Kelas Buruh Dihantui Gelombang PHK dan Ketidakpastian Status Kerja
Kemnaker melaporkan sebanyak 18 ribu tenaga kerja di Indonesia mengalami PHK di tahun 2025, termasuk kelas buruh di Jawa Barat.
Penulis Yopi Muharam8 Mei 2025
BandungBergerak.id - Peringatan hari buruh sedunia 1 Mei lalu di Indonesia diterpa kabar muram. Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-mana. Tak terkecuali, buruh yang berdomisili di Jawa Barat. Pada bulan kedua di 2025 saja, Kementrian Ketenaga Kerjaan (Kemnaker) melaporkan sebanyak 18 ribu tenaga kerja mengalami PHK.
Hal tersebut dilaporkan di laman satu data Kemenaker. Tenaga kerja ter-PHK paling banyak terdapat di Provinsi Jawa Tengah yaitu sekitar 57,37 persen dari jumlah tenaga kerja ter-PHK yang dilaporkan. Sedangkan Jawa Barat sebanyak 23 tenaga kerja di-PHK.
Di sisi lain, data yang diperoleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) melaporkan jumlah tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) mencapai 40.000 orang pada Januari-Februari 2025. Data tersebut berasal dari jumlah pekerja yang mencairkan BPJS Ketenagakerjaan. Pencairan tersebut dilihat dari jaminan hari tua (JHT) dan jaminan kehilangan pekerjaan (JKP).
Suprayitno, ketua umum Federasi Persatuan Perjuangan Buruh (FPPB) Bandung Raya, mengungkapkan nasib buruh di Indonesia, terkhusus di Jawa Barat sudah lama memprihatinkan. Bambang, begitu Suprayitno dikenal, menjelaskan ketakutan buruh terkait upah dan status kerja sudah dibangun selama bertahun-tahun.
Pria yang sudah bekerja sebagai buruh di pabrik kasur Cimahi sejak tahun 97 itu menjelaskan, terstrukturnya sistem yang menindas buruh terjadi saat krisis moneter menimpa Indonesia tahun 97-98. Saat itu, Indonesia terpaksa untuk membuat kebijakan Sistem kontrak pekerja atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Kebijakan itu diatur dan disahkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurutnya penetapan kebijakan tersebut tidak hadir begitu saja. Dia menyebut adanya pesanan dari pihak pengusaha untuk meraup keuntungan besar dalam mengeskpoloitasi buruh.
“Yang namanya undang-undang itu pasti sudah menjadi pesanan karena hari ini sistem yang menguasai negara kita adalah sistem kapitalisme,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ‘Kerja Keras, Hak Ditindas, Buruh dalam Bayang Ketidakadilan’ yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Program Studi Administrasi Publik (HMPSAP) Unpar, Bandung, Rabu, 7 Mei 2025.
Akan tetapi, menurutnya kebijakan tersebut masih memberatkan para pengusaha. Lalu, langkah untuk meringankan beban korporasi, kata Bambang, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 yang mengatur tentang upah buruh.
Dalam pasal (1) PP tersebut tercantum bahwa pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup dan/atau peningkatan produktivitas kerja dengan mempertimbangkan kemampuan perusahaan. Bahkan upah yang diatur dalam PP tersebut upah tidak lagi berdasarkan survei pasar, melainkan kenaikannya berdasarkan nilai inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi.
PP itu, menurut Bambang, tidak lagi melihat kebutuhan nyata para buruh setiap harinya. Tak berhenti di PP nomor 78 saja. Demi memberi karpet merah kepada pemilik modal, di periode kedua, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Cipta Kerja di tahun 2020 yang membuat demonstrasi besar di sejumlah titik di Indoensia.
Kendati UU Cipta Kerja sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi dan diberi waktu untuk perbaikan, “Celakanya rezim membuat perpu dan mengganti undang-undang menjadi undang-undang nomor 6 Tahun 2023,” terangnya.
UU Nomor 6 Tahun 2023 itu merupakan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
“Hari ini undang-undang nomor 6 masih juga digugat di MK putusannya nomor 168 ada 21 satu pasal yang dibatalkan atau dianulir oleh Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.
Akan tetapi, lanjut Bambang, ada kekosongan hukum yang dianggap oleh para pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan efisiensi. “Dengan alasan kekosongan hukum para pengusaha melakukan PHK seenak perutnya,” jelasnya.
Dia menceritakan, ketika melakukan riset dan berbincang dengan para buruh yang di PHK, rata-rata umurnya sudah di atas 40 tahun. Hal itu menjadi keresahan para buruh, sebab minimnya perusahaan yang hendak menerima mereka karena terhalang batas usia.
“Perusahaan mana yang mau menerima usia yang sudah tidak produktif? Tidak ada,” tutupnya.

Ketimpangan Struktural
Andi Daffa, pengabdi Bantuan Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mengungkapkan, dampak dari PHK sangat berdampak panjang. Pasalnya satu orang tua yang dipecat sangat memengaruhi ekonomi keluarga.
Dampak panjangnya, jika PHK massal ini dilakukan di berbagai titik di Indoensia akan membuat ekonomi di dalam negeri lemah. “Yang ingin ditunjukkan bahwa kondisi perburuhan saat ini sebetulnya belum ada baik-baiknya, tuh,” ungkap Daffa.
Dia juga menjelaskan PHK masal yang terjadi di PT Danbi Internasional pada Februari lalu. Perusahaan manufaktur bulu mata yang berlokasi di Kabupaten Garut ITU melakukan PHK terhadap 2.000an buruh. Bahkan, sejumlah buruh pun menghadapi permasalahan lain, yaitu; gaji yang belum terbayar.
