• Berita
  • Diskusi dan Pameran Arsip Hari Pantomim Sedunia di Bandung, Sesuatu yang Besar Berawal dari Hal-hal Paling Sederhana

Diskusi dan Pameran Arsip Hari Pantomim Sedunia di Bandung, Sesuatu yang Besar Berawal dari Hal-hal Paling Sederhana

Hari Pantomim Sedunia diperingati di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung. Pengunjung mendapatkan pengetahuan penting tentang kekuatan arsip.

Penampilan dari Gendis Utoyo (pantomim), Ratimaya (pendongeng), dan Diandra (musik perkusi) di peringatan Hari Pantomim Sedunia di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Jumat, 22 Maret 2024. (Foto: Adelia Putri Rejeki/BandungBergerak.id)

Penulis Adelia Putri Rejeki27 Maret 2024


BandungBergerak.id – Berangkat dari membaca biografi tokoh-tokoh besar, seniman pantomim Wanggi Hoediyatno alias Wanggi Hoed berusaha memecahkan keingintahuannya tentang hal-hal yang ingin diketahui. Ia mulai mengumpulkan kliping tentang berbagai hal sampai akhirnya mengadakan pentas seni pantomim dan pameran arsip. Baginya, arsip sangat penting untuk menyimpan ingatan karena manusia memiliki ruang ingatan terbatas. 

“Semua yang besar datang dari yang paling sederhana,” begitu kata Wanggi, di sela-sela peringatan Hari Pantomim Sedunia di Kedai Jante Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Sabtu, 22 Maret 2024. Ia yakin, tidak ada satu pun orang yang hidup di dunia tanpa arsip, minimal dokumentasi dirinya.

“Awalnya saya membaca biografi tokoh-tokoh besar, seperti Albert Einstein, Mahatma Gandhi, Charlie Chaplin, sampai pada Marcel Marceau. Timbullah pertanyaan di kepala saya, ‘kok mereka bisa ya jadi tokoh besar?’ Akhirnya saya sadar karena ingatan manusia terbatas, maka arsip penting sekali, ke depannya kita juga tidak tahu akan jadi apa, mungkin bisa jadi sesuatu yang besar,” ungkap pria  35 tahun, seraya menunjukan pameran arsip.

Di Hari Pantomim Sedunia itu Wanggi mengadakan pertunjukan kolaboratif dan memamerkan arsip-arsip pantomim. Pameran ini dilakukan selama dua hari, 22-23 Maret 2024. Dalam rangkaiannya juga diperingati Hari Musik Nasional (9 Maret), Hari Dongeng (20 Maret), Hari Air (22 Maret), serta diskusi tentang arsip oleh peneliti pantomim Baharzah Martin, seniman performance art Angga Wedhaswara, dan Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id Tri Joko Her Riadi.

Baca Juga:BANDUNG HARI INI: Palagan Perang Kota Kembang
Warga Kurang Mampu di Bandung Bisa Mendaftar JKN KIS secara Online dan Offline
Mengenal Diri Bersama Seniman Pantomim Bandung

Koleksi surat kabar milik Wanggi Hoed di pameran peringatan Hari Pantomim Sedunia di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Sabtu, 22 Maret 2024. (Foto: Adelia Putri Rejeki/BandungBergerak.id)
Koleksi surat kabar milik Wanggi Hoed di pameran peringatan Hari Pantomim Sedunia di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Sabtu, 22 Maret 2024. (Foto: Adelia Putri Rejeki/BandungBergerak.id)

Peran Arsip Dokumentasi Seni dalam Sejarah

Baharzah Martin, peneliti pantomim mengatakan, proses mencari referensi literatur pantomim di Indonesia masih sangat jarang ditemukan. Hanya ada dua buku pantomim yang ditemukan, buku Prof. Dr. James Danandjaja tentang Pantomim Suci Betara Berutuk dari Trunyan, Bali, dan buku dosen ISI Yogyakarta, Nur Iswantara tentang Metode Pembelajaran Pantomim Indonesia.

Baharzah sendiri telah menyusun tesis S2-nya tentang pantomim Wanggi Hoed. Ia merasa terbantu dengan arsip-arsip yang dikoleksi Wanggi. “Peran arsip untuk dokumentasi seni sangat berguna bagi sejarah, karena mampu memberi khazanah literatur bagi Indonesia,” ungkap Baharzah.

Peran signifikan arsip juga dirasakan seniman performance art Angga Wedhaswara. Sejak dulu ia sadar melakukan pendokumentasian secara mandiri, menyimpan leaflet, katalog, brosur, atau selebaran bekas pertunjukan. Baginya, arsip-arsip adalah artefak.

Angga menggunakan dokumentasi-dokumentasinya sebagai perpanjangan tangan karya seninya, juga sebagai evaluasi pertunjukan. Pendokumentasian suatu karya artinya membiarkan suatu karya memiliki nasibnya sendiri.

