• Berita
  • Aliansi Mahasiswa Papua Bandung Turun ke Jalan, Mengecam Tindakan Penyiksaan terhadap Masyarakat Sipil Papua oleh Prajurit TNI

Aliansi Mahasiswa Papua Bandung Turun ke Jalan, Mengecam Tindakan Penyiksaan terhadap Masyarakat Sipil Papua oleh Prajurit TNI

Aksi ini didorong beredarnya video penyiksaan yang dilakukan prajurit TNI. TNI telah menetapkan 13 orang anggotanya sebagai tersangka.

Aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Bandung menyikapi video viral penyiksaan yang diduga dilakukan oleh prajurit TNI terhadap masyarakat sipil Papua, di depan Gedung Merdeka, Rabu, 27 Maret 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul28 Maret 2024


BandungBergerak.id - Beredarnya video penyiksaan yang diduga dilakukan sejumlah prajurit TNI terhadap masyarakat sipil Papua mendorong Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Bandung turun ke jalan, Rabu, 27 Maret 2024. Mereka kecewa dan mengecam tindakan penuh kekerasan yang bertentangan dengan kemanusiaan itu.

Aksi ini dipusatkan di Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung. Sebelumnya, massa AMP lebih dulu melakukan aksi di depan Kodam III/Siliwangi, Jalan Aceh. Selain berorasi, mereka juga membentangkan poster-poster di antaranya bertuliskan “Referendum adalah solusi”, “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa”, dan “Papua Merdeka”.

“Saya adalah seorang perempuan yang melahirkan manusia. Saya tidak bicara tentang warna kulit. Saya berdiri di sini di depan warga Bandung, menuntut TNI yang melakukan tindakan yang tidak manusiawi kepada masyarakat Papua,” ungkap Vero saat berorasi di depan Gedung Merdeka.

Juru Bicara Aksi AMP Jes Jali, 26 tahun, menerangkan, pihaknya melakukan aksi untuk menyikapi penyiksaan yang dilakukan oleh aparat negara kepada tiga orang masyarakat sipil Papua. Beredar lewat media sosial, rekaman kekejaman ini menjadi perbincangan dan menuai kecaman secara luas di Tanah Air. Jes juga mengecam peran TNI dan Polri dalam operasi militer di Papua yang malah membuat masyarakat sipil menjadi sasaran.

“Peran TNI dan Polri di Papua itu tujuannya untuk ‘berperang’ dengan TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) tetapi sering yang jadi sasaran itu masyarakat sipil,” kata Jes di tengah-tengah aksi.

Jes menyebut, penyiksaan yang terekam video dan kemudian viral diduga dilakukan anggota Raider 300/Bjw dari Kodam III/Siliwang. Ia menuturkan, sebelum tanggal 3 Februari 2024, tersebar isu perampasan senjata oleh TPNPB di Ibu Kota Kabupaten Puncak Kagago. Atas alasan itu, aparat TNI melakukan patroli. Dalam operasi siaga 1 3 Februari 2024, aparat TNI menemukan tiga orang yang sedang mencari alang-alang untuk membuat Honai. Ketiganya diduga bagian dari komplotan TPNPB.

Menurut Jes, mereka ditangkap tanpa ditanyai status dan tanpa bukti. Aparat TNI kemudian membawa tiga warga sipil, yaitu Warinus Murib (18 tahun), Definus Kogoya (19 tahun), dan Alius Murib (19 tahun) ke pos TNI di Kagago, Ibu Kota Kabupaten Puncak.

“Saat itu dituduh mereka adalah bagian dari simpatisan dari TPNPB. Dituduh lalu dilakukan pemukulan, penyiksaan yang sangat brutal dan sangat sadis,” kata Jes. “Dari aksi ini kami menuntut pelaku harus diadili dengan hukum yang setimpal sesuai dengan peraturan Indonesia. Jadi diadili dengan hukum yang seberat-beratnya sesuai dengan apa yang mereka lakukan.”

Dari video penyiksaan yang bereder, Jes sudah memastikan, salah satunya adalah Warinus Murib. Tangannya diikat dan diletakkan di drum berisi air. Warius disiksa secara tidak manusiawi hingga meninggal dunia. Sementara dua orang lainnya, setelah diinterogasi dan disiksa, dipulangkan dan dibawa ke rumah sakit. Orang tua kedua pemuda yang merasa tidak aman di rumah sakit, akhirnya memulangkan kedua korban untuk mendapatkan pengobatan di rumah.

