• Opini
  • Kematian Rakyat Seperti di Film-film

Kematian Rakyat Seperti di Film-film

Kita mesti memulai refleksi terhadap realitas politik hari ini melalui fiksionalisasi terhadapnya dalam bentuk film.

Irfan Fauzan

Masyarakat Sipil

Populisme menjadi realitas politik kita saat ini. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

12 Juni 2025


BandungBergerak.id – Dalam Hegel: Three Studies (1963), Theodor Adorno, filsuf neo-Marxis dari Mazhab Frankfurt, merumuskan prinsip penting dalam membaca filsafat Hegel: “The question is not what Hegel still has to offer us today, but rather how things appear in his eyes.” Baginya, dalam melihat pemikiran filsuf besar seperti Hegel, kita tidak menjadikan pemikirannya sebagai artefak museum yang dipajang di dinding tak tersentuh. Melainkan sebaliknya, pemikirannya hanya mungkin dimengerti bila kita dialektikakan dengan dunia hari ini. Pertanyaannya bukan: "Apakah Hegel masih relevan dan aktual untuk dunia hari ini?" Melainkan: "Bagaimana dunia hari ini tampak jika dilihat dari posisi Hegel?"

Bagi saya, pendekatan ini juga yang mesti kita gunakan dalam melihat film Seperti Jatuh Cinta di Film-Film (2023) karya Yandy Laurens. Film ini mengisahkan seorang penulis skenario bernama Bagus (Ringgo Agus Rahman) yang ingin menyatakan cinta kepada Hana (Nirina Zubir) melalui film yang ia tulis sendiri. Rintangan utamanya adalah kondisi trauma –atau jika boleh menggunakan terma TikTok: avoidant attachment– yang dimiliki Hana akibat kematian suaminya. Ada semacam deadlock di antara keduanya: Bagus percaya bahwa bagaimanapun Hana berduka hari ini, itu semua akan berlalu –dan Hana akan menerima cinta Bagus. Di sisi lain, Hana merasa selesai dengan cinta– kematian suaminya adalah akhir dari sejarah cintanya.

Yang menarik di sini, tentu saja, romantisisme Bagus yang ingin menuliskan sebuah film didasarkan atas kisah keduanya dalam agenda, sebagaimana telah disebutkan, menyatakan cinta dan menunjukkan kepada Hana bahwa cinta itu masih mungkin. Namun, kesimpulan yang ia dapat setelah membuat film justru lebih penting. Ia mengatakan, kira-kira: bahwa tujuan dirinya membuat film bukanlah untuk menyatakan cinta kepada Hana dan sebagainya, melainkan –akhirnya ia menyadari– untuk memahami bagaimana trauma Hana dan posisi dirinya terhadap trauma itu.

Tidakkah ini setia pada prinsip Adorno? Bagus membuat film pada akhirnya bukan untuk menyatakan bahwa "beginilah besarnya cintaku kepadamu, Hana". Melainkan justru: bagaimana kondisi trauma Hana terhadap dirinya dalam realitas hanya mungkin dipahami melalui apa yang tampak dalam tataran fiksi film. Untuk benar-benar mencengkeram totalitas keadaan yang ada dalam realitas –terutama dalam upaya memahami teka-teki kondisi trauma Hana– hanya mungkin dilakukan bila Bagus menganalisis kemungkinan-kemungkinan yang tampak dalam film.

Inilah yang dimaksud Jacques Lacan, psikoanalis dari Prancis, sebagai retroactive truth (nachträglichkeit). Dalam psikoanalisis Lacan, kebenaran bekerja secara retroaktif –bukan ditemukan saat kejadian, tetapi dibentuk setelahnya, ketika peristiwa itu dimasukkan ke dalam narasi simbolik. Sekali lagi, ini disebut nachträglichkeit: makna tidak pernah hadir secara langsung; ia selalu tertunda dan hanya muncul ketika kita menengok ke belakang dan menyusunnya sebagai "sejarah”.

Baca Juga: Film di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor, Menggemakan Suara Warga yang Menolak Rencana Pengeboran Panas Bumi di Gunung Tampomas
Pemutaran Film Marsinah di Bandung, Kisah Perjuangan Buruh Perempuan yang Masih Relevan dengan Kondisi Dunia Kerja Saat Ini
Analisis Film Leviathan (2014): Kekuasaan, Hukum, dan Yang Tak Bernama

Aktualitas dalam Realitas

Untuk menambah penggambaran, pernyataan Hayao Miyazaki akan membantu. Dalam wawancara di The New York Times mengenai filmnya How Do You Live? (2021), Miyazaki ditanya: "Apakah kamu akan menjawab pertanyaan yang diajukan judul filmmu, How Do You Live? (Bagaimana Anda Hidup?)". Sambil tertawa ia menjawab: "I'm making this movie because I don't have the answer" (Saya membuat film ini karena saya tidak punya jawabannya). Usaha kreatif Miyazaki dalam membuat film datang dari kegagalan dia memahami hidup. Dengan membuat film berjudul How Do You Live?, Miyazaki tidak bermaksud memberi tahu Anda bagaimana hidup itu, melainkan menciptakan realitas fiktif –film– dalam upaya mengaktivasi kesadaran atas realitas nyata yang selama ini dihidupinya.

Untuk kembali ke Hegel, inilah pandangan dialektika dalam bentuknya yang paling murni: bukan hanya potensialitas ide dituangkan dalam aktualitas dalam realitas (ide tentang kursi sebagai potensialitas, teraktualisasi dalam realitas sebagai kursi empiris), melainkan juga hal aktual dalam realitas mengaktifkan, atau, merealisasikan potensi laten yang sebelumnya terpendam (ketika saya merujuk sesuatu sebagai "kursi", saya memprofilkan potensialitas apa saja yang terpendam dalam intensi untuk menggunakan "kursi").

