Pemutaran Film Marsinah di Bandung, Kisah Perjuangan Buruh Perempuan yang Masih Relevan dengan Kondisi Dunia Kerja Saat Ini
Nonton bareng film Marsinah: Cry Justice di LBH Bandung. Mengurai jejak kekerasan sistemik terhadap gerakan buruh era Orde Baru.
Penulis Yopi Muharam9 Mei 2025
BandungBergerak.id - Tiga puluh dua tahun telah berlalu sejak Marsinah, seorang buruh perempuan dari Nganjuk, ditemukan tewas di sebuah parit di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timu, 8 Mei 1993. Tanggal ini menjadi penanda kelam atas pembungkaman terhadap suara buruh yang menuntut keadilan. Karyawan PT Catur Putra Surya (CPS) Porong itu, tak hanya menjadi korban pembunuhan keji, tetapi juga simbol perlawanan buruh, khususnya perempuan, terhadap negara otoriter.
Terkait peringatan ke-32 tahun wafatnya Marsinah, Posko Curhat Buruh (PCB) menggelar nonton bareng film Marsinah: Cry Justice di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. Film berdurasi 1,40 jam karya sutradara Slamet Rahardjo Djarot ini tak menyajikan kisah Marsinah secara langsung, tapi mengurai jejak kekerasan sistemik terhadap para buruh, melalui tokoh fiktif bernama Mutiari, kepala personalia PT CPS yang menjadi salah satu korban kriminalisasi dalam kasus ini.
Mutiari—yang sedang hamil—dipaksa mengaku sebagai dalang pembunuhan Marsinah. Ia, bersama delapan staf dan satpam pabrik, diseret oleh aparat militer. Mereka dijatuhi hukuman 4 hingga 12 tahun penjara. Namun, dua tahun kemudian, Mahkamah Agung memutuskan bahwa mereka tidak terbukti bersalah membunuh Marsinah.
Rekonstruksi kekerasan yang ditampilkan dalam film menggambarkan bagaimana tekanan psikologis yang diterima Mutiari selama 18 hari dikurung sebelum proses pengadilan. Dia akhirnya keguguran. Manipulasi kesaksian pun ditampilkan untuk memberatkan Mutiari dkk.
Bagi Nidan, seorang guru sekolah dasar di Kota Bandung, film ini menunjukkan kekejaman berlapis. “Pembunuhan Marsinah ini bukan hanya sekadar pembunuhan personal. Tapi membuktikan pembunuhan yang sistematis oleh negara,” ujarnya, di sesi refleksi usai pemutaran film “Marsinah: Cry Justice”.
Ia menyoroti kejanggalan yang terjadi, seperti hilangnya Marsinah setelah mendatangi Koramil, namun tidak satu pun aparat militer dimintai keterangan sebagai saksi. “Tidak masuk akal juga ketika Marsinah terakhir dilihat di Kodim (Koramil) tapi orang Kodimnya tidak dijadikan saksi,” ujarnya heran.
Otopsi atas jasad Marsinah memperlihatkan luka parah di tubuhnya, termasuk pada area vital. Luka itu memperkuat dugaan bahwa Marsinah menjadi korban penyiksaan brutal.
Nidan menyayangkan proses hukum pembunuhan Marsinah tak kunjung tuntas. Dalang pembunuhan belum terungkap hingga kini. Meski demikian, ia menegaskan bahwa keberanian Marsinah harus diwariskan. “Salah satu hal yang patut kita pelajari dari Marsinah adalah keberaniannya,” katanya.
Marsinah menjadi ikon perjuangan buruh setelah memimpin aksi pada 3 dan 4 Mei 1993, menyusul terbitnya Surat Edaran Gubernur Jawa Timur Nomor 50 tahun 1992 yang mewajibkan perusahaan menaikkan upah sebesar 20 persen. Perempuan kelahiran 10 April 1969 itu memperjuangkan 12 tuntutan buruh, termasuk kenaikan upah dari 1.700 rupiah menjadi 2.250 rupiah per hari, jaminan asuransi, dan tunjangan cuti hamil.
Namun, setelah 13 rekannya ditangkap militer karena demonstrasi, Marsinah mendatangi markas Kodim 0816 Sidoarjo pada 5 Mei. Sejak itu, ia tak pernah kembali. Tiga hari kemudian jasadnya ditemukan tak bernyawa.
