• Liputan Khusus
  • Geotermal dan Sebuah Kampung yang Hilang di Pangalengan

Geotermal dan Sebuah Kampung yang Hilang di Pangalengan

Longsor melenyapkan Kampung Cibitung pada 2015 . Mitigasi belum menjadi prioritas di kawasan eksplorasi geotermal yang akrab dengan getaran dan rawan gempa ini.

Jalur pipa distribusi panas bumi mengular di lereng dan lahan perkebunan di dataran tinggi Pangalengan, Kabupaten Bandung, Senin 16 Oktober 2023. (Foto: Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah17 November 2023


BandungBergerak.id -  Dataran tinggi Pangalengan yang terkenal dingin tidak sanggup mengelak dari terpaan kemarau panjang. Air Situ Aul di kaki Gunung Gambungsedaningsih surut, retakan tanah dan lumpur-lumpur garing tampak di sana-sini. Di kejauhan terlihat sumur Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Wayang Windu yang dikelola Stars Energy. Pipa-pipa geothermal berukuran jumbo melingkar-lingkar seperti ular di antara hamparan perkebunan teh, hutan, dan ladang-ladang sayur yang kepayahan menghadapi musim kering.

Situ Aul berada di Desa Margamukti, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Pada tahun 2015, salah satu kampung di desa ini, Kampung Cibitung, dihantam longsor besar yang memakan korban jiwa. Sejumlah korban bahkan belum ditemukan sampai sekarang. Kampung malang itu sekarang tinggal nama, berganti menjadi ladang sayur yang tak lagi berpenghuni.

Di situ (danau) yang airnya surut itu, beberapa warga sedang memancing. Salah satunya Syarif, 58 tahun, petani asli kelahiran Cibitung yang menjadi saksi tragedi longsor delapan tahun lalu. Dengan mata kepala sendiri, ia menyaksikan tanah bergerak lalu menerjang rumah-rumah.

Syarif lari dan selamat. Namun tidak dengan salah satu anggota keluarga dan sepeda motornya. Semua tertimbun longsoran.

“(Saya) Lumpat ka lebak (lari ke lembah),” tutur Syarif yang setelah bencana longsor itu pindah ke kampung tetangga, Kampung Rancamanyar, Rabu, 11 Oktober 2023.

Siang menjelang sore di hari nahas itu, 5 Mei 2015, Eneng Wartikah, 32 tahun, masih menjalankan rutinitas kesehariannya di rumah. Suami dan mertuanya sedang memeras susu sapi. Keluarga Eneng, sebagaimana mayoritas warga Cibitung, menggantungkan hidup dari hasil bertani atau beternak.

Sekitar pukul 14.38 WIB, Eneng merasakan bumi yang dipijaknya bergetar, disusul suara gemuruh dan ledakan. Tanah bergerak dari atas menerjang kampung halamannya, tapi bunyi ledakan itu dari mana datangnya? Eneng tak punya waktu menjawab. Dia berlari kencang menuju tempat yang dipikirnya aman: masjid.

“Abah juga waktu itu lagi meras sapi. Baru dua perasan, langsung kejadian,” cerita Eneng Wartikah, saat ditemui BandungBergerak.id di kediamannya, Kampung Laksana Mekar RT 01 RW 20, Desa Margamukti, Kamis, 17 Agustus 2023.

Semua berlangsung demikian cepat. Kampung Cibitung lenyap dalam sekejap. Tentang suara kencang yang dia dengar, baru belakangan Eneng tahu bahwa sumbernya adalah pipa panas bumi milik PLTP Wayang Windu yang meledak karena tergerus longsor.

Sampai saat ini Eneng masih merasa ngeri setiap kali mengingat kejadian di Kampung Cibitung. Dia sering waswas ketika merasakan getaran atau bunyi-bunyi yang mengagetkan. “Apalagi ada gempa kecil, suka takut, gemetar,” tuturnya.

Longsor membuat warga yang selamat mengungsi ke aula desa sambil menunggu keputusan relokasi. Eneng dan keluarganya tinggal di aula desa selama dua minggu. Setelah itu, mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mereka sempat tinggal di rumah saudara, kemudian mengontrak, sampai akhirnya bisa membeli sepetak tanah dan membangun rumah sendiri. 

