Demokrasi tak Dapat Diraih di Papua
Negara dinilai tidak memiliki kemauan politik untuk menyelesaikan konflik kekerasan di Papua.
Penulis Delpedro Marhaen12 Mei 2022
BandungBergerak.id - Kekerasan di Papua datang silih berganti. TNI dan Kepolisian Republik Indonesia masih menggunakan pendekatan kekerasan dalam menanggapi percakapan orang asli Papua ketika menolak pembentukan daerah otonom baru (DOB) pada Selasa (10/5/2022) lalu. Satu orang jadi korban peluru karet, tujuh orang ditangkap dan ratusan lainnya jadi korban kekerasan.
Tokoh Dewan Gereja Papua, Pendeta Benny Giay mengatakan, penangkapan dan kekerasan terhadap orang Papua yang melakukan aksi unjuk rasa penolakan pembentukan DOB sangat jauh dari pemahaman demokrasi. Benny mengungkapkan sejak 2019 pasukan keamanan gabungan TNI-Polri terus diterjunkan di Papua untuk menekan orang Papua. Baginya, ini merupakan kekerasan secara sistematis yang dilakukan oleh negara.
“Kami dari Gereja, menjadi saksi dari banyaknya perlakuan yang tidak adil pada [orang Papua] ketika negara terus mewacanakan kesejahteraan di Papua,” kata Benny dalam Media Brief Amnesty International Indonesia, Kamis (12/5/2022).
Sementara itu, Kepala Biro Papua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Ronald Rischardt, mempertanyakan tindakan pengaman yang dilakukan kepolisian dalam unjuk rasa menolak daerah otonom baru tersebut. Tindakan tersebut dipandang tidak sesuai dengan prosedur yang sudah diatur terkait penyampaian pendapat di muka umum. Bahkan disebut mencederai prinsip nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi yang diperjuangkan selama ini.
“Semakin lama, semakin terlihat bahwa pola kekerasan ini tidak berubah. Kita sudah berbicara berulang kali, berulang kali, terkait hal ini,” ungkapnya.
Senada dengan hal tersebut, Staf Divisi Hukum KontraS, Adelita Kasih mengatakan, tindak kepolisian dalam menangani aksi unjuk rasa penolakan DOB merupakan bentuk pengerahan kekuatan secara berlebihan. Upaya sistematis itu didasari oleh surat telegram dari Kapolda Papua yang menetapkan sejumlah daerah di Papua menjadi siaga satu. Hal tersebut terang dianggap menempatkan aksi unjuk rasa tersebut sebagai ancaman berbahaya.
“Hal itu terbukti jelas nyata berimplikasi pada tindakan kekerasan kepolisian di lapangan. Kita bisa lihat banyak sekali korban luka-luka, penangkapan secara sewenang-wenang, dengan demikian tidak menutup kemungkinan akan terjadi kriminalisasi terhadap orang-orang yang ditangkap tersebut,” ujarnya.
Berdasarkan pemantauan KontraS, penangkapan tersebut dilakukan dengan dalih tidak mengantongi perizinan unjuk rasa. Padahal, kata Adelia, aksi unjuk rasa tidak memerlukan izin, yang ada hanya berupa pemberitahuan kepada pihak keamanan.
Baca Juga: KontraS Meminta Kapolri Mengevaluasi Kinerja Kepolisian Daerah Papua
Lepas Tangan Pemerintah Kota Bandung atas Jaminan Tempat Tinggal bagi Warga Korban Penggusuran
Data Partikel Polusi Debu di Jalan Kota Bandung 2018-2020: Jauh di Atas Ambang Batas Aman, Turun di Tahun Pandemi
Dipaksa Tunduk
Tokoh Dewan Gereja Papua, Pendeta Benny Giay juga mengatakan, bahwa negara melalui TNI-Polri berupaya mengatur dan menguasai opini orang Papua dengan mendatangi dan memaksa orang Papua untuk membuat pernyataan yang sesuai dengan keinginan negara. Ia memandang cara tersebut tidak demokratis dan berujung pada tindakan represif. Tindakan tersebut terlihat dari peristiwa kekerasan terhadap orang Papua yang terjadi beberapa tahun belakangan.