Namun, barangkali Anda bertanya, untuk apa kita menghabiskan waktu dalam persoalan dialektika yang abstrak ini? Karena: jika ada satu hal yang diperlukan di tengah kondisi deadlock politik kita hari-hari ini, tidakkah hal itu adalah sebuah film yang memprofilkan potensi malapetaka yang ada dalam diri rakyat melalui sebuah, mengikuti Lacan, kerja retroaktif yang dibentuk dalam narasi simbolik –yakni film? Jika film Bagus menggunakan fiksi untuk memahami trauma personal, bukankah politik juga memerlukan fiksi untuk mengekspos trauma kolektif?

Di sinilah mengapa kita membutuhkan film tentang Prabowo. Kita mesti memulai refleksi terhadap realitas politik hari ini melalui fiksionalisasi terhadapnya dalam bentuk film. Struktur film Prabowo kita ini bisa mengikuti struktur film Jatuh Cinta Seperti di Film-Film: dibagi dalam delapan babak. Babak satu sampai tujuh konflik, babak kedelapan adalah penyelesaian –atau secara teknis disebut resolusi: ketika segala konflik terselesaikan dan dunia cerita masuk ke status baru.

Yang menarik dalam film Jatuh Cinta Seperti di Film-Film adalah plot twist di akhir. Jika Anda belum menonton filmnya, maka segera tinggalkan tulisan ini sebab akan ada spoiler. Dari babak pertama sampai ketujuh, film ditampilkan dengan visual hitam-putih ala film klasik. Namun di babak kedelapan, film tiba-tiba ditampilkan berwarna. Ternyata, babak film yang ditampilkan dengan visual hitam-putih itu hanyalah imajinasi Bagus saat menulis skenario tentang Hana. Babak kedelapan yang ditampilkan berwarna adalah kenyataan dalam cerita film ini. Jadi, segala konflik yang diceritakan di depan adalah palsu. Di babak kedelapan digambarkan bahwa Hana tidak pergi ke mana-mana; bahkan menemani Bagus mengantarkan naskah film ke produser.

Narasi Film

Setelah kita memiliki struktur, kita membutuhkan narasi. Saya terinspirasi mengambil narasi untuk film Prabowo kita ini dari sebuah lelucon banal. Lelucon yang akan saya ceritakan ini vulgar, seksis, dan politically incorrect –dan saya memohon maaf atas itu. Leluconnya begini: Setelah istrinya menjalani operasi yang panjang dan berisiko, sang suami mendekati dokter (yang juga temannya) dan menanyakan hasilnya. Sang dokter mulai berkata: "Istrimu selamat, mungkin dia akan hidup lebih lama darimu. Tapi ada beberapa komplikasi: dia tidak akan bisa lagi mengendalikan otot anusnya, jadi dia akan terus-menerus buang air besar di celana; juga akan ada cairan kental berwarna kuning berbau busuk yang terus keluar dari vaginanya, jadi hubungan seks sudah tidak mungkin lagi. Selain itu, mulutnya akan mengalami gangguan dan dia tidak akan bisa makan tanpa bantuan..."

Melihat ekspresi cemas dan panik yang mulai muncul di wajah sang suami, dokter menepuk pundaknya dengan lembut dan tersenyum: "Tenang saja, aku cuma bercanda! Sebenarnya semuanya baik-baik saja –dia meninggal saat operasi."

Saya sengaja memilih lelucon yang buruk ini sebab menggambarkan keadaan kita: you can't cry anymore, it's too late for that, so you laugh –untuk kemudian sadar! Maka, sekarang kita bisa merumuskan filmnya –film Prabowo kita ini mesti bergenre drama-komedi dengan judul Kematian Rakyat Seperti di Film-Film. Sinopsisnya kira-kira begini:

(Babak 1–7, visual hitam-putih). Dalam situasi krisis, konflik, demonstrasi yang terjadi di mana-mana, kekacauan, ketidakpercayaan rakyat semakin tinggi dan sebagainya, Prabowo berpidato. Dengan retorika seolah dirinya masih kampanye dan gestur tubuh khas Big Brother  ala Orwell, ia berkata: Bangsa kita bangsa besar, rakyat kita akan hidup sejahtera, seluruh anak Indonesia bisa makan gratis. Tidak ada Indonesia gelap, setiap bangun pagi saya melihat Indonesia cerah, fundamental ekonomi kita kuat, dan semua ini akan membawa kita pada romantisme lama: macan Asia! (Rakyat bertepuk tangan, bersorak sorai gemuruh). Namun, Prabowo menambahkan, ada beberapa masalah yang mesti dihadapi: rakyat akan sulit menemukan lapangan pekerjaan, rakyat mesti melihat kesenjangan ekonomi semakin menajam, rakyat mesti tergusur dari tanahnya karena kepentingan korporasi, rakyat terancam demokrasinya karena militer masuk ranah sipil, rakyat terjebak dalam kebodohannya karena pendidikan menjadi barang dagang, rakyat akan diperah tenaga kerjanya sebagai buruh murah atas nama developmentalisme, rakyat akan...

(Babak 8, visual berwarna). Melihat ekspresi cemas dan panik yang mulai muncul di muka rakyat, Prabowo tersenyum lembut. Dengan suara gemas dan bibir indah flamboyan, ia berkata: "Tenang saja, saya cuma bercanda. Sebenarnya semua baik-baik saja –rakyat mati dalam masa pemerintahan saya!". TAMAT.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//