“Karena dipikir-pikir, lumayan juga (biayanya) kalau mengontrak terus mah,” kata Eneng.

Keluarga Eneng akhirnya bisa membangun rumah di lokasi baru. Bukan bersumber dana bantuan, melainkan hasil menjual ternak yang selamat. Ada dua ekor sapi tersisa. Kekurangan dana ditambal dengan pinjaman ke bank.  

Suami Eneng, Asep Tatang Sukmana, 42 tahun, mengaku masih kerap memimpikan kampung halamannya. Pria asli kelahiran Cibitung ini merindukan rumah bedeng milik PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) yang bersama seluruh isinya lenyap tak berbekas ditimpa longsor.

Masih nyimpen (foto) weh dugi ka ayeuna,” ucap Asep sambil menunjukkan foto keluarga ketika masih tinggal di Cibitung

Warga Kampung Cibitung sudah sejak lama tinggal di bedeng-bedeng perkebunan teh. Pada tahun 2015 jumlahnya tercatat sebanyak 54 kepala keluarga (KK) atau hampir 200 jiwa. Sebelum lenyap oleh bencana longsor, Kampung Cibitung merupakan kawasan hunian asri di bawah lembah yang dikelilingi perbukitan dan hutan. Ladang-ladang sayur terhampar di atasnya. Begitu juga pipa-pipa PLTP Wayang Windu yang menyedot energi panas bumi untuk dikonversi menjadi listrik

Di hari nahas itu, guyuran hujan menyebabkan retakan tanah di punggung bukit ambrol. Longsor meluncur ke bawah, menghantam permukiman sejauh sekitar 1,2 kilometer dengan lebar timbunan 300 meter dan tebal empat meter

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, longsor Kampung Cibitung yang terjadi 5 Mei 2015 itu menyebabkan enam orang tewas, tiga orang hilang tertimbun, enam orang luka berat, tujuh orang luka ringan, dan 170 orang mengungsi. Sebanyak 32 unit rumah tertimbun.

Banyak Getaran

Warga Cibitung sering merasakan gempa-gempa kecil. Mereka tidak bisa membedakan mana gempa bumi tektonik, mana getaran akibat pengeboran sumur geotermal karena mereka kerap merasakan getaran-getaran saat PLTP Wayang Windu melakukan pengeboran sumur geothermal. Mereka juga sudah terbiasa melihat asap berwarna putih dari gas panas bumi  muncul dari proyek PLTP.

Beberapa hari sebelum bencana longsor 5 Mei 2015 itu, warga Cibitung melakukan upacara tolak bala karena khawatir akan datangnya bencana. Mereka sudah mendeteksi pergerakan tanah di atas kampung. Getaran-getaran tanah akibat aktivitas geotermal, karena lokasi eksplorasi berdekatan dengan permukiman, juga membuat cemas.

Geraknya unggal wengi, abi monitoring setiap hari. Dulu mah kerasa tiap hari kalau ada pengeboran mah. Gak nyangka seperti itu,” tutur Revi Koswara, 42 tahun, yang pada tahun 2015 itu menjadi Ketua RT (Rukun Tetangga) ketika ditemui Selasa, 15 Agustus 2023.

Sebelumnya, warga sering menemukan retakan-retakan tanah amblas. Upaya mengantisipasinya dengan penanaman pohon dan penutupan oleh semen sudah dilakukan sejak tahun 2012 lalu, tapi terbukti tak kuasa mencegah bencana.

Revi mengaku sampai saat ini masih dihinggapi perasaan bersalah akan nasib warganya yang hidup terpencar pascabencana. Sebagian warga, seperti keluarga Eneng, masih tinggal di wilayah Desa Margamukti. Namun ada juga warga yang masih hidup terluta-lunta. Revi sendiri pindah ke kampung tetangga, Kampung Cibereu, dan menempati rumah aset PTPN. Program relokasi untuk korban longsor tidak lebih dari wacana.

“Jadi susah,” kata Revi. “Pembicaraan-pembicaraan dari pemerintahan seperti lempar bola.”

