Warga yang Menolak Pertambangan Panas Bumi Tidak Bisa Dikriminalisasi
Upaya kriminalisai mengancam warga yang menolak pertambangan panas bumi. Kejadian ini dialami warga Poco Leok, Nusa Tenggara Timur, dan Gunung Gede Pangrango.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah2 Oktober 2024
BandungBergerak.id - Warga Poco Leok yang tergabung dari 10 masyarakat adat di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur mendapatkan kriminalisasi saat melakukan penolakan pembukaan akses jalan untuk proyek panas bumi atau geotermal, Rabu, 2 Oktober 2024.
Diketahui, proyek panas bumi di Poco Leok merupakan perluasan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) Ulumbu yang telah beroperasi lebih dari satu dekade, jaraknya sekitar tiga kilometer arah barat Pocok Leok. Ekspansi panas bumi di Flores ini bagian dari Proyek Strategis Nasional yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030.
Berdasarkan keterangan resmi yang diterima oleh BandungBergerak, kriminalisasi bermula ketika masyarakat Poco Leok diadang dan tidak diperbolehkan mengambil gambar saat aksi penolakan pembukaan akses ke PLTP, Selasa, 1 Oktober 2024. Acara pembukaan jalan ini dihadiri sejumlah pejabat dari pemerintah kabupaten dan PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN] Persero mendatangi Poco Leok.
Penolakan warga direspons tindakan aparat pengamanan yang mengakibatkan puluhan orang luka-luka sampai tidak sadarkan diri. Empat warga di antaranya ditangkap aparat kepolisian termasuk pimpinan redaksi Floresa.co, Herry Kabut.
Dilansir dari Floresa.co, Herry Kabut ditangkap oleh aparat keamaan saat meliput aksi penolakan warga terhadap proyek strategis nasional PLTP. Hingga berita ini ditulis, ia masih dalam mobil aparat dan belum bisa berkomunikasi.
Menurut keterangan resmi Floresa, saat kejadian Herry sedang meliput aksi protes warga yang sejak sehari sebelumnya berhadap-hadapan dengan pemerintah dan PT PLN menentang upaya pematokan lahan proyek geotermal.
"Herry ke Poco Leok pada 2 Oktober,” tulis Floresa.co, diakses, Rabu, 2 Oktober 2024.
Sejumlah warga berusaha mengambil video dan gambar saat penangkapan Herry. Namun dihalangi-halangi aparat. Atas kejadian kriminaliasi dan kekerasan ini, warga menuntut:
- PLN dan Pemkab Manggarai untuk menghentikan pembangunan proyek geothermal di wilayah Poco Leok?;
- Kapolda NTT dan Kapolres Kabupaten Manggarai, Flores untuk menarik mundur pasukan, menghentikan initmidasi dan kekerasan serta melepaskan warga yang ditangkap;
- TNI untuk menarik mundur pasukannya untuk kembali ke barak.
Baca Juga: Geotermal dan Sebuah Kampung yang Hilang di Pangalengan
Rencana Pembangunan Jalan Tol Soreang-Ciwidey-Pangalengan Mengancam Cekungan Bandung
Dilema Buruh-buruh Muda dalam Deru Pembangunan Majalengka
Kriminalisasi Aktivis Lingkungan di Gunung Gede Pangrango
Penolakan penambangan panas bumi tidak hanya terjadi di belahan timur Indonesia. Warga Gunung Gede Paranggo, Desa Sukatani, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat juga berusaha melawan perampasan ruang hidup dari pertambangan panas bumi.
Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), proyek pertamangan panas bumi akan mengganggu sumber penghidupan warga yang mayoritas bertani.
"Warga Gede juga bergantung penuh pada sumber-sumber mata air –yang akan dibangun wellpad– untuk kebutuhan air bersih sehari-hari sekaligus untuk mengairi ladang dan kebun," tulis JATAM, dalam keterangan resmi, diakses, Rabu, 2 Oktober 2024.
Perjuangan warga Gede Pangrango mempertahankan lahan mereka justru berbuah surat panggilan dari Polsek Pacet, Kabupaten Cianjur. Cece Jaelani, salah seorang warga yang menolak pertambangan panas bumi, dipanggil polisi atas dugaan tindak pidana pidana penghasutan seperti yang termaktub dalam Pasal 160 KUHP.
Cece Jaelani sudah menerima surat pemanggilan kedua pada 4 September 2024 dengan materi yang sama. Ia dianggap melakukan penghasutan di halaman kantor Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Cianjur, 2 Agustus 2024.
Bukan tanpa alasan Cece menolak PLTP Gedepangrango. Ia khawatir keberadaan pertambangan panas bumi berdampak buruk pada warga dan lingkungan.
“Saya meminta transparansi dan keterbukaan yang melibatkan warga, ini menjadi tuntutan kami. Karena ketika geothermal masuk, yang akan menanggung akibatnya semua warga di Gunung Gede yang tidak hanya sebatas satu atau dua desa saja,” ujar Cece Jaelani, dilansir dari laman JATAM.
JATAM juga menilai proses pembukaan akses jalan ke PLTP Gedepangrango tidak transparan dan tidak melibatkan warga, JATAM pun menegaskan bahwa pemanggilan Cece oleh polisi sebagai upaya kriminalisasi.
"Upaya kriminalisasi terhadap Cece bertentangan dengan Pasal 66 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur ketentuan Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (anti-SLAPP)," tulis JATAM.
Anti-SLAPP merupakan jaminan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang tengah memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Mereka tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun digugat secara perdata.
Sebaliknya, JATAM mengatakan, perjuangan Cece Jaelani menjaga kerusakan alam Gunung Gede Paranggo harus dilindungi.
*Kawan-kawan silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Proyek Strategis Nasional