersama persoalan-persoalan saat ini.
“Memang sangat penting untuk kita pelajari (HAM). Jangan sampai kita istilahnya apatis terhadap hal-hal seperti itu. Hal-hal tersebut penting dan memang kita gak bisa berjalan secara sendiri. kita harus bareng-bareng untuk menghadapi tantangan zaman hari ini,” katanya.
Baca Juga: Satu yang Bertahan dari Gusuran Rumah Deret Tamansari
ANAK-ANAK BANDUNG DI TENGAH PENGGUSURAN #2: Di bawah Lindungan Masjid Al Islam Tamansari
Pertanyaan tentang Kemerdekaan dari Buruh dan warga Tamansari Bandung
Hukum sebagai Alat untuk Melanggengkan Ketidakadilan
Direktur Lembaha Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Lasma Natalia memaparkan bahwa terdapat pola yang sama sejak dulu hingga kini dalam hal pemberangusan suara-suara yang melawan. Yaitu melalui pemberangusan orang berekspresi, berpendapat dan menebar ketakutan.
Pola tersebut diperkuat dengan hadirnya UU ITE yang dapat mengkriminalisasi masyarakat dengan pasal pencemaran nama baik. UU ITE membuat ruang kritis dipersempit.
Sepanjang 2021 lalu, Lasma memaparkan sejumlah pelanggaran HAM yang menimpa masyarakat, mulai kriminalisaasi terhadap pejuang lingkungan, kriminalisasi terhadap kaum minoritas dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan kriminalisasi terhadap buruh.
Adanya kasus-kasus kriminalisasi bisa diartikan bahwa hukum tak lagi dipakai untuk melindungi masyarakat yang lemah dan rentan.
“Kan padahal kita bilang hukum harusnya membela masyarakat, melindungi masyarakat, tapi kemudian hukum digunakan untuk menekan warga, menakut-nakuti termasuk itu membenarkan penggusuran, membenarkan orang tidak mendapatkan haknya,” ungkap Lasma.
Perlawanan, Penanda Keberadaan
Diskusi sore itu ditutup dengan penampilan pantomim dari Wanggi Hoed. Dalam penampilan yang berdurasi 10 menit itu, Wanggi mencoba menerjemahkan persoalan perjuangan akan hak-hak yang tercerabut itu. Perlawanan menurutnya adalah sebuah penanda dari keberadaan.
“Jadi perlawanan itu adalah keberadaan kita. Ketika kita melawan sesuatu termasuk melawan apa pun itu, oligarki hari ini, rezim hari ini, atau penggusuran dan penolakan tambang, termasuk melawan diri sendiri, itu adalah keberadaan kita,” ungkap Wanggi, kepada Bandungbergerak.id.
Perlawanan-perlawana dari warga Tamansari, Dago Elos, Anyer Dalam, dan lainnya menjadi titik-titik api dan menjadi penanda akan keberadaan warga yang bertahan dan melawan. Di penghujung penampilan, Wanggi mencoba membangkitkan semua penonton yang duduk untuk berdiri dan memeluk. Bagian ini, menurutnya sebagai satu tanda penyadaran kepada seluruh masyarakat yang saat ini mungkin masih menutup mata, atau bahkan tertidur kala saudaranya yang lain mengalami penindasan, penggusuran, dan lain-lai.
“Saya memainkan untuk yuk kita bangunkan kembali orang-orang yang sudah lupa, yang belum sadar di sekeliling kita tidak baik-baik saja. Bahkan diri kita sendiri tidak baik-baik saja mungkin dengan kondisi pandemi dan sebagainya, makanya pilihannya dengan musik, suara-suara untuk mengingat kembali,” ungkapnya.
Dengan latar lagu dan suara-suara nyanyian dari warga Tamansari ketika melakukan aksi, Wanggi bermaksud mengingatkan kembali dan menyadarkan akan spriti perjuangan dan kesadaran bersama mengenai perjuangan. Ia ingin membangunkan lagi orang-orang yang tertidur dengan pulas kala saudara atau tetangganya yang lain di tengah pekat malam sedang berjuang melakukan perlawanan.
“Hari ini bayangin saja jam dini hari aparat menyerang, kita dalam kedaan tidur, terus para warga yang sedang digusur tempatnya itu sedang melakukan perlawanan,” tuturnya.
Dalam segala aspek kehidupan, ketika hal itu direcabut dengan paksa, tentu harus diperjuangkan. Dan sebagai masyarakat, untuk melawan kekuatan besar, melawan sistem, tak hanya cukup seorang diri. Harus bersama, berkolektif untuk bisa menang.