Belum Semua Perusahaan di Bandung Memenuhi Hak Cuti Haid, Cuti Hamil, dan Upah yang Setara Kepada Perempuan Pekerja
May Day 2025 di Bandung menyuarakan pemenuhan hak-hak perempuan yang selama ini banyak dilanggar. Diskriminasi masih terjadi.
Penulis Fitri Amanda 2 Mei 2025
BandungBergerak.id - Suara-suara perempuan pekerja menggema di peringatan Hari Buruh Sedunia (May Day) tahun ini di Kota Bandung, mereka hadir membawa tuntutan yang tidak kunjung dipenuhi oleh berbagai rezim penguasa. Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan 2024 dari Komnas Perempuan menyebut, sebanyak 2.702 kasus kekerasan terhadap perempuan pekerja.
Sementara survei Gajimu.com bersama serikat buruh sektor tekstil, garmen, sepatu, dan kulit (TGSL) dalam siaran pers Komnas Perempuan tanggal 30 April 2025 tentang Hari Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Sedunia 2025 mengungkap bahwa 1 dari 23 perempuan pekerja mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Sekitar 52 persen perempuan pekerja tidak mendapatkan hak cuti haid, 22,6 persen tidak menerima upah penuh saat cuti melahirkan, dan sebagiannya mengalami diskriminasi upah, bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) hanya karena mereka menuntut pemenuhan hak-hak dasar mereka.
Matahari, salah satu peserta aksi Hari Buruh Sedunia 2025 di Bandung mengungkapkan bahwa pada akhirnya, sang pemilik modal tidak peduli tentang kesejahteraan pekerjanya dan atau gagal menciptakan ruang aman di lingkungan perusahaannya. Menurutnya masih banyak perempuan pekerja justru kehilangan pekerjaan ketika berusaha menuntut hak-hak mereka.
“Bahkan mereka harus kehilangan pekerjaan mereka ketika tidak mendapatkan hak-haknya termasuk cuti haid, cuti hamil gitu. Malah jadi ancaman untuk para perempuan ini tidak mendapatkan pekerjaannya gitu atau sulit mendapatkan pekerjaan, karena anggapan-anggapan mereka akan hamil, kemudian melahirkan, dan akhirnya tidak produktif lagi,” jelas Matahari, soal diskriminasi yang terjadi terhadap perempuan pekerja, di aksi May Day 2025 di Taman Cikapayang, Bandung, Kamis, 2 Mei 2025.
Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa perempuan pekerja berhak atas cuti haid pada hari pertama dan kedua masa haid (Pasal 81), berhak atas cuti hamil selama satu setengah bulan sebelum melahirkan dan cuti satu setengah bulan sesudah melahirkan (Pasal 82). Setiap pekerja atau buruh yang menggunakan hak waktu istirahat hamil dan melahirkan berhak mendapatkan upah penuh (Pasal 84).
Deti yang aktif di Perhimpunan Bantuan Hukum (PBHI) Jawa Barat mengatakan, meskipun sudah ada peraturan mengenai hak-hak perempuan pekerja, namun pada realita di lapangan sering kali jauh dari kata ideal.
“Perempuan kalau misalkan mau cuti haid itu harus ada izin gitu harus sampai diperiksa, sedangkan kan itu secara HAM bisa melanggar gitu. Masih ada yang harus memperlihatkan pembalut mereka gitu, sedangkan perempuan kan punya siklus tersendiri dan itu ada di aturan tetapi dalam praktiknya perempuan masih dipersulit,” ucap Deti, memberikan beberapa contoh yang pernah ia jumpai perihal pengabaian hak cuti haid terhadap perempuan pekerja.
Penting bagi negara dan pelaku usaha untuk memastikan bahwa perempuan pekerja mendapatkan perlindungan serta hak-hak yang layak sebagaimana mestinya. Aminah, mantan buruh yang juga hadir dalam aksi Hari Buruh Sedunia 2025, mengungkapkan bahwa pada kenyataannya saat ini masih ada pabrik-pabrik yang tidak memberikan perlindungan dan pemenuhan hak cuti haid dan melahirkan kepada perempuan pekerja. Alasannya, karena para perempuan pekerja kebanyakan adalah pekerja alih daya (outsourcing), mereka dipekerjakan melalui pihak ketiga.
“Mereka (outsourcing) tidak bisa melawan dan dari perusahaan bahwa outsourcing itu tidak mendapatkan apa-apa. Hanya gaji tok,” ucap Aminah.
Pengabaian hak-hak perempuan pekerja, khususnya hak cuti haid dan cuti hamil adalah sebuah bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Menurut buruh lainnya, Gilang, pengabaian tersebut merupakan bentuk kontrol terhadap tubuh perempuan. Menurutnya, perempuan bahkan tidak diberi waktu untuk berpikir tentang kesehatannya dan juga tentang kehamilannya.
Gilang menuturkan pengalaman pahit yang dialami buruh perempuan di Kabupaten Bandung tahun 2019. Sang buruh keguguran karena sebelumnya ia bekerja dengan jam kerja panjang.
“Dia bekerja (selama) 16 jam kerja, dia bahkan ketika keguguran perusahaannya gak mau nanggung. Jadi berobat sendiri, udah mah celaka, berobat sendiri pula,” jelas Gilang, merefleksikan kondisi ketidakadilan struktural yang masih menjadi persoalan hingga saat ini.
Baca Juga: May Day 2025 di Bandung, Menyorot Kerentanan Kaum Buruh dan Ancaman Regulasi Represif
Isu-isu Krusial yang Merugikan Kelas Pekerja di Hari Buruh Internasional (May Day) 2023

Ketimpangan Upah Mengakar
Selain hak cuti yang kerap diabaikan, diskriminasi terhadap perempuan pekerja juga tercermin pada ketimpangan upah. Menurut laporan hasil audiensi Komnas Perempuan dengan Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) pada 13 Maret 2025 di laman Komnas Perempuan, KASBI menyoroti bahwa ketimpangan upah pada perempuan pekerja masih terjadi di berbagai daerah di Indonesia, seperti Bandung, Tangerang, dan Garut. Perempuan pekerja menerima upah lebih rendah dibandingkan pekerja laki-laki, meski mereka melakukan pekerjaan yang sama.
Pandangan senada diungkapkan oleh Deti, yang menyebutkan bahwa ketimpangan upah saat ini masih menjadi persoalan yang mengakar yang dihadapi banyak perempuan pekerja. Menurutnya, salah satu faktor penyebab ketimpangan adalah kuatnya budaya patriarki di dunia kerja.
“Udah mah kita buruh susah untuk mendapatkan hak, ditambah lagi ketika kita gendernya perempuan atau gender minoritas itu sulit sekali untuk mengakses, bersuara, dan menuntut hak-hak,” ucap Deti.
Dalam siaran pers Komnas Perempuan mengenai Jamin Pemenuhan Hak dan Ruang Aman Perempuan Pekerja, 1 Mei 2025, Irawan Setiawan selaku Komisioner Komnas Perempuan menyebutkan, sepanjang tahun 2025 Komnas Perempuan menerima pengaduan dari serikat buruh yang terdampak gelombang PHK dan diskriminasi upah yang berdampak pada ekonomi rumah tangga mereka.
“Perempuan pekerja terpaksa memangkas kebutuhan pokok, kehilangan akses pendidikan dan pelayanan kesehatan, serta menghadapi penurunan kualitas hidup keluarga,” jelas Irawan Setiawan, dalam siaran pers Komnas Perempuan, 1 Mei 2025.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Fitri Amanda, atau artikel-artiikel lain tentang Kelas Buruh