Senada dengan Bambang, terjadinya PHK ini dampak dari ditetapkannya UU Cipta Kerja. “Nah, jadi secara hukum memang konteks perburuhan ini memang masih belum mendapatkan hal-hal yang baik,” ujarnya.
Daffa mengungkapkan adanya permasalahan struktural yang dialami oleh para buruh di Indonesia. Menurut Daffa pekerjaan buruh ini kerap dialami ketidakadilan. Sebab adanya relasi kuasa yang kuat di dalam perusahaan.
Dia mencontohkan ketika buruh menunut kenanikan upah ke perusahaan ketika melembur, kerap kali dihadapkan dengan permasalahan. Pasalnya, banyak buruh yang tidak menadapat upah yang adil ketika mereka melakukan lembur kerja.
Ancaman yang paling sering dilayangkan, menurut Daffa adalah pemecatan sepihak karena buruh menuntut haknya. “Kalau misalkan enggak diturutin, ya udah saya PHK.. Masih banyak kok yang mau kerja di sini,” terangnya menirukan ancaman kepada buruh. “Enggak ada daya tawar untuk buruhnya,” lanjutnya.
Tidak hanya itu, sebagian buruh juga mengalami kesulitan untuk mendirikan serikat kerja di perusahaan. Pasalnya, menurut Daffa, banyak perusahaan yang sudah mendirikan serikat versi mereka sendiri.
“Jadi perusahaan tuh udah bikin serikat sebetulnya di masing-masing perusahaan,” ujarnya, “Jadi dibikin hanya untuk memenuhi syarat kalau misalkan di masing-masing pabrik atau tempat usaha itu wajib pada serikat. Kalau sudah ada satu serikat oh berarti enggak melanggar hukum selesai,” lanjutnya.
Menurutnya, banyak serikat versi perusahaan hanya menariki iuran kepada para buruh. Akan tetapi, “Ngurusin buruhnya kagak, memperjuangkan haknya kagak, cuma narik-narik duit doang,” tandasnya.
Baca Juga: Berserikat Diintimidasi, Berekspresi Dibredel: Paradoks Kebebasan di Kampus-kampus Bandung
Belum Semua Perusahaan di Bandung Memenuhi Hak Cuti Haid, Cuti Hamil, dan Upah yang Setara Kepada Perempuan Pekerja
Kesejahteraan Kelas Buruh Akademik
Buruh tidak hanya yang bekerja di pabrik saja. Tenaga pendidik atau dosen juga dapat dikategorikan sebagai buruh. Sebab pengertian buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dan mendapatkan upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Namun, permasalahan yang dialami buruh akademik bukanlah ancaman PHK, melainkan kesejahteraan. Indrasari Tjandraningsih, Dewan Pengawas Serikat Pekerja Kampus (SPK), menjelaskan gaji dosen di Indonesia terbilang sangat kecil, jauh berbeda dengan gaji di negara ASEAN lainnya seperti di Singapura atau Malaysia.
Pembagian gaji bulanan tiap dosen berbeda-beda tergantung kategori, mulai dari dosen tetap, dosen yang diperbantukan, dosen honorer, dosen kontrak, hingga dosen tamu.
Sari menjelaskan dosen pemula atau golongan III/A A mendapatkan gaji pokok antara 2,3 juta rupiah hingga 2,7 juta rupiah per bulan. Hal tersebut sangat jauh dengan gaji dosen seperti di negara Singapura yang bisa mencapai 75 juta rupiah hingga 208 juta rupiah per bulan atau Malaysia sebesar sekitar 12 juta rupiah per bulan.
Rendahnya gaji ini, kata Sari, mencerminkan kurangnya perhatian terhadap tenaga pendidik dan berpotensi memengaruhi kualitas pendidikan tinggi. “Pemerintah telah mengeluarkan regulasi untuk meningkatkan kesejahteraan dosen, tetapi implementasinya masih perlu pengawasan agar efektif,” terangnya.
Dari sisi pekerjaan, beban kerja yang harus dijalankan dosen cukup berat karena harus melakukan riset, penelitian, dan pengabdian. Hal tersebut yang menjadi latar belakang SPK lahir. Serikat ini dideklarasikan pada 17 Agustus 2023 di Jakarta. Saat ini sudah ada 1.400an anggota yang tergabung dalam SPK.
“Latar belakangnya sederhana dan sama dengan apa yang dialami oleh teman-teman buruh pabrik,” ujar Sari. “Yaitu, soal kesejahteraan, soal keadilan, hingga soal perlindungan hak dosen.”
Sari menunjukkan kondisi kerja dosen dalam riset yang dilakukan SPK di tahun 2024. Mayoritas dosen (61 persen), memiliki gaji 3 juta rupiah per bulan. Dosen di perguruan tinggi swasta menerima gaji lebih rendah, bahkan ada yang kurang dari 2 juta rupiah per bulan.
Riset ini juga menungkapkan bahwa sekitar 76 persen dosen terpaksa mencari pekerjaan sampingan karena gaji yang tidak cukup. “Dosen merasakan beban kerja yang berat, termasuk mengajar, penelirian, pengabdian, dan publikasi,” tuturnya.
Padahal, menurutnya, kesejahteraan dosen erat kaitannya dengan mutu pendidikan tinggi. “Kalau kami dosen sejahtera, enggak usah mikirin, aduh besok aku kasih uang jajan anak kamu. Berapa ya? Terus kita cari tambahan-tambahan,” jelasnya.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Yopi Muharam, atau artikel-artiikel lain tentang Kelas Buruh