Kepala Seksi Pemerintahan Desa Margamukti, Kusnadar menjelaskan bahwa pihak desa sebenarnya telah menyediakan lahan kas desa sebagai tujuan relokasi. Lahan ini berada di Tribaktimulya, masih di Desa Margamukti. Ada beberapa warga Cibitung yang pindah ke lahan kas desa ini, meski Kusnadar tidak tahu pasti berapa jumlahnya.

“Saya juga sudah lama tidak mengetahuinya. (Mungkin) Sekitar 8 hingga 10 KK,” katanya.

Saat ini, kata Kusnandar, pemerintah desa sudah tak menangani permasalahan korban longsor. Pembahasan tentang Kampung Cibitung, sejak tahun 2019, sebatas urusan pemekaran RW. Tidak ada pembicaraan tentang bantuan.

Kusnandar juga menyebut ketiadaan upaya mitigasi bencana (serupa) yang dilakukan oleh PT Geothermal Stars Energy. “Secara khusus hampir tidak ada,” ucapnya.

Asep Tatang menunjukkan foto-foto rumah dan keluarganya di Kampung Cibitung sebelum lenyap akibat longsor delapan tahun lalu, Senin 4 September 2023. (Foto: Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)
Asep Tatang menunjukkan foto-foto rumah dan keluarganya di Kampung Cibitung sebelum lenyap akibat longsor delapan tahun lalu, Senin 4 September 2023. (Foto: Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Bantahan demi Bantahan

Longsor Kampung Cibitung mendapatkan pemberitaan luas di media nasional kala itu. Keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Gunung Wayang Windu pun tidak lepas dari sorotan. Pihak perusahaan, juga Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), mengklarifikai bahwa longsor bukan disebabkan pembangunan ataupun pengeboran PLTP.

Presiden Direktur Barito Pacific, pemilik Star Energy, Agus Salim Pangestu mengatakan bahwa jaringan pipa geotermal perusahaannya justru meledak karena tertimpa tanah longsor. Ia menuding pembalakan liar (illegal loging) dan curah hujan tinggi yang terjadi di kawasan tersebut sebagai penyebab.

“Ada yang bilang pipa kami yang menyebabkan longsor. Itu tidak benar. Justru pipa kami meledak karena terkena tanah longsor,” kata Agus Salim yang juga anak dari pendiri Barito Pacific Group, Prajogo Pangestu, dikutip dari Bisnis.com, Rabu, 6 Mei 2015.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Ko nservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana memberikan pernyataan serupa. Longsor yang menjadi penyebab patahnya pipa instalasi geotermal, bukan sebaliknya.

“Dan karena uapnya masih belum tertutup dan tertimbun longsoran, maka seolah-olah timbunan itu kemudian terjadilah seperti ledakan karena tekanannya lumayan besar, 10 bar, dan membuat tanah-tanah yang tadinya menimbun pipa itu berhamburan," tutur Rida dalam konferensi pers, Rabu, 6 Mei 2015.

Bencana longsor menyebabkan dua unit PLTP Wayang Windu sempat berhenti beroperasi. Suplai energi sebesar 227 MW ke PLN untuk memasok listrik sistem Jawa-Madura-Bali (Jamali) pun mandek. Kementerian ESDM, menurut Rida, langsung berkoordinasi dengan BPBD dan aparat pemerintah daerah. Pihaknya juga telah mengingatkan PT. Star Energy untuk membantu korban.

Rida mengklaim, sebelum kejadian Badan Geologi pernah menyarankan agar penduduk sekitar segera diungsikan mengingat kontur tanah yang semakin labil. "Bukan pipanya yang dipindah," ucapnya.

Sumur Geotermal di Daerah Rawan Longsor

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat Meiki W. Paendong mengatakan, proyek geotermal di Pangalengan perlu memperhatikan mitigasi bencana agar longsor seperti terjadi pada 2015 tidak terulang. Mitigasi ini meliputi juga keamanan jalur pipa-pipa geotermal. Apalagi warga setempat sudah sering merasakan gempa-gempa kecil sejak dimulainya eksplorasi.

“Dengan keamanan jalur pipa sudah punya sejarah insinden ledakan pipa, warga mengeluhkan itu,” ungkap Meiki saat ditemui, Rabu, 6 September 2023.