Jes menyayangkan pernyataan Pangdam Cenderawasih yang menyebutkan video penyiksaan yang beredar sebagai editan. Ia berpendapat, pernyataan macam ini perlu diproses lebih lanjut dengan serius sebab dapat menjadi preseden buruk bagi kasus-kasus di daerah lain yang dilakukan dengan cara “pembersihan” demikian.

“Kami secara manusia berpikir, ini kami orang Papua sebenarnya dipandang seperti apa? Sehingga kami dianggap penyiksaan itu seperti hal yang biasa. Jadi kami sangat terpukul dengan pernyataan itu dan kami harap ke depan untuk Pangdam Cenderawasih juga bisa diproses,” ungkap Jes.

Aksi AMP tidak hanya diikuti oleh mahasiswa Papua, tapi juga beberapa “masyarakat Indonesia” yang ikut bersolidaritas. Dilakukan di depan Gedung Merdeka, aksi menyiratkan simbol dan pengingat dari perlawanan terhadap penjajahan. 

Baca Juga: Mahasiswa Papua Merefleksikan 62 Tahun Trikora di Jalan Asia Afrika
PAYUNG HITAM #5: Apa yang Bisa Diperbuat Setelah Pemekaran Papua?
Demokrasi tak Dapat Diraih di Papua

Mahasiswa dan aktivis Papua melakukan aksi dari depan Kodam III Siliwangi sampai ke Gedung Merdeka, Bandung, 27 Maret 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Mahasiswa dan aktivis Papua melakukan aksi dari depan Kodam III Siliwangi sampai ke Gedung Merdeka, Bandung, 27 Maret 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Bukan Penyiksaan Pertama

Jes menjelaskan, tindakan penyiksaan aparat keamanan negara kepada masyarakat sipil Papua bukan kali ini saja terjadi. Penyiksaan sudah terjadi sejak 1960 hingga hari ini. Ia bahkan meyakini masyarakat Indonesia tidak banyak yang tahu soal kondisi di Papua karena akses media di sana sangat dibatasi. Jurnalis nasional dan internasional ditutup aksesnya.

“Saya yakin kita semua di sini apalagi yang di luar Papua tidak mengetahui banyak tentang Papua. Jadi saya ingin mengajak kita semua bisa melirik di Papua sedang terjadi apa, terutama tentang kemanusiaan. Kita harus bisa menyerukan bersama-sama,” ajaknya.

Sebelum kejadian penyiksaan kepada tiga masyarakat sipil Papua, Jes menyebut di Kabupaten Yahukimo aparat menangkap dua pelajar Papua. Hingga sekarang diketahui mereka belum dibebaskan dari Polda Papua. Mereka juga dituduh sebagai simpatisan KKB.

Jes menyatakan, pelanggaran HAM berat banyak terjadi di Papua sejak 1960. Sayangnya, kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua tak satu pun yang diselesaikan. Pemerintah Indonesia menjadikan Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) yang berimbas kepada ribuan rakyat Papua tewas dibunuh. Adapun Otonomi Khusus jilid I dan jilid III malah menjadi malapetakan bagi rakyat Papua, sebab dinilai membawa kesengsaraan, penderitaan, ancaman serius.

“Otsus membuat lahan konflik baru pelanggaran HAM yang terus terjadi di mana-mana, dari konflik perampasan tanah adat, undang-undang yang pro terhadap investasi. Bahkan konflik bersenjata antara TNI-Polri dan TPNPB OPM terus masih terjadi,” dikutip dari siaran pers aksi AMP.

Aliansi Mahasiswa Papua pun menyatakan sikap, di antaranya:

  1. Mengecam Pangdam XVII Cenderawasih segera mengakui adanya anggota TNI yang melakukan penyiksaan terhadap warga sipil orang asli di Puncak Papua
  2. Mengecam Pangdam XVII Cenderawasih atas pernyataan pembohongan publik di media terkait video penyiksaan yang disebut editan
  3. Adili, pecat, dan penjarakan pelaku penyiksaan terhadap warga sipil di Puncak Ilaga, Papua Tengah
  4. Negara Indonesia segara mengusut tuntas semua kasus pelanggaran HAM terhadap warga sipil Papua di tanah Papuar Barat
  5. Komnas HAM segera melakukan investigasi penganiayaan terhadap warga sipil di Puncak West Papua
  6. Negara segera hentikan pengiriman dan tarik militer organic maupun non organic dari tanah Papua Barat
  7. Polda Papua segera usut tuntas kasus pembunuhan Jein Korupon di Kabupaten Pegunungan Bintang oleh aparat negara
  8. Negara segera bertanggung jawab atas penembakan terhadap tiga anak remaja warga sipul dan salah satunya menjadi korban di Intan Jaya, West Papua
  9. Peresiden Republik Indonesia segera perintahkan Panglima TNI proses hukum oknum TNI pelaku penyiksaan anak di Kabupaten Yahukimo dan warga sipil di Kabupaten Puncak West Papua
  10. Buka ruang demokrasi seluas-lusasnya dan berikan kebebasan bagi jurnalis nasional dan internasional meliput dan mengakses informasi di Papua Barat
  11. Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Maybrat, Yahukimo, dan seluruh wilayah West Papua lainnya
  12. Segera berikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua
Aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Bandung menyikapi video viral penyiksaan yang diduga dilakukan oleh prajurit TNI terhadap masyarakat sipil Papua, di depan Gedung Merdeka, Rabu, 27 Maret 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Bandung menyikapi video viral penyiksaan yang diduga dilakukan oleh prajurit TNI terhadap masyarakat sipil Papua, di depan Gedung Merdeka, Rabu, 27 Maret 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Pernyataan TNI

Dikutip dari CNN, Selasa, 26 Mar 2024, TNI AD menyampaikan permintaan maaf terkait peristiwa dugaan penganiayaan oleh sejumlah prajurit terhadap seorang anggota Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) bernama Defianus Kogoya di Papua Tengah.

Panglima Kodam (Pangdam) XVII/Cenderawasih Mayjen Izak Pangemanan mengatakan perbuatan anggota itu tidak dibenarkan, melanggar hukum serta mencoreng nama baik TNI.

"Saya atas nama TNI Angkatan Darat minta maaf kepada seluruh masyarakat Papua, dan kami akan terus berusaha agar kejadian-kejadian seperti ini, tidak terulang lagi di masa-masa mendatang. Kami akan meningkatkan terus pengawasan-pengawasan kepada satgas-satgas yang melaksanakan tugas di daerah Papua," kata Izak dalam keterangan tertulis yang diterima dari Puspen TNI.

Izak mengatakan TNI bakal menindak tegas pelaku yang terlibat. Ia menyebut semua prajurit yang terlibat akan diproses sesuai prosedur hukum yang berlaku.

"Kita akan usut tuntas permasalahan ini, apa yang terjadi di sana akan menjadi bahan untuk proses hukum nanti. Tidak ada satu pun yang boleh lolos dari kasus ini, semua yang terlibat akan dihukum sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku," katanya.

Sementara Kompas.com, Senin, 25 Maret 2024, mewartakan TNI telah menetapkan 13 prajurit dari Batalyon Infanteri (Yonif) Raider 300/Braja Wijaya sebagai tersangka atas penganiayaan terhadap anggota Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), Defianus Kogoya.

Kepala Dinas Penerangan TNI AD (Kadispenad) Brigjen Kristomei mengatakan, penganiayaan itu dilakukan di Pos Gome Satgas Pengamanan Perbatasan (Pamtas), Puncak, Papua Tengah, pada 3 Februari silam. Kemudian, video penganiayaan itu baru tersebar di media sosial pada Kamis, 21 Maret 2024.

“Sudah dilakukan pemeriksaan terhadap 42 orang prajurit TNI, dan dari 42 prajurit tadi sudah ditemukan indikasi 13 prajurit yang benar-benar melakukan tindakan kekerasan,” kata Kristomei saat konferensi pers di Subden Denma Mabes TNI, Jakarta Pusat

Kristomei mengatakan, 13 prajurit tersebut juga telah ditahan di Instalansi Tahanan Militer Maximum Security Polisi Militer Kodam (Pomdam) III/Siliwangi. Kadispenad mengatakan bahwa tindakan penganiayaan itu tidak dibenarkan di TNI. Sebab, prajurit, terlebib Satgas Pamtas seperti Yonif Raider 300/Braja Wijaya telah dibekali Standar Operasional Prosedur (SOP), Rules of Engagement (ROE) hingga hukum humaniter.

“Inilah yang kami sayangkan, bahwa TNI atau TNI AD tidak pernah mengajarkan, tidak pernah mengiyakan tindakan kekerasan dalam memintai keterangan, ini adalah pelanggaran hukum dan kita akan tindak sesuai aturan perundangan yang berlaku,” ujar Kristomei.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Awla Rajul, atau artikel-artikel lain tentang Hak Asasi Manusia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//