• Nusantara
  • Isu-isu Krusial yang Merugikan Kelas Pekerja di Hari Buruh Internasional (May Day) 2023

Isu-isu Krusial yang Merugikan Kelas Pekerja di Hari Buruh Internasional (May Day) 2023

Isu-isu yang merugikan kaum buruh ada pada UU Cipta Kerja, kebijakan pemotongan upah, hingga desakan pengesahan Rancangan Undang-undang Para Pekerja Rumah Tangga.

Buruh dari serikat pekerja KASBI saat aksi unjuk rasa di Bandung, Jawa Barat, 14 Oktober 2021. KASBI terus mendesak pemerintah untuk membatalkan omnibus law dan aturan-aturan yang merugikan buruh dalam aksi yang juga digelar sebagai bagian dari peringatan berdirinya Federasi Serikat Buruh Dunia atau World Federation of Trade Unions. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana1 Mei 2023


BandungBergerak.idHari Buruh Internasional (May Day) setiap 1 Mei mengingatkan bahwa perjuangan buruh jauh dari selesai. Ada sejumlah isu krusial yang menjadi sorotan gerakan buruh di Indonesia, mulai dari tuntutan pencabutan Undang-undang Cipta Kerja, pemotongan upah, hingga desakan pengesahan Rancangan Undang-undang Para Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).

Sebagai catatan, buruh merupakan pekerja yang menerima upah atau imbalan dari perusahaan. Dari definisi ini terlihat bahwa mayoritas waga negara Indonesia adalah buruh, baik mereka yang bekerja di pabrik-pabrik, di sektor rumah tangga, maupun di perkantoran.

Gambaran tingginya jumlah buruh dapat dilihat di Kota Bandung, kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Berdasarkan data yang disajikan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, jumlah buruh di Kota Bandung dalam kurun lima tahun terakhir, tidak pernah kurang dari 600 ribu orang. Jumlah terbanyak ada di tahun 2015, mencapai 725.857 orang. 

Pada 2020, tahun ketika pagebluk mulai berlangsung, jumlah buruh Kota Bandung tercatat di angka 622.501 orang, terdiri dari 400.497 orang buruh laki-laki dan 222.004 orang buruh perempuan. Jumlah buruh ini setara dengan seperempat, tepatnya 25,47 persen, dari total penduduk Kota Bandung yang berjumlah 2.444.160 orang. 

Turun ke Jalan

1 Mei tahun ini pun dimanfaatkan para buruh untuk turun ke jalan dalam rangka menyalurkan tuntutan mereka. Gerakan buruh menilai 1 Mei buakanlah momen untuk merayakan kemenangan buruh di hari buruh. Sebaliknya, situasi dan kondisi semakin merugikan dan menggerus kesejahteraan kaum buruh/pekerja di berbagai sektor bidang pekerjaan.

FSP LEM SPSI Jawa Barat menjadi salah satu serikat pekerja yang turun ke jalan di hari buruh ini. Ketua DPD FSP LEM SPSI Jawa Barat Muhamad Sidarta mengatakan, dalam aksi ini pihaknya menunut pencabutan UU Cipta Kerja dan menolak pemotongan upah buruh hingga 25 persen.

“(UU Cipta Kerja) tidak sesuai kententuan oleh organisasi buruh, sehingga sampai kapan pun buruh akan melawan sesuai mekanisme piranti demokrasi dan konstitusi,” kata Sidarta, dalam siaran pers yang diterima BandungBergerak.id, Senin (1/5/2023).

Ketentuan pemotongan upah hingga 25 persen diatur oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor. Sidatra menilau peraturan ini bertentangan dengan amanah UUD 1945 pasal 28D ayat 2, bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Baca Juga: Data Jumlah Buruh di Kota Bandung 2015-2020, Anjlok di Tahun Pagebluk
Usai Lebaran, THR 1.142 Buruh di Bandung Belum Dibayar
Data Penduduk Kota Bandung berdasarkan Pekerjaan 2020, Pelajar dan Mahasiswa Terbanyak

Merugikan Buruh Perempuan

Secara khusus, regulasi pemotongan upah akan merugikan buruh perempuan. Aliansi PRT dan Buruh Perempuan menilai, kebijakan ini bersifat diskriminasi dan akan melanggengkan kemiskinan buruh perempuan.

Alih-alih memberikan perlindungan dan mempertahankan kelangsungan bekerja, Permenaker No 5 tahun 2023 dinilai akan menghilangkan perlindungan, mengabaikan hak reproduksi buruh perempuan seperti cuti haid, cuti hamil, melahirkan, dan cuti keguguran serta menjadikan buruh tidak memiliki kepastian kerja di tengah kontrak kerja yang semakin pendek.