Penyelidik Bumi Madya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Supartoyo menjelaskan bahwa Gunung Wayang Windu, Pangalengan, berada di sesar atau patahan Garsela. Stuktur sesar aktif ini merentang sepanjang 42 kilometer dari selatan Garut hingga selatan Bandung.

Keberadaan sesar aktif perlu disikapi dengan penyiapan konstruksi tahan gempa. Bukan hanya bagi infrastruktur PLTP, tapi juga rumah-rumah warga di sekitarnya. Yang juga harus diwaspadai, wilayah Pangalengan yang berkontur pengunungan menambah tingkat risiko bencana ikutan, yaitu longsor

“Jadi mau tidak mau, harus disediain bangunan tahan gempa bumi,” tutur Supartoyo ketika dihubungi oleh BandungBergerak, 1 September 2023.

BNPB mencatat, longsor merupakan bencana paling mematikan dalam kurun 2014-2015. Di sepanjang tahun 2014, terjadi 600 longsor dengan 372 orang tewas. Sementara itu dari awal tahun 2015 hingga longsor Cibitung, terjadi 251 longsor dengan 74 orang tewas. Meski terbukti mematikan, bencana longsor tak lantas jadi pembelajaran. 

“Saat terjadi bencana, semua sibuk,” demikian tertulis dalam siaran pers BNPB terkait longsor Kampung Cibitung. “Namun selesai tanggap darurat, semuanya lupa untuk memperbaiki agar longsor tidak berulang kembali.”

Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Bandung Diki Sudrajat menyatakan, mitigasi bencana sudah disosialisasikan di berbagai desa, termasuk Desa Margamukti. Meski demikian ia mengakui bahwa sejak dibangunnya PLTP, wilayah Desa Margamukti dibayangi juga bencana gagal teknologi. Apalagi di sana belum terbentuk Desa Tangguh Bencana (Destana) karena kekurangan anggaran dan personel.

Dijelaskan Diki, kajian risiko bencana dilakukan oleh pemerintah secara rutin setiap dua tahu. Namun sampai saat ini dampak dari kegagalan teknologi belum termasuk dalam kajian risiko bencana. Oleh karena itu ia mengajak semua pemangku kepentingan untuk terlibat dalam kerja besar ini. Bukan melulu ditimpakan ke pemerintah.

“Bencana itu menjadi tanggung jawab pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan media. Kalau bisa di dunia usaha membuat kajian lagi karena kita belum membuat,” ujar Diki.

Linda Handayani dan Alamta Singarimbun dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dalam artikel “Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Sekitar Daerah Prospek Panas Bumi Provinsi Jawa Barat” yang terbit di jurnal JoP, Vol. 2 N0. 1, November 2016, menyebut Pangalengan sebagai daerah subur sekaligus rawan bencana. Secara umum, topografi di Bandung selatan ini bersifat kasar, lerengnya terjal, dan jarang dijumpai tanah datar yang luas.

“Hal ini menyebabkan daerah ini rawan terhadap tanah longsor. Jenis batuan yang mudah lepas-lepas, membuat tingkat kerawanan terhadap kemungkinan tanah longsor semakin meningkat,” tulis Linda dan Alamta.  

Kedua peneliti juga menyebutkan bahwa tenaga panas bumi dikenal sebagai tambang yang ramah lingkungan namun tetap saja memiliki dampak. Salah satunya longsor. Dalam bencana seperti ini, mitigasi yang lemah membuat jumlah korban membengkak.

“Banyaknya korban jiwa maupun harta benda dalam peristiwa bencana yang selama ini terjadi, lebih sering disebabkan kurangnya kesadaran dan pemahaman pemerintah maupun masyarakat terhadap potensi kerentanan bencana serta upaya mitigasinya,” tulis keduanya.

Di sepanjang September hingga Oktober 2023, BandungBergerak.id berulang kali menghubungi pihak PT. Stars Energy Geothermal untuk melakukan wawancara. Bukan hanya tentang bencana longsor tahun 2015, tapi juga tentang kondisi dan upaya mitigasi saat ini. Seluruh usaha yang dilakukan reporter, baik melalui telepon, berkirim surat elektronik, maupun mendatangi langsung lokasi PLTP Wayang Windu, tidak memperoleh tanggapan.