“Kalau seniman perupa yang ditampilkan ketika pameran yakni lukisan, sedangkan kalau seniman performance yang ditampilkan ketika pameran biasa saya menyebutnya artefak-artefak berupa dokumentasi, video, foto, atau benda-benda yang digunakan saat pertunjukan. Karena seni performance yang kami gunakan sifatnya sementara, kalau diulang rasanya berbeda. Biasanya kalau perform di tempat yang berbeda, pasti rasanya juga berbeda, orang-orang yang nonton juga berbeda, saya menyebutnya arsip hidup,” terang Angga.

Menurut Angga, arsip sebagai jendela untuk melihat masa lalu, melihat bagaimana peristiwa apa yang terjadi saat itu. Dan dari artefak-artefak kita bisa merunut siapa menulis siapa dan kita bisa merunut semirip apa plagiasinya, melihat apakah terinspirasi atau plagiasi. Begitulah pentingnya arsip bagi seniman pertunjukan yang karya-karyanya tidak bisa diulang.

Angga menegaskan, ingatan manusia sangat terbatas. Maka, arsip sangat diperlukan untuk mengingat suatu pertunjukan seni. Karena terbatasnya ruang ingatan, manusia sering salah mempersepsikan nilai-nilai atau bahkan alur suatu pertunjukan.

“Arsip ingatan itu bisa kurang bisa utuh, semakin banyak orang yang bisa mengungkapkan sebuah momen, maka semakin kaya dan memperkuat sesuatu, khususnya suatu pertunjukan yang rentan persepsi penonton,” tambah Angga.

Baca Juga: Menggugat Makna dalam Diam, Cara Pantomim Mengekspresikan Trauma
Bandung Hari Ini: Aksi Seniman Pantomim Wanggi Hoed Dihentikan Polisi
Hari Pantomim Sedunia 2023 di Bandung: Perayaan Menembus Keheningan

Seni dan Jurnalisme

Seni, khususnya pantomim belum menjadi prioritas pemberitaan media. Jika diperhatikan, banyak media massa yang menempatkan seni atau budaya dalam rubrik-rubrik khusus yang terbit setiap akhir pekan, ketika waktu santai dan senggang. Media merasa cukup memberitakan seni budaya seminggu sekali. Hal ini karena seni budaya tidak akan sebanding dengan isu ekonomi, politik, dan lain-lain yang bergulir setiap hari.

“Beberapa media ada yang menaruh perhatian khusus menyoroti isu seni budaya, misalnya fokus ke musik, subkultur. Namun, media tersebut jarang ada yang awet, kebanyakan bertahan 1 sampai 2 tahun yang akhirnya lenyap,” kata Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id Tri Joko Her Riadi.

Menurut Joko, arsip bagi media sangat penting. Apa yang diberitakan hari ini, esok, lusa, atau bahkan satu tahun ke depan akan menjadi arsip yang banyak dicari oleh orang yang membutuhkan.

“Penting sekali arsip bagi media, apalagi peran media untuk mencatat sejarah yang terjadi hari ini. Orang jadi bisa melihat apa yang terjadi 5 tahun, 10 tahun, atau bahkan lebih dari apa yang diberitakan media hari ini,” jelas Joko.

Namun memberitakan peristiwa seni memerlukan keahlian tersendiri bagi jurnalis, sebab banyak di antara mereka yang tidak tahu caranya meliput seni, menulis berita pameran lukisan, atau membaca lukisan. Ketika jurnalis memilih menulis seni, mereka harus bertanggung jawab untuk terus belajar. Melatih jurnalis untuk meningkatkan kapasitasnya dalam peliputan seni membutuhkan waktu, maka sedikit media atau newsroom yang meluangkan waktunya untuk itu.

“Menuntut jurnalis untuk membangun kapasitasnya itu sulit, bahwasanya berinvestasi ke jurnalis untuk menulis pemberitaan seni budaya itu rumit dan membutuhkan waktu. Kebanyakan media atau newsroom tidak sabar dengan itu,” tambah Joko

Seorang jurnalis yang memiliki sense of seni terlihat berbeda. Dari cara mereka melakukan reportase, menulis berita, cara mereka mengambil gambar pasti mengalami perubahan. Namun jurnalis yang fokusnya pada seni semakin jarang. Ini terjadi karena media sering kenyang dengan berita sehari-hari dan luput pada hal-hal yang berbau seni, seperti teater, tari, dan puisi.

“Dengan sumber daya terbatas akan sangat sulit mengharapkan media punya satu reporter yang kuat dan mengerti dengan liputan seni,” ungkap Joko.

Karena seni belum menjadi prioritas media, maka media membuka ruang pengarsipan, penulisan ataupun tentang seni lainnya. Media tidak jadi orang yang sok tahu ketika datang untuk meliput, tapi justru menyediakan wadah untuk opini atau mewadahi apa yang bisa diceritakan oleh komunitas seni.

“Riwayat jurnalis khususnya di Indonesia yang menikmati seni banyak menjadi tokoh atau orang yang berpengaruh, bahkan banyak dari mereka yang menyeberang menjadi penulis, karena begitu dekatnya dengan menulis,” kata Joko.

*Kawan-kawan bisa mengakses karya lain dari Adelia Putri Rejeki, atau topik-topik lain terkait Seni Pantomim

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//