“Penyesuaian waktu kerja yang diatur didalam permen ini pada praktiknya akan menjadikan setiap buruh adalah buruh harian karena waktu kerja dan upah dihitung berdasarkan satuan waktu dan hasil,” kata Aliansi PRT dan Buruh, dalam siaran persnya.

Aliansi menyatakan, pengurangan upah sebesar 25 persen adalah pelanggaran hak yang dilegalkan oleh Permenaker dan menjadikan buruh tidak menerima upah yang seharusnya mereka terima sesuai dengan ketentuan upah yang berlaku. Upah minimum adalah hak dasar yang tidak boleh dilanggar sehingga pengurangan waktu dan jam kerja seharusnya tidak boleh berkonsekuensi terhadap perngurangan upah buruh.

“Kebijakan pengurangan upah akan membuat hidup buruh perempuan semakin terpuruk didalam kemiskinan,” katanya.

RUU PPRT dan Menolak Kebijakan No Work No Pay

Aliansi PRT dan Buruh Perempuan terdiri dari beragam elemen gerakan buruh, seperti JALA PRT, Perempuan Mahardhika, GMNI, Institut Sarinah, Konde.co, SPRT Tangsel, Forum Gema Perempuan, Yapesdi, SPRT Sapu lidi.

Isu besar lainnya yang menjadi perhatian aliansi adalah buruh perempuan dan PRT. Para PRT hingga hari ini masih menunggu pembahasan RUU PPRT masuk ke paripurna DPR RI. Di tengah apresiasi terhadap pemerintah yang baru menyelesaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), para PRT mendorong DIM untuk dibawa ke rapat paripurna dan dibahas di DPR. Pembahasan ini seharusnya sudah selesai setelah lebaran.

Koordinator JALA PRT Lita Anggraini menyatakan, pemerintah dan DPR agar konsisten membahas RUU PPRT. Menurutnya, hari buruh merupakan momentum untuk mendorong, mengingatkan bahwa masih banyak isu marjinal seperti PRT dan buruh yang harus diperjuangkan di tengah gegap gempita isu pemilu dan pencalonan presiden.

Aliansi juga menolak kebijakan No Work No Pay yang dinyatakan Menteri Ketenagakerjaan. Menaker menyatakan bahwa untuk meminimalkan PHK, maka perusahaan boleh menerapkan no work no pay bagi para buruh.

Kebijakan tersebut sangat merugikan para buruh, terlebih buruh perempuan karena pengusaha bisa dengan sewenang-wenang menyatakan tidak akan menggaji buruh dengan kondisi tertentu, seperti sedang cuti kehamilan, cuti haid, sakit, dll.

Pengurus Perempuan Mahardhika Vivi Widyawati mengatakan, pihaknya mendata ada ratusan buruh perempuan garmen yang terpuruk dari aturan no work no pay, ada buruh perempuan yang kemudia n hanya dipekerjakan sesaat dengan dalih no work no pay.

"Ini seperti jadi pasal karet yang mematikan hak buruh perempuan untuk bekerja. Padahal ada pasal yang mengijinkan cuti haid, cuti melahirkan, sakit, izin, dll yang dilanggar pengusaha dan merugikan buruh perempuan," kata Vivi Widyawati.

Perempuan Mahardhika juga mendata dari puasa hingga lebaran hingga hari ini banyak buruh perempuan yang nasibnya terkatung-katung akibat kebijakan no work no pay. Mereka adalah para buruh perempuan garmen yang harus bekerja keras sebelum lebaran dan harus memenuhi kebutuhan pasokan di masa lebaran, namun ini dianggap sebagai pekerjaan tambahan tanpa tambahan gaji.

"Jadi para buruh perempuan ini adalah yang harus bekerja memenuhi kebutuhan di hari libur, ini semua harus mereka penuhi sebelum libur, tapi pekerjaan ini tidak dianggap sebagai kerja. Ketika lebaran, mereka lalu diberikan libur, namun ini bukan libur yang digaji, libur lebaran dianggap tidak bergaji atau no work no pay," kata Vivi Widyawati.

Menghadapi beragam isu krusial tersebut, aliansi menyatakan tuntutannya sebagai berikut:

  1. Mendorong pemerintah dan DPR segera bahas dan segera sahkan RUU PPRT;
  2. Menolak No work no pay, Tolak UU Cipta Kerja, dan Permenaker No 5/2023;
  3. Perjuangkan upah perempuan yang tidak diskriminatif agar perempuan tidak terpuruk dalam kemiskinan.
Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//