Pada 7 September 2023, BandungBergerak.id mencoba menghubungi pihak PT. Stars Energy melalui hotline perusahaan dan diminta untuk menghubungi kantor pusat dan mengirimkan surat. Sehari kemudian usaha menghubungi kantor pusat tidak mendapatkan tanggapan. Upaya konfirmasi lewat surat juga tidak berbalas. Pada 11 Oktober 2023, BandungBergerak.id mendatangi kantor perusahaan dan diterima oleh petugas keamanan. Dipertemukan dengan resepsionis, kami disarankan untuk mengirimkan surat elektronik yang tidak kunjung berbalas.

Warga melintas di depan sebuah pipa raksasa yang menjulur di dataran tinggi Pangalengan, Kabupaten Bandung, Senin 16 Oktober 2023. (Foto: Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)
Warga melintas di depan sebuah pipa raksasa yang menjulur di dataran tinggi Pangalengan, Kabupaten Bandung, Senin 16 Oktober 2023. (Foto: Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Pangalengan dan Geotermal

Pangalengan, tempat PLTP Wayang Windu beroperasi, merupakan satu dari 31 kecamatan di Kabupaten Bandung. Pada 2020, berdasarkan dokumen Pangalengan dalam Angka 2021, kecamatan ini dihuni oleh 154,29 ribu jiwa yang tersebar di 13 desa, 1.093 RT, dan 231 RW. Dataran tinggi yang terkenal karena hawanya yang dingin ini memiliki luas 1.762,4 kilometer persegi, menjadikannya kecamatan terluas kedua di Kabupaten Bandung.

Sebagian besar warga Pangalengan mengandalkan pendapatan dari hasil bumi, baik pertanian maupun perkebunan. Luas sawah di kecamatan ini 955,86 hektare dengan produk unggulan berupa hortikultura, padi, jagung, teh dan kopi, serta susu sapi.

Ketertinggalan dan kemiskinan masih menjadi masalah mendasar yang dihadapi warga Pangalengan. Dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di angka 72,39, rata-rata lama sekolah (RLS) di kecamatan ini tercatat 8,96 tahun atau setara Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kondisi Pangalengan menjadi cermin Kabupaten Bandung yang pada 2020 memiliki 263.600 ribu jiwa, atau 6,91 persen dari total penduduk, masuk dalam kategori miskin. 

Di salah satu pegunungan di Pangalengan ini, PLTP Wayang Windu berdiri. Pembangkit listrik bertenaga geotermal ini dikelola oleh PT. Star Energy Geothermal, perusahaan yang didirikan pada tahun 2003 dan mengklaim sebagai produsen energi panas bumi terbesar di Indonesia. Saat ini, Star Energy Geothermal mengelola dan mengoperasikan pembangkit listrik berkapasitas bruto 886 MW.

Laman resmi perusahaan menyatakan, Star Energy dipimpin oleh Hendra Soetjipto Tan yang duduk sebagai Director – Chairman dengan Dewan Komisaris terdiri dari tujuh direktur. Beberapa nama di antaranya tidak asing, seperti Agus Salim Pangestu dan Erwin Ciputra.

Star Energy merupakan pemegang hak eksklusif untuk mengembangkan area panas bumi berdasarkan Kontrak Operasi Bersama dengan PT. Pertamina Geothermal Energy (PGE) hingga 2039. Perusahaan ini juga telah menandatangani Kontrak Penjualan Energi dengan PT. PGE dan PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menyediakan listrik hingga 400 MW sebagai suplai utama dalam sistem ketenagalistrikan Jamali.

Pada 1999, Star Energy menyelesaikan pembangunan PLTP Wayang Windu Unit 1 (113,5MW). Pada masa awal pengoperasiannya, Wayang Windu Unit 1 merupakan turbin geothermal terbesar di dunia. Selanjutnya, pada 2 Maret 2009, Wayang Windu Unit 2 beroperasi dengan kapasitas turbin tunggal sebesar 117 MW. 

Laman resmi Star Energy juga menjelaskan bagaimana panas bumi ditambang menjadi listrik. Energi yang dihasilkan disebut ramah lingkungan karena mengeluarkan lebih sedikit gas rumah kaca dibandingkan energi yang dihasilkan pembakaran fosil.

