• Literasi
  • Membicarakan Polemik Angkatan Sastrawan Indonesia di Klub Buku Laswi

Membicarakan Polemik Angkatan Sastrawan Indonesia di Klub Buku Laswi

Salah satu sesi Klub Buku Laswi, Bandung, membicarakan polemik angkatan atau periodisasi di dunia sastra Indonesia antara HB Jassin dan Ajip Rosidi.

Diskusi Klub Buku Laswi tentang Ajip Rosidi berjudul Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastera Indonesia, di komplek Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Rabu, 6 Desember 2023. (Foto: Iman Herdiana/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana25 Desember 2023


BandungBergerak.idHB Jassin pernah mengumumkan tulisan berjudul “Angkatan 66, Bangkitnya Satu Generasi”. Tulisan yang tayang di majalah sastra Horison Agustus 1966 ini menggolongkan sastrawan Indonesia ke dalam angkatan tahun 66, sebuah angkatan baru setelah angkatan Chairil Anwar atau angkatan 45, angkatan 50, dan lain-lain. Ada yang setuju dan ada yang menolak dengan penggolongan oleh Jassi. Polemik pun meledak.

Masalah angkatan di dalam dunia sastra diangkat dalam diskusi rutin Klub Buku Laswi dengan tema mengupas buku Ajip Rosidi berjudul “Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastera Indonesia”, di komplek Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Rabu, 6 Desember 2023.

Diskusi ini cukup menarik karena dikupas oleh generasi muda yang jauh berjarak dengan masa Angkatan 66 atau sebelumnya. Muhammad Akmal Firmansyah dari Klub Buku Laswi sekaligus jurnalis BandungBergerak.id, menjadi pemantik.

Paragraf di awal tulisan ini merupakan paragraf pembuka dari buku Ajip Rosidi yang diterbitkan Pustaka Jaya, Bandung, 2019. Menurut Ajip, masalah angkatan merupakan masalah yang peka sekali dalam dunia sastra Indonesia.

“Sekitar tahun 1949 masyarakat sastra Indonesia pun ramai berpolemik tentang ‘Angkatan Chairil Anwar’ yang kemudian terkenal dengan nama ‘Angkatan 45’. Beberapa tahun kemudian timbul pula masalah ‘Angkatan sesudah Chairil Anwar’ yang dikenal juga dengan nama ‘Angkatan 50’ dan ‘Angkatan Terbaru’,” tulis Ajip Rosidi.

Sebelum polemik yang dipicu tulisan HB Jassin, Ajip sudah menulis tentang Angkatan Terbaru pada ranah sastra Indonesia. Menurut Ajip, yang dimaksud dengan Angkatan 66 oleh Jassin kebanyakan adalah pengarang-pengarang yang telah digolongkan ke dalam Angkatan Terbaru.

“Artinya banyak pengarang yang saya golongkan kepada Angkatan Terbaru ternyata digolongkan Jassin juga ke dalam angkatan 66. Dengan kata lain: Jassin memulai angkatan 66 nya dengan para pengarang yang saya sebut Angkatan Terbaru,” tulis Ajip Rosidi.

Angkatan Terbaru versi Ajip Rosidi atau Angkatan 66 versi Jassin lahir dari kenyataan bahwa ada pengarang-pengarang yang tak bisa lagi digolongkan ke dalam Angkatan 45. Para pengarang itu, tulis Ajip, ialah yang menurut Jassin “telah giat menulis dalam majalah-majalah sastra dan kebudayaan sekitar tahun 1955-an seperti Kisah, Siasat, Mimbar Indonesia, Budaya, Indonesia, Konfrontasi, Cerita, Prosa, Sastera, Basis, dan lain-lain”.

“Artinya, baik saya maupun Jassin sebenarnya telah sama-sama merasakan dan melihat bahwa memang telah lahir sesuatu yang baru dalam sastera Indonesia setelah angkatan 45,” terang Ajip.

Kritik Ajip Rosidi pada H.B Jassin

Buku “Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastera Indonesia” yang ditulis Ajip Rosidi berisi kritik terhadap HB Jassin, yang pada masanya disebut kritikus sastra paling terkemuka di Indonesia.

Muhammad Akmal Firmansyah sebagai pemantik diskusi, misalnya, menyinggung pertanyaan kritis Ajip Rosidi pada H.B Jassin tentang landasan apa saja untuk memasukan seorang pengarang ke dalam suatu angkatan.

Akmal kemudian mengutip pernyataan Pramoedya Ananta Toer yang masuk ke dalam angkatan 45. Pramoedya beralasan bahwa angkatan terkait erat dengan lingkungan atau latar belakang si pengarang.

