Kerusakan dan Kebejatan Penguasa di Negeri Ini Adalah Keniscayaan
Hebatnya, dari sekian banyak kerusakan itu, tak satupun di antaranya yang pertama kali. Selalu saja merupakan yang kesekian kalinya, dan siklusnya selalu sama.

Nanda Naradhipa
Desainer grafis. Terkadang bersejarah, terkadang bermusik.
27 April 2025
BandungBergerak - Kita mengetahui bahwa gula itu manis dan garam itu asin karena kita pernah mencicipinya. Kita tahu bahwa kucing menjalani hidupnya dengan cara berlari di daratan karena kita pernah menyaksikannya jutaan kali. Kita tahu tong besi kosong jika dipukul akan menghasilkan bunyi yang nyaring karena pernah melakukannya. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Pengalaman-pengalaman itu kemudian memberi pengaruh besar terhadap cara kita memandang sesuatu. Sebab, kita terbiasa dengan satu hal yang diikuti dengan hal lainnya. Kita terbiasa dengan manis pada gula, dengan kucing yang berlari di daratan, dengan nyaringnya tong kosong yang dipukul.
Maka, apabila kita menyaksikan kucing berlari di udara, kita mungkin akan tersentak, sebab kita tahu persis hal tersebut tidak pernah terjadi dalam pengalaman kita. Untuk hal seperti itu, kemudian kita menyebutnya sebagai keajaiban. Sebaliknya, jika seorang bayi yang baru menetas di dunia juga menyaksikan kejadian itu, ia tidak akan melihatnya sebagai keajaiban karena ia tidak pernah menyaksikan kucing yang berlari di daratan.
Siklus yang Sama
Pemahaman empirisme oleh David Hume tersebut mengantarkan kita pada pemahaman bahwa setiap kita terbentuk dari kepingan pengalaman kita. Tidak ada yang mampu beranjak melampaui pengalaman, atau mencetuskan prinsip-prinsip yang tidak dilandaskan pada otoritas pengalaman tersebut, cetus Hume dalam A Treatise of Human Nature.
Kemudian, spektrum dari pengetahuan kita semakin meluas seiring bertambahnya usia. Beranjak dewasa, kita mulai mengetahui bahwa kita merupakan bagian dari suatu negara yang bernama Indonesia. Melalui sekolah, televisi, radio, dan kanal-kanal informasi, kita mengetahui bahwa negara ini berbentuk demokrasi dan dijalankan oleh pemerintahan yang berada di bawah naungan presiden.
Makin beranjak dewasa, kita mulai mengetahui bahwa kita sebagai warga negara memiliki kewajiban-kewajiban untuk ikut serta dalam usaha keberlangsungan negara. Jika kita telah menunaikannya, kita bisa menuntut hak-hak yang semestinya kita dapatkan, sebagaimana kita diajarkan tentang hak dan kewajiban di bangku sekolah. Idealnya begitu. Namun, nyaris tidak ada negara yang ideal. Utamanya di negara ini.
Beberapa bulan terakhir, berita buruk yang datang dari pemerintah kita tak hentinya mendengung ke berbagai bilik kehidupan. Intensitasnya padat, daya rusaknya dahsyat. Korupsi inilah, korupsi itulah. Itu pun hanya yang tersiar media. Adapun rancangan undang-undang ini dan itu yang tendensinya selalu menguntungkan para elite saja. Hebatnya, dari sekian banyak kerusakan itu, tak satupun di antaranya yang pertama kali. Selalu saja merupakan yang kesekian kalinya, dan siklusnya selalu sama.
Untuk kasus korupsi, misalnya: kasus mencuat, tersangka dijatuhi vonis yang tidak sebanding dengan kerugian yang disebabkan, keluar penjara lebih cepat, berkarier lagi di politik, korupsi lagi. Itu pun mendingan, karena tidak jarang kasus-kasus yang luput dari media dan menguap begitu saja.
