ULAS FILM: Pangku, Perempuan yang Terpinggirkan, dan Tubuh yang Bekerja
Film Pangku adalah karya debut Reza Rahadian sebagai sutradara, yang membawa kita menyusuri kehidupan seorang ibu tunggal yang berjuang bertahan hidup di perantauan.
Penulis Lisa Nurjanah20 November 2025
BandungBergerak.id – Kira-kira sudah dua dekade lamanya Reza Rahadian berada dalam industri perfilman melalui perannya sebagai aktor. Kini, ia mengolah beragam pengalaman-pengalaman di industri itu dengan menyajikan sebuah film. Pangku (2025) adalah karya debut Reza Rahadian menjadi sutradara, yang membawa kita menyusuri kehidupan seorang ibu tunggal di mana ia tengah berjuang untuk bertahan hidup di perantauan.
Pantura bukanlah wilayah yang ingin Sartika (Claresta Taufan) singgahi. Ia tidak sedang berpelesir. Atau setidaknya, yang terpenting dalam benaknya adalah ia harus segera mendapatkan pekerjaan, tak peduli di mana dan bagaimana bentuknya. Apalagi, ia tengah berada dalam kondisi hamil. Truk yang ditumpanginya terpaksa menurunkannya, pun disertai dengan stigma perempuan mencari kerja pada malam hari adalah perempuan “tidak benar”, bisa membawa sial. Berbeda dengan laki-laki yang malam hari masih bisa bekerja menjadi sopir truk, pilihan perempuan untuk bekerja seperti lebih terbatas.
Di ambang kebingungan, Sartika pun bertemu dengan Maya (Christine Hakim) di warung kopi miliknya. Maya menawarkan Sartika bekerja di warungnya menjadi penyaji kopi pangku, di mana perempuan menyajikan kopi sambil duduk di pangkuan pembelinya, yang tentu saja, konsumen sasarannya adalah para lelaki. Meski terlihat seperti pekerjaan yang berisiko karena seolah menjadikan perempuan sebagai objek, Maya bukanlah tokoh yang bisa dilihat sebagai tokoh negatif. Justru, sudut pandangnya dipengaruhi oleh pembentukan proses sosial budaya dan tekanan ekonomi. Maya sadar betul, kehadiran Sartika bisa menjadi kesempatan demi melariskan warung yang sepi. Bagi kelompok marginal seperti Sartika dan Maya, pemikiran idealis bisa menghalangi mereka untuk bertahan hidup.
Awalnya, saya mengira Pangku akan menjadi film yang membuat lelah dan triggering melalui konflik yang disajikan. Namun, selama hampir satu jam, film justru cenderung tenang. Setelah melahirkan Bayu (Shakeel Fauzi), Sartika menjalani hari-harinya dengan menjadi penyaji kopi pangku –mengajak ngobrol konsumen menggunakan pakaian minim, bernada genit, sambil terkadang meminta dibelikan rokok. Apresiasi yang tidak boleh saya lewatkan atas film ini adalah bagaimana kamera tetap berada dalam jarak wide shot, alih-alih memberikan sorotan di area tubuh tertentu. Sehingga, penonton masih terus berfokus pada alur cerita ketimbang membicarakan adegan yang mengobjektifikasi tubuh perempuan.
Kehadiran Hadi (Fedi Nuril), seorang sopir truk ikan yang sempat mampir di warung kopi, menjadi katarsis bagi kehidupan Sartika. Seakan termasuk ke dalam kategori lelaki baik, Hadi tidak pernah meminta Sartika duduk di pangkuannya. Justru, kepala Bayu yang berada di pangkuan Hadi, seolah menjadi isyarat pemuda itulah yang akan menemani hari-hari ibu dan anak itu di masa mendatang. Tak lama, keduanya jatuh cinta, sesuatu yang lumrah apabila dilihat dari aspek biologis manusia, tetapi sering kali menjadi rumit akibat faktor sosial, budaya, serta ekonomi.
Baca Juga: Kematian Rakyat Seperti di Film-film
ULAS FILM: Kekerasan yang Tak Diperlihatkan, Pemanfaatan Off-Screen Violence dalam Film Babon
ULAS FILM: Panggil Aku Ayah, Film Adaptasi yang Membumi
Pemanfaatan Tubuh Pekerja Perempuan dan Konsep Chosen Family
Kelompok marginal adalah mereka yang terabaikan oleh negara, mengakibatkan adanya kesulitan akses sumber daya demi hidup lebih baik. Pangku, yang berlatar tahun 1998 sampai kisaran tahun 2000-an, memperlihatkan potret kemiskinan struktural. Kelompok marginal hanya bisa berupaya memenuhi kehidupan sehari-hari, yang bagi perempuan, diwujudkan dengan pemanfaatan tubuh. Akibat mereka terabaikan oleh negara, kelompok marginal lebih terbebas dari beragam kekangan, norma, tabu, dan nilai moral. Tubuh pun akhirnya menjadi sesuatu yang bersifat material dan sekuler.
Terdapat tiga masalah utama yang dihadapi perempuan saat mereka berada dalam sistem ekonomi-politik, khususnya ketika tubuh, tenaga, maupun identitas mereka diperlakukan sebagai bagian dari komoditas. Pertama, masalah ekonomi politik tubuh, yakni bagaimana aktivitas tubuh perempuan dimanfaatkan dalam berbagai aktivitas ekonomi, didasarkan pada konstruksi sosial atau ideologi tertentu. Kedua, masalah ekonomi politik tanda, yaitu bagaimana perempuan diproduksi sebagai tanda dalam suatu sistem pertandaan, khususnya pada masyarakat kapitalis yang membentuk identitas diri mereka. Ketiga, masalah ekonomi politik hasrat, yakni bagaimana hasrat perempuan disalurkan atau direpresi dalam berbagai bentuk komoditi, terutama dalam hiburan dan tontonan.