"Tujuan utama penggunaan energi panas bumi yakni diharapkan bisa meminimalisasi risiko pemanasan global yang kian meningkat seiring berjalannya waktu,” demikian keterangan Star Energy, yang menyebut juga “peluang pengelolaan panas bumi dengan risiko terendah”, diakses Senin, 23 Oktober 2023. 

Rumah baru yang ditinggali keluarga Eneng Artikah setelah rumah mereka di Kampung Cibitung lenyap tertimbun longsor 2015 lalu, Senin 4 September 2023. (Foto: Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)
Rumah baru yang ditinggali keluarga Eneng Artikah setelah rumah mereka di Kampung Cibitung lenyap tertimbun longsor 2015 lalu, Senin 4 September 2023. (Foto: Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Surga atau Neraka Panas Bumi?

Indonesia, khususnya Jawa Barat, bisa dibilang surganya sumber energi panas bumi. Berada di kawasan ring of fire, Indonesia menyimpan 40 persen cadangan panas bumi dunia. Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM (Desember 2020), total potensi energi panas bumi Indonesia diperkirakan mencapai 23,7 GW.

Di Jawa Barat, jumlah potensi geotermal tercatat sebanyak 42 titik dengan sumber daya diperkirakan tidak kurang dari 1.555 MW. PLTP Wayang Windu salah satunya.

Kementerian ESDM mengklaim PLTP geotermal sebagai sumber energi alternatif ramah lingkungan yang menjadi solusi bagi permasalahan energi kotor batu bara dan energi fosil. Saat ini terdapat 16 PLTP yang beroperasi dengan total kapasitas terpasang 2,1 GW. Jumlah ini menempati peringkat kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat.

Klaim ramah lingkungan dalam pengembangan geotermal bukannya tanpa kritik. Alih-alih ramah lingkungan, tambang geotermal diyakini justru bisa menghadirkan ‘neraka’ atau potensi bencana baru yang membahayakan manusia dan alam, antara lain gempa bumi. 

Gerakan terbaru kampanye kritis pertambangan geotermal dilakukan oleh Jaringan Masyarakat Sipil Tolak Geothermal. Aliansi masyarakat sipil yang terdiri dari banyak organisasi nonpemerintah ini, termasuk Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menyurati Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) agar mengeluarkan peringatan bahaya ekstraksi panas bumi. Surat ditembuskan ke Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Jakarta.

Gempa Magnitudo 3,2 pada 12 Oktober 2023 pagi buta, menjadi pemicu aksi ini. Pusat gempa diketahui terjadi di koordinat 6.75 Lintang Selatan dan 106.65 Bujur Timur, 23 kilometer barat daya Kota Bogor, tepat di tengah lokasi instalasi PLTP Gunung Salak.

“Gempa tersebut diduga terpicu oleh aktivitas sumur-sumur geotermal yang dimiliki oleh PLTP Gunung Salak dengan operator PT Indonesia Power dan kegiatan Star Energy Geothermal Salak, Ltd, yang terikat dalam Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract) dengan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE),” demikian pernyataan Jaringan Masyarakat Sipil Tolak Geothermal, 17 Oktober 2023.

Menurut jaringan ini, gempa bumi di wilayah PLTP geotermal bukan hanya membongkar klaim ramah lingkungan yang selama ini dicitrakan tambang geothermal, tapi juga “menjadi penanda agar kita tidak menunggu bencana lanjutan”. 

Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) PLTP Salak berlokasi di Parakansalak dan Sukatani, Kecamatan Parakansalak, Sukabumi, yang mencaplok lahan seluas 102.200 hektare. Wilayah ini berada di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gempa Tinggi dan KRB Menengah, serta melintasi tiga patahan gempa aktif. Menurut jaringan, “tidak ada jaminan hal serupa (gempa) tidak kembali terjadi atau menyusul yang lebih parah.”

Potensi bencana tidak hanya mengintai WKP PLTP Salak di Sukabumi. Jaringan mencatat, di Indonesia terdapat 361 sasaran mata bor tambang panas bumi dan 24 proyek PLTP yang berprospek di jalur rawan gempa vulkanik maupun tektonik dari Sumatra sampai Indonesia Timur. Sayangnya selama ini, Menteri ESDM belum pernah melaporkan kepada publik seluruh cakupan risiko sosial dan ekologis dari pembangkitan listrik berbasis ekstraksi panas bumi.