Untuk rancangan undang-undang: apabila undang-undangnya menguntungkan para elite, akan dirancang dalam ruang yang jauh dari jangkaun rakyat dan dikebut dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Namun, apabila undang-undangnya dirasa tidak menguntungkan golongannya, maka yang akan terjadi adalah sebaliknya. Bahkan tidak jarang berakhir di sebatas rancangan saja.
Karenanya, barangkali kita semua sudah tahu betul bahwa apapun rencana yang dilakukan penguasa, pasti perhitungannya bukan berdasarkan kepentingan umum, melainkan kepentingan golongannya saja.
Barangkali, rencana penyunatan anggaran pada bidang pendidikan dan kesehatan adalah salah satu langkah bisnis mereka agar kita tetap menjadi “komoditas” yang menjanjikan. Kesempatan kita untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dipersempit agar kita tidak menjadi “komoditas” yang cerdas dan sadar akan eksistensinya, sehingga kita bisa terus-menerus dibodohi dan dimobilisasi untuk manuver bisnis para elite. Kemudian, akses kita untuk mendapat kesehatan yang layak dipersulit agar jasmani dan rohaninya tidak benar-benar optimal untuk menempuh kehidupan, sehingga sewaktu-waktu mereka dapat bertindak sebagai “penyelamat” dengan bantuan-bantuan sosial bersyarat. Karena itulah, program menggratiskan makan lebih terdengar seksi daripada mencerdaskan akal.
Terbaru, RUU TNI digodok, dan kemudian disahkan, demi memuluskan angkatan bersenjata untuk dapat menduduki posisi-posisi strategis di ranah sipil. Membangkitkan dwifungsi ABRI yang telah dikubur dalam agenda Reformasi TNI dan pembubaran ABRI melalui Tap MPR No. VI/MPR/2000 Tahun 2000. Kita semua telah ditelantarkan dalam serba ketidaktahuan, direnggut kesejahteraannya, dan kini sedang dalam proses untuk direpresi ruang geraknya. Sudah jatuh, ditimpa tangga, disumpal tahi pula.
Baca Juga: Koalisi Kebebasan Berserikat Menolak Pengesahan RUU TNI, Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dikhawatirkan Meningkat
Aliansi Mahasiswa Papua Bandung Turun ke Jalan, Mengecam Tindakan Penyiksaan terhadap Masyarakat Sipil Papua oleh Prajurit TNI
Tidak Berharap Keajaiban
Kembali pada empirisme Hume, kejadian-kejadian itu telah membentuk pengetahuan pada kita bahwa negara tidak pernah benar-benar hadir sepenuhnya untuk kita. Bagi mereka, barangkali keberadaan kita tidak pernah benar-benar sebagai “warga negara”, melainkan sebagai “komoditas” semata yang dipelihara untuk kepentingan bisnisnya.
Kemudian, pengetahuan itu berubah menjadi keyakinan karena kita terus-menerus mengalaminya, dan tidak pernah mengalami yang sebaliknya. Keyakinan yang sama besarnya pada keniscayaan hukum alam, sebagaimana kita yakin bahwa gula itu manis dan kucing berlari di daratan. Semua itu telah membentuk kita menjadi manusia Indonesia yang menerima kerusakan dan kebejatan penguasa sebagai suatu keniscayaan. Maka, apabila suatu hari ada berita baik bagi kita mengenai negeri ini, itu akan disebut sebagai keajaiban, sebuah kejadian adialami, sebab begitu jarang terjadi sebelumnya.
Namun, perlu diingat bahwa keajaiban adalah hal yang tidak bisa diharapkan. Ia bisa saja datang di satu waktu, atau tidak datang sama sekali. Waktu kita akan habis jika hanya harap cemas menanti datangnya keajaiban. Semua hal perlu diperjuangkan, sebagaimana yang pernah diungkapkan Pramoedya: “Hidup adalah perjuangan. Jika kau berhenti berjuang, maka kau berhenti hidup.”
*Kawan-kawan silakan membaca tulisan-tulisan lain tentang Demokrasi