Pangku menyajikan masalah pertama: Bagaimana tubuh perempuan dapat menjadi jalan pintas mendapatkan keuntungan. Permasalahan politik ekonomi ditunjukkan melalui hal kecil seperti saat Maya mengatakan, “Lagi krisis moneter gini, cari kerja susah!” serta suara berita terkait pemerintah di saluran media massa. Ini menjadi penanda bahwasanya permasalahan di pemerintahan sering kali berdampak pada masyarakat. Sayangnya, masyarakat marginal hanya mendapatkan dampak masalah dari negara saja, tidak diiringi dengan solusi bagaimana nasib mereka ke depannya. Motivasi Sartika dan perempuan lainnya bekerja menjadi pelayan kopi pangku, setidaknya dipengaruhi juga oleh tiga hal: (1) Adanya tuntutan memenuhi kebutuhan dan tekanan ekonomi dalam keseharian; (2) Rendahnya tingkat pendidikan sehingga membatasi pilihan mencari pekerjaan; dan (3) Adanya keinginan untuk hidup secara mandiri.
Kita, sebagai penonton, bisa membangun empati atas apa yang terjadi, karena penyajian film ini begitu manusiawi. Alih-alih memberikan bumbu konflik seperti penghakiman atas pekerjaan yang dijalani, apalagi di posisi Sartika dengan satu anak masih kecil, Pangku menunjukkan bagaimana terbangunnya komunitas atas dasar masalah yang sama. Sartika, Maya, dan perempuan lainnya di wilayah tersebut membentuk ikatan kekerabatan non-biologis, atau disebut juga chosen family. Tak ketinggalan, Jaya (Jose Rizal Manua) selaku suami Maya, yang, meski tidak berbicara, juga menyayangi Sartika melalui bahasa kasih dari tindakannya. Berbeda dengan nuclear family yang terbentuk karena adanya hubungan sedarah, chosen family sengaja dipilih dengan tujuan saling mendukung dan mencintai.
Biasanya, seseorang akan mencari chosen family-nya jika dia sudah merasa tidak diterima lagi oleh keluarganya, sehingga memilih untuk mencari penerimaan di tempat lain. Meski tidak dijelaskan secara gamblang apakah Sartika diusir dari rumah, hal itu sudah tampak jelas dengan heningnya sikap Sartika ketika ditanya oleh Maya. Dalam hal ini, kita sebagai penonton bisa menafsirkan film tidak melulu dari dialog karakternya, karena film adalah kombinasi dari suara dan visual pada layar. Hal ini disebabkan ketika saya menulis ini, saya membaca sebuah komentar di TikTok, “Sartika itu diusir apa enggak, sih? Enggak terjawab juga di film.” Padahal, diamnya karakter juga merupakan jawaban dan bisa ditafsir melalui alur cerita. Pun, tidak ada adegan yang menunjukkan Sartika ingin pulang ataupun mengirimkan uang pada ibunya. Ini sudah menjadi jawaban yang tidak perlu diperdebatkan.
Perempuan sebagai Subjek yang Terimbas
Adegan pembuka di mana Sartika diturunkan atas alasan “bisa membawa sial” dan “perempuan enggak bener”, yang dilontarkan oleh pihak lelaki, justru menunjukkan sikap kontradiktif. Dalam artian, ketika laki-laki seperti cenderung menghindari perempuan-tidak-benar itu, malah mereka juga yang berkunjung datang kepada perempuan demi afeksi.
Bahkan, akhir dari film ini juga tidak menghadirkan kebahagiaan sepenuhnya. Sartika seakan tidaklah cukup jika disakiti oleh hanya satu lelaki. Mulai dari dirinya yang hamil dan menghidupi anaknya sendirian, terpaksa harus mengulangi siklus itu kembali ketika hamil anak kedua. Dalam hubungan romansa, tidak pernah ada kepastian apakah jika kita mengalami pengalaman pahit, kebahagiaan akan muncul setelahnya melalui pasangan yang lebih baik. Sayangnya, cinta tidak pernah memberi kepastian untuk itu. Perempuan, sering kali menjadi subjek yang terimbas akibat kegagalan lelaki, dan alasannya tidak pernah pasti. Seperti, uang yang dikirimkan dari hasil jerih payah istri pun, tidak mengamini bahwa ia akan merasa cukup dengan satu istri (Ingat, Hadi diperankan oleh Fedi Nuril).
Namun, tidak dipungkiri bahwa hal semacam ini memang berpotensi terjadi, karena negara tidak menyediakan lapangan kerja yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi. Alhasil, para perempuan harus pergi mengadu nasib ke luar negeri, meninggalkan suami yang kesetiaannya tidak pasti. Pangku tidak menyajikan adegan beradu argumen atau bermain fisik, tidak seperti saat sang sutradara bermain dalam serial Layangan Putus (2021), di mana ada sebuah scene epik yang viral diperbincangkan akibat akting Putri Marino.
Pangku banyak memanfaatkan komunikasi implisit –tanpa harus diucapkan melalui dialog– kita bisa turut berempati atas apa yang para karakter rasakan. Dan bagi seseorang seperti Sartika, perlawanan atau pembelaan diri sudah cukup melelahkan. Ia tidak punya waktu menangisi nasib menyedihkannya, sebab masih ada nyawa yang bergantung padanya. Pun, menuntut Hadi atas tindakannya saja tidak akan terpikirkan. Sartika tidak dapat mengharapkan keadilan, karena sejak awal, sebagai perempuan yang terpinggirkan, ia telah menjadi subjek yang selalu terdampak atas kegagalan: baik itu oleh laki-laki maupun negara.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

