• Berita
  • Film di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor, Menggemakan Suara Warga yang Menolak Rencana Pengeboran Panas Bumi di Gunung Tampomas

Film di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor, Menggemakan Suara Warga yang Menolak Rencana Pengeboran Panas Bumi di Gunung Tampomas

Pengeboran energi panas bumi di Gunung Tampomas bukan sekadar nilai investasi. Di balik itu, kerusakan lingkungan dan ruang hidup warga terancam.

Poster film dokumenter di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor, diproduksi Terracota Films, PBHI Jawa Barat, dan BandungBergerak. (Desain Poster: Taufik Septian dan Athallah Syauqi/Terracota Films)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah22 Januari 2025


BandungBergerak.id - “Det, bapak mah lebih baik mati melawan geothermal, daripada mati karena dampak geothermal,” kata Eme dalam film “Di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor” garapan Terracota Films, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Jawa Barat, dan BandungBergerak. 

Hampir lima belas tahun lelaki sepuh pensiunan guru ini menyerahkan waktu dan tenaganya untuk mempelajari hal ihwal eksplorasi panas bumi yang akan mengancam ruang hidupnya. Ia berjejaring dan belajar banyak bersama para pejuang lingkungan lain yang gigih melawan eksplorasi panas bumi. Ia mengikuti pelatihan paralegal dengan PBHI Jabar. 

Perjuangan Eme dan beberapa masyarakat lain bertahan dan melawan rencana pengeboran panas bumi diabadikan dalam film dokumenter “Di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor”. Film berdurasi 32 menit ini merangkum perjuangan warga kaki Gunung Tampomas, Sumedang, yaitu Kecamatan Buahdua dan Kecamatan Conggeang melawan rencana pengoboran panas bumi di Gunung Tampomas. 

Warga khawatir pengeboran panas bumi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Gunung Tampomas akan mengancam sumber mata air yang menghidupi sebanyak 25 ribu warga serta  mengancam kawasan hutan seluas 12.460 hektare. 

Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa pengeboran panas bumi ini mengganggu ketenangan warga yang sudah hidup bertahun-tahun di sana. Pemerintah pada 2008 menetapkan energi panas bumi sebagai bagian solusi krisis energi dan Gunung Tampomas masuk dalam daftar wilayah kerja panas bumi (WKP) berdasarkan keputusan menteri ESDM  nomor 1456 K/30/MEM/2008. 

Kemudian PT Chevron Geothermal Indonesia mendapatkan izin eksplorasi. Momen ini menjadi titik awal konflik dengan warga. Namun, pemerintah terus bersiasat meloloskan proyek panas bumi ini.  Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumedang menawarkan Geothermal Tampomas dengan nilai investasi 2,6 triliun rupiah dalam West Java Investment Summit (WIJS) 2024. Warga tetap menolak.

“Kita bernegara kesejahteraan untuk masyarakat. Salah satu proyek yang besar, seolah masyarakat menganggap telah setuju, arahan sosialisasinya itu terhadap kepala desa, aparat kecamatan, tapi tidak sampai ke masyarakat, dan seolah-olah sudah terjadi (setuju),” jelas Eme.

Pengeboran panas bumi akan merusak lanskap alam. Bahkan bencana gempa terjadi di PLTP Gunung Salak Indonesia Power. Gempa berkekuatan 3,2 magnitude ini memicu sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Gede Pangrango melancarkan protes ke perusahaan.

Eme juga merasakan getaran dari perut bumi ketika mata bor beroperasi. Meskipun gempanya bersifat minor. Eme teringat dengan gempa berkekuatan 4,8 magnitudo yang mengguncang Sumedang tahun 2024 lalu. Ia menduga gempa berasal dari patahan gempa bumi aktif sesar Cileunyi Tanjungsari yang berjarak 1,5 kilometer timur Kota Sumedang. 

Selain sesar Cileunyi Tanjungsari, Sumedang juga dikelilingi oleh patahan aktif yakni Sesar Tampomas yang membelah Gunung Tampomas, gunung berapi tidur (dormant) sepanjang 8 kilometer dengan komponen pergerakan menurun (normal) dan kecepatan yang belum diketahui. Titik pengeboran Tampomas berada di Kampung Puncak Manik, Desa Cilangkap, Kecamatan Buahdua tidak jauh dari permukiman warga.

“Lebih khawatir pada gempa awal 2024. Hasil penelitiannya terjadi gempa tersebut adanya sesar Tampomas. Kita semakin ngeri di sini akan dibor, di daerah Cimalaka Desa Galudra ditemukan sesar Tampomas, seolah-olah sesar baru,” kata Eme.

Warga di lereng Tampomas posisinya sangat rentan dengan adanya rencana pengeboran geothermal. Kawasan ini dihuni 10 rumah dan satu RT. “Sangat rentan dengan rumah masyarakat karena kan di sini masih ada rumah-rumah masih dihuni oleh masyarakat,” kata Eme.