Sebelumnya, Jatam sebagai salah satu motor dari Jaringan Masyarakat Sipil Tolak Geothermal telah lama mengkampanyekan bahwa energi yang bersumber dari geotermal tidaklah seramah lingkungan sebagaimana yang didengungkan pemerintah dan mitra kerjanya (investor). Salah satu isu yang kerap disoroti Jatam adalah kaitan pengeboran sumur geotermal dengan gempa picuan.

Kekhawatiran Jatam senada dengan yang apa yang jadi menemaskan eks warga Kampung Cibitung, Pangalengan, ketika merasakan getaran tanah yang dipicu pengeboran geotermal maupun aktivitas tektonik di sana, mengingat PLTP Wayang Windu berdiri pada jalur patahan Garsela.

“Kahariwang sok waswas aya ngereleg kantos ngebor teh. Kahandap sanes kagigir. Eta oge sok ngawariwang,” kata Syarif, salah satu warga.

Di belahan lain di Indonesia, Jatam mencatat, getaran pengeboran geothermal juga dikeluhkan oleh warga di Desa Wapsalit, Kecamatan Lolong Guba, Kabupaten Buru, Maluku. Pada 2 Agustus 2023, warga sampai harus menggungsi ke hutan yang berjarak 10 kilometer dari desa mereka. Mereka mengeluhkan aktivitas di tiga lokasi sumur eksplorasi panas bumi yang posisinya sangat dekat dengan pemukiman warga, yakni antara 700 meter sampai 2.800 meter.

Warga Wapsalit, dalam catatan Jatam, merasakan getaran yang luar biasa seperi tanah bergoyang keras, terutama saat malam hari warga. Warga juga khawatir dengan dampak gas beracun yang dihasilkan oleh aktivitas pengeboran. 

Secara umum, dalam laporan yang disusun Jatam, proyek-proyek geotermal berdiri pada jalur-jalur sesar atau patahan gempa bumi. “Pelajaran dari banyak negara menyarankan bahwa operasi tambang panas bumi bahkan bisa berpengaruh pada dinamika proses tektonik dan volkanik, termasuk pembangkitan kegempaan picuan,” tulis Jatam, diakses Senin, 23 Oktober 2023.

Di Geysers, Amerika Serikat, kegempaan picuan tambang panas bumi telah didokumentasikan sejak 1975. Setiap tahun ribuan gempa M 1,5 terjadi, di samping gempa yang jauh lebih jarang (kurang dari sekali dalam setahun) dengan skala M 4,0. Di Filipina, operasi penambangan-pembangkitan di proyek Palinpinon I (1983-1986) telah menyebabkan lonjakan gempa skala kecil (M 2,5) dengan frekuensi tinggi (sampai 100 kali per hari).

Di Basel, Swiss, rangkaian gempa yang dipicu oleh operasi tambang panas-bumi di tahun 2006 dan 2007 berujung pada dihentikannya seluruh proyek pada 2009. Pada tahun yang sama gempa picuan terjadi di proyek tambang panas bumi di kota kecil Landau inder Pfalz, Jerman. Masalah serupa terjadi di tambang panas-bumi di kota St. Galen pada 2013.

Rata-rata, seluruh gempa picuan berkorelasi dengan injeksi air bertekanan tinggi ke kedalaman bumi untuk mengekstraksi mineral. Pertambangan geothermal merupakan industri energi yang haus air. Sebagai contoh, sistem listrik Jamali membutuhkan pasokan 227 MW. Jika 1 megawatt sama dengan 1.000 kilowatt, maka 227 MW sama dengan 227.000 kilowatt dikali 5,13 liter air yang hasilnya 1.164.510 juta liter air. Jumlah ini setara dengan 582.225 tangki air ukuran 2.000 liter yang diisi penuh.