“Bagi Pram angkatan merupakan kesatuan jiwa, lingkungan, dan ikatan yang sama,” kata Akmal, yang pertama kali membaca buku Ajip Rosidi pada semester 1 kuliah di UIN SGD Bandung.

Deni Rachman, pemilik Toko Buku Bandung sekaligugs penggagas Klub Buku Laswi, mengatakan periodisasi sastra Indonesia mestinya dilakukan secara menyeluruh dimulai dari sastra berbahasa Melayu pasar (sastra klasik). Bahasa Melayu pasar dipakai sebelum ada bahasa Indonesia yang dikenal sekarang ini.

“Bahasa Melayu pasar dipakai oleh orang-orang nusantara, aktivis pergerakan, termasuk pengarang, untuk menjalankan pergerakan nasional,” kata Deni.

Pendapat Deni diiyakan Indra Prayana, pemiliki Jaringan Buku Alternatif. Diperlukan parameter yang jelas dalam memasukkan siapa saja sastrawan yang masuk ke dalam suatu angkatan, misalnya angkatan pujangga baru dan angkatan pujangga lama.

Lalu, bagaimana dengan sastrawan yang berkiprah sebelum angkatan pujangga lama. Padahal mereka telah memberikan corak tersendiri pada sastra atau perkembangan bahasa Indonesia.

“Parameter siapa yang menentukan si A masuk pujangga baru dan pujangga lama jadi bias karena mengesampingkan sastra prabahasa Indonesa, mengesampingkan sastra Melayu pasar yang berkontribusi pada pemikiran pergerakan Indonesia,” kata Indra seraya menambahkan persoalan bias itulah yang dikritik Ajip Rosidi.

Baca Juga: Sastra Perlawanan
Silaturahmi Sastra Sunda
Suardi Tasrif, dari Sastra, Jurnalistik, hingga Advokat

Kritik untuk Generasi Kekinian

Ajip Rosidi merupakan sastrawan yang memiliki banyak karya. Sayang, generasi sekarang belum tentu membaca karya-karya Ajip Rosidi. Padahal dari buku-buku yang ditulis Ajip Rosidi banyak sekali ilmu yang bisa digali.

Dyah Setyowati Anggrahita, salah seorang pelanggan diskusi Klub Buku Laswi mengatakan Ajip Rosidi telah banyak menulis kritik sastra, membiacarakan roman, menuliskan pengarang-pengarang Indonesia, dan lain-lain. Sepeninggal Ajip Rosidi, Dyah merasa belum melihat adanya penerus atau regenerasi.

“Dalam buku Hidup Tanpa Ijazah terasa menggerutu, (Ajip) banyak menerbikan buku tapi bukan best seller (jarang dibaca),” kata Dyah.

Hadirnya Klub Buku Laswi yang membicarakan pemikiran Ajip Rosidi diharapkan bisa menjadi tongkat estapet bagi generasi muda. Namun peserta Klub Buku Laswi pun itu-itu saja.

Memang, peserta diskusi Klub Buku Laswi tak banyak, antara 15 sampai 10 orang. Tetapi begitulah kultur diskusi buku di Bandung, kecil tapi jalan terus. Jarang sebuah diskusi dihadiri ratusan atau lebih orang.

Indra Prayana mengapresiasi diskusi Klub Buku Laswi yang telah masuk periode ke-42. Diskusi buku penting bagi regenerasi pertukaran wacana khususnya tentang sastra yang terbilang jarang.

Meski peserta diskusi tidak banyak, Indra menyatakan yang penting diskusi ini digelar secara terus-menerus tanpa putus. Ia yakin suatu saat dari diskusi-diskusi kecil akan lahir generasi tercerahkan. Contohnya, bisa jadi di antara peserta diskusi ke depannya ada yang menempati jabatan strategis, jadi caleg atau politikus atau profesi apa pun.

Ajip sendiri di mata Indra merupakan salah satu generasi yang tercerahkan yang lahir dari keterbatasan zaman. Di masa lalu, kata Indra, mungkin Ajip sulit mengakses diskusi-diskusi sastra ketika ia masih tinggal di kampung halamannya di Jatiwangi. Untuk membaca buku, Ajip harus mencari perpustakaan yang jaraknya berkilo-kilo meter dari rumahnya.

“Beda dengan sekarang, akses ke informasi dan buku dimudahkan dengan teknologi. Di situlah kekuatan Ajip Rosidi seorang otodidak tulen, mandiri,” kata Indra yang termotivasi oleh buku Ajip Rosidi berjudul “Hurip Waras” dan “Hidup Tanpa Ijazah”.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan lain Iman Herdiana atau artikel-artikel lain tentang Sastra Indonesia 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//