Warga Cilangkap lainnya, Iin menyampaikan rasa kekhawatirannya juga atas rencana pengeboran panas bumi di Puncak Manik. Menurutnya, pengeboran akan menjadikan tanah gersang seperti yang terjadi di daerah-daerah pengeboran panas bumi lainnya. “Di Kamojang gersang, di Derajat juga gersang. Yang lebih parah di Dieng, “ terangnya.

Iin mengatakan bukan tidak setuju dengan proyek pemerintah di Puncak Manik. Tapi, tidak ada proyek panas bumi yang ramah lingkungan.

Diding, warga Kecamatan Buahdua berharap film ini bisa menginspirasi warga yang berada di titik-titik yang akan dilakukan pengeboran panas bumi. Tidak hanya masyarakat di sekitar Gunung Tampomas.

“Film ini harus diviralkan. Yang dipikirkannya dampaknya bukan hanya keuntungannya, karena banyak yang dilakukan di Dieng, di Derajat, kalau penolakannya rame-rame pemerintah bisa mencari alternatif yang efisien untuk swasembada energi,” jelas Diding.

Diding menuturkan, geothermal bukan satu-satunya energi baru. Ada energi matahari yang bisa menjadi alternatif. Ini yang seharusnya diambil pemerintah.

Baca Juga: Mendengar Kekhawatiran Warga Tampomas di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor Geothermal
Kasus Korupsi PLTU 2 Cirebon, Iklim Panas dan Uang Panas
Warga yang Menolak Pertambangan Panas Bumi Tidak Bisa Dikriminalisasi

Film Adalah Peluru

Bila kata-kata adalah senjata, film adalah peluru. Kalimat ini diimani para punggawa Terracota Films yang memproduksi film dokumenter “Di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor”. Taufik Septian, sutradara, mengatakan film ini sebagai solidaritas visual dan upaya mengarsipkan perjuangan warga. Baginya, film dokumenter harus bisa merespons yang berkembang di masyarakat, seperti geothermal Tampomas.

Dalam sudut pengkaryaan, Taufik menegaskan panas bumi bukanlah sebuah solusi, meski disebut sebagai energi baru terbarukan. Sebab, pengeboran panas bumi mengancam hak hidup warga.

“Kalau proyek ini (geothermal) sebagai solusi, atau solusinya itu, energi terbarukan, kenapa seluas tiga kecamatan yang terancam terhilang di Sumedang, apakah itu sebuah solusi?” kata lelaki yang kerap disapa Opik, dalam diskusi Sabtu Sore #13 di Perpustakaan Bunga Di Tembok, Sabtu, 18 Januari 2025.

Opik menjelaskan, ketika pengeboran dan eksplorasi panas bumi terjadi di Gunung Tampomas, bukan hanya desa dan rumah yang hilang. Akan tetapi peradaban berupa kebudayaan yang hilang. Melalui film, peristiwa yang dialami warga lebih digemakan lagi ke masyarakat luas. Ia meyakini seni atau film bisa menjadi alat perjuangan.

“Bukan cuman warga saja yang terdampak, ada budaya juga yang hilang. proses itu mungkin tidak menjadi pertimbangan oleh pemerintah. Aku berharap semua berkarya dengan tujuan masing-masing, karena seni bisa menjadi alat perjuangan,” ujar Opik.

Hal yang sama dituturkan oleh Didan, peneliti Terracotta Films. Sebelumnya, Didan terlibat dalam film dokumenter ‘Indigenous’ yang menceritakan dampak eksplorasi panas bumi terhadap masyarakat Pangalengan.

“Dulu Indiegounes, anglenya fokus pada budaya masyarakat yang ada di Pangalengan, lebih fokus ke budaya dan sosialnya. Kalau ini, lebih menceritakan perjuangan warga yang terancam penghilangan paksa ruang hidup yang dilakukan pemerintah,” papar Didan.

Saat melakukan riset dengan membuka data terbuka milik pemerintah, Didan menjelaskan pemerintah seakan-akan terus bersiasat menggulirkan proyek panas bumi ini. Ada upaya meredam massa yang menolak. “Siasatnya, membuat sosialisasi membuat pendekatan, agar warga ini menerima proyek ini yang ada di gunung Tampomas dari proyek riset itu kemudian sampai film jadi,” jelas Didan.

Nabila Eva, produser film, menjelaskan film ini lahir dari kolaborasi PBHI Jabar bersama BandungBergerak. Ia menegaskan, kondisi yang dialami warga Tampomas perlu disebarluaskan. 

“Isu Tampomas landai kan kemarin-kemarin, kita cek lagi ke sana,kemudian digodok bareng-bareng (PBHI Jabar dan BandungBergerak). Setelah riset data dan kemudian bikin alur cerita, anglenya dari warga jadi sangat menarik, pendapat tentang geothermal,” jelas Nabila. 

*Kawan-kawan silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Proyek Strategis Nasional

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//