• Opini
  • Analisis Film Leviathan (2014): Kekuasaan, Hukum, dan Yang Tak Bernama

Analisis Film Leviathan (2014): Kekuasaan, Hukum, dan Yang Tak Bernama

Di dunia di mana Leviathan berjubah hukum dan wahyu, keberanian untuk mengganggu adalah satu-satunya bentuk iman yang tersisa.

Irfan Fauzan

Masyarakat Sipil

Poster film Leviathan (2014) karya Andrey Zvyagintsev yang mewakili kenyataan politik kita hari-hari ini. (Foto: imdb.com/title/tt2802154/?ref_=ttfc_ov_i)

29 April 2025


BandungBergerak - "Bellum omnium contra omnes" (Perang semua melawan semua) – Thomas Hobbes, De Cive (1642)

Dalam filsafat politik modern, istilah Leviathan sering dikaitkan dengan Thomas Hobbes, filsuf Inggris abad ke-17. Sebuah alegori tentang negara berdaulat yang kuat, yang hadir demi menciptakan kestabilan dan mencegah kekacauan akibat manusia-manusia banal yang, jika tanpa negara, akan saling berperang satu sama lain sebagaimana digambarkan dalam kutipan di atas. Namun apa yang tak diantisipasi Hobbes adalah, bagaimana jika ketika Leviathan itu hadir—yakni negara kuat yang absolut itu sendiri—keadaan justru berakhir pada perang antara manusia-manusia (rakyat) melawan Leviathan (negara)?

Film Leviathan (2014) karya Andrey Zvyagintsev adalah spektakel yang menggugat mitos negara Hobbes dan, ini yang ironis, mewakili kenyataan politik kita hari-hari ini.

Film ini menceritakan Kolya, seorang pria yang menghadapi perampasan tanah oleh wali kota setempat. Ia hidup bersama keluarga kecilnya di sebuah desa terpencil di Rusia Utara. Kehidupan yang oleh orang-orang TikTok hari ini disebut slow living, mendadak kehilangan slow-nya ketika tanah dan rumahnya dirampas atas nama “kepentingan publik.”

Dengan dalih seperti itu, hukum menjadi gerbang pembuka sekaligus tiket penjamin. Rumah dan tanah Kolya dirampas bukan melalui apa yang biasa kita anggap sebagai “tindak pidana”, melainkan melalui proses legal: putusan pengadilan. Kolya melawan, dibantu Dmitri, pengacara muda dari Moskow yang membawa kartu as berupa bukti korupsi sang wali kota. Tapi, membalik pernyataan Tan Malaka, maling tak berunding dengan tuan rumah yang hendak ia jarah, sang wali kota tak mau bernegosiasi: Dmitri diculik dan disiksa. Keputusasaan meruak. Lilya, istri Kolya, menghilang dan ditemukan tewas. Kolya dijebak, dijadikan terdakwa atas kematian istrinya sendiri, dan akhirnya divonis 15 tahun penjara.

Dan seperti judul lagu ABBA, The Winner Takes It All, sang wali kota berhasil merebut segalanya. Bukan hanya rumah dan tanah, tapi juga seluruh hidup Kolya. Di atas puing-puing rumah itu, didirikanlah sebuah gereja. Sang pastor, yang sejak awal menjadi sumber legitimasi moral sang wali kota, berkhotbah tentang betapa Tuhan begitu adil dan mencintai hambanya. Segalanya berlangsung secara legal, dan yang lebih penting: sholeh.