Warga memancing ikan di Situ Aul, lokasi yang dulunya keramat, dengan volume air yang jauh menyusut akibat kemarau panjang, Senin 14 Oktober 2023. (Foto: Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)
Warga memancing ikan di Situ Aul, lokasi yang dulunya keramat, dengan volume air yang jauh menyusut akibat kemarau panjang, Senin 14 Oktober 2023. (Foto: Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Rencana Pembangunan Jalan Tol Soreang-Ciwidey-Pangalengan Mengancam Cekungan Bandung
Dilema Buruh-buruh Muda dalam Deru Pembangunan Majalengka

Setelah Hutan Tak Angker Lagi

Di pinggir Situ Aul di Pangalengan, Syarif memperhatikan temannya, Ujang, yang anteng memancing. Tak jauh dari danau seluas 10 hektare itu, terhampar hutan yang dulunya disebut hutan larangan tapi kini sudah menjadi tempat wisata. Para pendaki gunung menyebutnya hutan Sulibra, sementara warga sekitar menyebutnya Dataran Anjing.

Disebat dataran anjing teh, tagogna mun di kajauhan jiga anjing,” terang Syarif.

Di masa lalu, orang-orang tak berani datang ke Situ Aul. Di danau ini muncul mitos yang diceritakan dari mulut ke mulut tentang sosok aul, manusia berkepala anjing. Sebagian warga percaya akan kisah aul, bahkan konon ada yang pernah melihatnya. Syarif salah satunya. Pada suatu malam ia dan petani lainnya terpaksa tidak pulang dan menginap di perkebunan.

Mitos dan kisah Aul terkikis oleh laju pembangunan yang menerobos masuk jauh ke pegunungan di Pangalengan. Situ Aul tak lagi angker di malam Jumat. Hutan larangan Dataran Anjing dianggap sebagai lokasi wisata.

Kadang sok aya wae nu offroad kitu mah,” kata Syarif. “Biasana Sabtu-Minggu.”

Pepep Didin Wahyudi dari Yayasan Masyarakat Gunung Indonesia mengamini bahwa hilangnya berbagai macam mitos yang hidup di tengah masyarakat turut mempercepat rusaknya bentang alam. Masuknya pembangunan, proyek geotermal, pemasangan pipa-pipa raksasa yang membelah hutan konservasi, perkebunan teh, dan diikuti pembalakan hutan membuktikan bahwa mitos-mitos itu tidak lagi ampuh.

Pepep menjelaskan, dahulu Kampung Cibitung dikenal sebagai Legok Orok. Legok berarti lembah dan orok berarti bayi. Warga Cibitung mendiami bagian barat kaki Gunung Gambungsedaningsih. Gunung ini sejajar dengan Gunung Bedil, Gunung Wayang, dan Gunung Windu. Mereka memperlakukan gunung-gunung tersebut sebagai hutan sakral.

Kisah Aul bermanifestasi menjadi larangan bagi masyarakat untuk tidak melakukan garapan di dalam hutan, seperti menebang pohon atau mengganggu isi hutan. Jika dilanggar, Aul akan datang sebagai mamala (konsekuensi buruk). Mitos terbukti membuat hutan serta lingkungannya terjaga. Masyarakat lebih hormat dan menghargai alam.

Namun kepercayaan ini memudar di tahun 1990-an ketika eksplorasi panas bumi di bagian hutan atas Cibitung dimulai. Berbagai jenis kendaraan berat diturunkan. Hutan lebat yang menghampar luas ditembus, pohon-pohon besar yang dilewati jalan eksplorasi ditumbangkan.

Pembangunan meruntuhkan mitos. Selain mengubah tatanan mistis masyarakat terhadap hutannya, demitologi juga telah mengubah klasifikasi pengetahuan masyarakat terhadap alam pada umumnya. Bukan lagi hutan yang harus dijaga, melainkan lahan garapan.

“Sejak saat itu, masyarakat mulai berani menebang pohon-pohon hutan, membuka lahan dari hutan menjadi perkebunan holtikultura,” ungkap Pepep.

Setelah mitos tak ada dan larangan tak lagi sakral, terjadilah bencana. Longsor yang melenyapkan Kampung Cibitung tidak lain adalah dampak dari pembangunan.

*Reportase ini merupakan bagian dari kerja kolaboratif yang diinisiasi LBH Bandung dan BandungBergerak.id dengan dukungan Kurawal Foundation

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//