Meli, anggota Simpul Puan, menyoroti sisi kelam perjuangan perempuan dalam gerakan buruh. Ia menyatakan, perempuan kerap dipaksa memikul beban ganda, dari intimidasi hingga pelecehan seksual. “Perempuan dijadikan objek pemuas nafsu seksual pada saat kita disiksa,” ungkap Meli. “Dan film ini ngelihatin bagaimana seorang perempuan dikriminalisasi gitu.”
Buruh yang menyuarakan keadilan justru kerap dijadikan sasaran represi. “Kita malah diperlakukan seolah kita tuh domba gembala yang siap untuk disembelih pada saat kita tidak berguna atau pada saat waktunya memang sudah tepat,” ujarnya getir.
Baca Juga: Mengenang Semangat Perlawanan Marsinah di Gedung Sate, Menolak Pembungkaman Serikat Pekerja
Kelas Buruh Dihantui Gelombang PHK dan Ketidakpastian Status Kerja
Pesan dari Peristiwa Pembunuhan Marsinah, Hubungan Industri dengan Buruh tidak Baik-Baik saja
Kontrol terhadap Gerakan Buruh
Film “Marsinah: Cry Justice” menyingkap bagaimana militer mengontrol ruang perjuangan buruh pada masa Orde Baru. Dua payung hukum, yakni SK Bakorstanas No.02/Satnas/XII/1990 dan Keputusan Menaker No.342/Men/1986, memberikan militer kewenangan menjadi mediator dalam konflik industrial. Celah inilah yang membuat Marsinah dan rekan-rekannya diburu karena menggelar aksi mogok.
Yudo Prakoso, koordinator aksi sebelum Marsinah mengambil alih, ditangkap pada hari pertama unjuk rasa dan dibawa ke Kantor Koramil 0816/04 Porong. Ia dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia, sebuah tudingan yang digunakan untuk menjustifikasi penangkapan.
Ressy Rizky Utari, asisten pengabdi hukum LBH Bandung, mengatakan bahwa film ini memberi ruang refleksi atas masih kuatnya peran militer dalam isu ketenagakerjaan. “Kekuatan berlebih akan bisa dipakai untuk menekan buruh gitu salah satunya,” ujarnya.
Ia menegaskan, perjuangan buruh adalah bagian dari hak warga negara. Negara seharusnya hadir melindungi hak dasar warga, bukan menjadi ancaman. “Seharusnya negara hadir untuk dapat melindungi dan memberikan hak-hak dasar yang seharusnya dapat dipenuhi,” ujar Ressy.
Senada, Ajat Sudrajat dari Local Initiative for Occupational Safety and Health Network (LION), menyatakan bahwa demonstrasi maupun mogok adalah hak sah buruh. “Masalahnya bukan legal atau tidak legal tapi memang itu adalah hak (buruh) yang seharusnya dilindungi,” katanya.
Ia menilai, peringatan Marsinah adalah bentuk kelanjutan perjuangan yang tak semata simbolik, tapi juga bentuk solidaritas dan pemahaman atas ketidakadilan yang masih terjadi.
Marsinah Sudah Jadi Pahlawan
Di penghujung acara, Fayad dari Aksi Kamisan Bandung membacakan pernyataan sikap terkait rencana pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto, yang ingin menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Marsinah. Pernyataan itu disampaikan Prabowo saat perayaan Hari Buruh 1 Mei di Monas, Jakarta.
Fayad menegaskan, Marsinah telah menjadi pahlawan bagi rakyat jauh sebelum pengakuan negara. Namun, ia mengingatkan bahwa penghormatan tanpa penuntasan kasus hanyalah simbolisme semu.
“Tanpa penuntasan ini, pemberian gelar pahlawan justru berpotensi menjadi kekerasan simbolik yang menutupi luka sejarah yang tak kungjung sembuh,” ujarnya.
Bagi Fayad, Marsinah bukan sekadar nama. Ia adalah simbol luka yang masih menganga. Marsinah adalah suara yang tak bisa dibungkam.
“Kami menolak normalisasi pelanggaran HAM melalui seremoni semata. Sebaliknya, gerakan buruh dan rakyat harus terus memperkuat konsolidasi bersama berbagai elemen demi penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu,” kata Fayad, membacakan pernyataan sikap dari berbagai elemen, seperti SBPS, LBH Semarang, dan Marsinah.id.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Yopi Muharam, atau artikel-artiikel lain tentang Kelas Buruh