Baca Juga: Kerusakan dan Kebejatan Penguasa di Negeri Ini Adalah Keniscayaan
Sekecil-kecilnya Perlawanan adalah Perlawanan: Diam Berdiri Membawa Payung Hitam, Menangis atau Berteriak, Semua Politik Perlawanan Perempuan!
Mengeja Semangat Zaman dan Upaya Membangun Gerakan Politik Alternatif

Ada, tapi Tak Dianggap

Apa yang dipertontonkan film ini bukan sekadar tragedi personal, melainkan perwujudan Leviathan dalam bentuknya yang paling telanjang. Kolya dan keluarganya menjadi representasi dari sosok yang oleh Giorgio Agamben disebut homo sacer: mereka yang bisa dibunuh, secara harfiah atau simbolik, namun tak dianggap sebagai korban. Mereka hadir dalam tatanan politik, namun tak diakui. Mereka adalah yang tak bernilai dalam himpunan subjek hukum. Mereka adalah yang tak bernama.

Homo sacer adalah produk dari apa yang disebut Agamben sebagai mesin antropologis: mekanisme simbolik dan politis yang memproduksi batas antara “manusia” dan “non-manusia”; mana yang dihitung dalam masyarakat, mana yang tidak; siapa yang pantas punya nama, dan siapa yang tidak. Mesin ini bekerja bukan hanya melalui perintah, tapi melalui bahasa: ia membelah, menyaring, mengklasifikasi. Leviathan, negara berdaulat, memapankan dirinya melalui mesin ini. Melalui hukum, kekuasaan mampu mengatakan bahwa “ini legal,” sedangkan “itu ilegal.” Melalui operasi ideologis, kekuasaan mampu menyatakan “ini berhak,” dan “itu tidak.” Melalui bahasa, kekuasaan menentukan mana yang disebut “manusia” dan mana yang “non-manusia.” Yang “ilegal,” yang “tidak berhak,” dan yang “non-manusia”—itulah homo sacer.

Kolya dan keluarganya adalah yang dianggap “ilegal.” Warga Sukahaji, Bandung, yang rumah-rumahnya dibakar dalam konflik perebutan lahan dengan pengusaha adalah yang dianggap “tidak berhak”. Masyarakat adat Papua yang hutannya digunduli atas nama “proyek nasional” dan dogma akumulasi kapital adalah yang dianggap “non-manusia”. Kelompok marginal, perempuan tertindas, adalah yang tak terhitung dalam formulasi kebijakan. Mereka semua adalah homo sacer—bisa ditangkap, digusur, dibunuh, dihilangkan. Mereka hadir, tercatat dalam badan pencatatan sipil, dibutuhkan suaranya dalam pemilu, namun tak diakui sebagai yang layak menyatakan kehendak. Mereka ada, namun tak dianggap.

Agamben mengambil konsep homo sacer dari tradisi Romawi kuno. Dalam hukum arkais, terutama Lex Duodecim Tabularum (Hukum Dua Belas Tabel), homo sacer adalah seseorang yang dikucilkan karena melanggar hukum ilahi atau sumpah tertentu dalam masyarakat; yang oleh sebab itu siapapun boleh membunuhnya tanpa dianggap sebagai pembunuhan. Logika homo sacer bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan terus beroperasi dalam format ideologis hari ini. Dalam logika semacam ini, kutipan terkenal yang dialamatkan pada Dostoyevsky perlu dibaca ulang: “If there is no God, then everything is permitted.” Tapi bagaimana jika sebaliknya? Bagaimana jika justru karena adanya Tuhan, maka semua menjadi diperbolehkan? Untuk lebih provokatif saya bisa mengatakan: karena adanya Tuhan, manusia bisa melakukan kejahatan dan menyebutnya sebagai kebaikan atas nama Tuhan. An evil soul producing holy witness, like a villain with a smiling cheek, kata Shakespeare. Dalam Leviathan (2014), ditunjukkan bagaimana sang wali kota bersekongkol dengan pastor, dan sekaligus mendapatkan "legitimasi ilahi" atas kejahatannya.

Dan ini sesungguhnya tak asing dengan kondisi kita hari ini: kekuasaan bersengkongkol dengan pemuka-pemuka agama yang mengedarkan dalil-dalil surgawi hanya untuk memapankan kekuasaan. Institusi keagamaan tak lagi menjadi api penyengat bagi jiwa-jiwa yang kalah, melainkan menjelma sebagai tangan-kaki Leviathan. Dalam film ini ditunjukkan bagaimana gereja menjadi institusi yang menasihati korban untuk tunduk, alih-alih berpihak. Inilah pergeseran yang tajam: dari Tuhan sebagai sumber etika, menjadi Tuhan sebagai dalih hegemoni.