“Cara terbaik untuk menyelesaikan masalah di Papua dengan kembali pada sejumlah agenda yang mengangkat akar-akar konflik. Bukan dengan memperpanjang otonomi khusus dengan sepihak, bukan juga memekarkan provinsi dalam rangka memperjuangkan usulan dari mantan Kepala BIN Hendropriyono. Kalau tidak ini hanya memperpanjang konflik Papua saja” pungkasnya.
Selain itu, Rischardt mengatakan bahwa orang Papua tidak pernah didengar dan dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan. Bahkan dalam beberapa kesempatan forum resmi negara, suara perwakilan yang disampaikan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) juga tidak diperhatikan. Ia menilai tidak ada kemauan baik dari negara untuk menempatkan orang asli Papua dalam suaranya menyangkut kehidupan yang lebih baik.
“Tidak ada sama sekali keinginan itu, saya tidak melihat hal itu dalam sejumlah proses yang sedang terjadi. Karena yang kita lihat selalu kekerasan yang terjadi. Coba kita lihat saja, kalau orang bicara Papua, pasti orang pikir tentang kekerasan. Lihat media mainstream mana di republik ini yang menampilkan Papua secara reguler setiap hari dengan informasi berbeda,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa tidak ada kemauan politik dari negara untuk menyelesaikan konflik kekerasan di Papua. Padahal selama ini, kata dia, pihaknya telah berupaya mengadakan dialog untuk mengatasi persoalan politik di Papua yang terus disuarakan oleh orang asli Papua, termasuk DOB. Tindakan kekerasan ini hanya akan mempertunjukan bahwa negara tidak punya cara lain untuk mengatasi konflik di Papua, selain dengan melakukan kekerasan terhadap orang Papua.
“Ini sangat tidak manusiawi sekali. Jadi kita gereja tidak akan pernah berhenti untuk membicarakan persoalan ini. Karena persoalan Papua adalah persoalan kemanusiaan. Bahwa dia bersentuhan dengan persoalan politik, itu persoalan lain. Orang mati terus menerus, orang dihadapi dengan kekerasan terus menerus. Bagaimana penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak sipil dan politik orang Papua itu dapat diletakan pada prinsip yang setara, ini tidak ada,” tegasnya.
UU ITE untuk Menekan Pendapat
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Nenden Sekar Arum mengungkapkan ada tujuh orang penyebar pesan demonstrasi di media sosial yang ditangkap. Ketujuh orang tersebut dijerat Undang-Undang Informasi Transaksi dan Elektronik (UU ITE).
“Meski mereka akhirnya dilepaskan, ini menjadi sinyal yang kuat bagaimana UU ITE menjadi satu motif pemerintah untuk merepresi ekspresi teman-teman di Papua, menebarkan ketakutan dan kriminalisasi,” tutup Nenden.
Menurut Nenden ajakan untuk berdemonstrasi yang disebarkan ketujuh orang tersebut di media sosial adalah hak kebebasan berkumpul dan menyampaikan pendapat warga negara.
“Apa yang disampaikan mereka melalui sosmed terkait ajakan berdemo ataupun turun aksi pada 10 Mei itu, dan kita lihat juga bagaimana implementasi UU ITE yang sebetulnya dikeluarkan oleh pemerintah itu sama sekali tidak memenuhi syarat, sehingga teman-teman itu tidak bisa ditangkap,” kata Nenden.
Nenden menjelaskan, dalam pedoman UU ITE dibuat pemerintah bahwa pelanggaran UU ITE pasal 28 ayat 2 hanya bisa disangkakan jika terbukti ada motif menghasut atau mengadu domba yang menimbulkan kebencian dan permusuhan. Dia menyebut ini sebagai ancaman bagi masyarakat untuk bersuara menyampaikan pendapat yang semakin dibatasi oleh negara dengan pasal karet UU ITE.
“Tapi ekspresi teman-teman Papua ini kemarin untuk melakukan aksi turun ke jalan, saya tidak melihat ada unsur menimbulkan kebencian atau permusuhan, yang disampaikan itu sebuah ekspresi yang muncul dari keresahan,” katanya.