Yang perlu disoroti adalah bagaimana kekuasaan mampu mengedarkan hegemoni ini dengan cara menghilangkan sisi politisnya. Di sinilah kerja mesin antropologis dalam bentuknya yang paling efektif: ideologi yang membentuk pengalaman hidup kita sehari-hari. Keampuhan ideologi justru terletak pada saat kita tak mengalaminya sebagai ideologi. Ketika kita mendengarkan khotbah tentang besarnya pahala orang yang bersabar walau ditindas, kita tak menyadari bahwa dalam khotbah itu ada dimensi politis yang dimaksudkan untuk melanggengkan kekuasaan, misalnya. 

Dalam film ini—maupun dalam kondisi politik kita hari ini—hukum dan agama bekerja sebagai jaring ideologis yang tidak memaksa, tapi justru mengajak individu untuk berpartisipasi dalam kekalahannya sendiri. Digambarkan bagaimana Kolya tetap percaya dan taat pada hukum, meskipun hukum tak berpihak padanya. Melalui sang pastor, ia diyakinkan bahwa penggusuran adalah kehendak Tuhan. Dalam konteks kita, kita diyakinkan bahwa negara ini adalah negara makmur, walau mayoritas rakyatnya miskin. Ideologi membungkus Leviathan yang predatorik, menjelma menjadi, jika boleh saya menyebutnya dengan cara ini, Leviathan with a human face. Ideologi itu ada di mana-mana—khotbah-khotbah agama, pasal-pasal hukum, berita media massa, video di beranda sosial media, dan lain-lain. Tak ada yang “sadar”—karena semua telah disublimasi sisi politisnya. Tak ada yang “keluar dari jalur”—karena semua jalur telah dikondisikan untuk menormalisasi ketertindasan sebagai kewajaran.

Keberanian untuk Mengganggu

Di titik ini, kita mesti bertanya: dari semua yang ada, lalu apa yang tersisa, Bung? Adalah lirik lagu Leonard Cohen: "There is a crack, a crack in everything, that's how the light gets in." Yang tersisa adalah pengetahuan bahwa tatanan simbolik yang membentuk hukum, bahasa, agama, dan sebagainya, adalah simtom bahwa kekuasaan di dalam dirinya sendiri rapuh, retak. Keretakan ini ditambal melalui tatanan simbolik itu sendiri; jaring ideologi yang menghegemoni. Di titik inilah cahaya mungkin tiba. Di titik inilah politik yang sejati dimungkinkan—yakni ketika mereka yang sebelumnya tak memiliki nama, menuntut nama; yang sebelumnya tak dihitung, menggugat untuk dihitung.

Seperti Kolya yang dihapus dalam sejarah karena mengganggu, seperti warga Sukahaji yang bertahan, seperti masyarakat Papua yang berdemonstrasi, atau para perempuan yang melawan—mereka semua hadir untuk menggugat. Untuk menuntut nama. Untuk berkata: “Kami ada, dan kami akan mengganggu keteraturan Leviathan.”

Dan di sanalah, dalam celah yang diganggu itulah, politik yang sejati hadir: bukan sebagai manajemen atas apa yang telah ada, bukan soal memenangkan pemilu atau duduk di kursi kekuasaan, tetapi sebagai interupsi terhadap tatanan yang menganggap segalanya telah selesai. Dan gangguan itulah satu-satunya harapan kita untuk membunuh sang Leviathan—atau setidaknya, memperlihatkan pada dirinya bahwa kita tidak akan pernah bisa diam. Karena di dunia di mana Leviathan berjubah hukum dan wahyu, keberanian untuk mengganggu adalah satu-satunya bentuk iman yang tersisa.

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//