• Liputan Khusus
  • Berserikat Diintimidasi, Berekspresi Dibredel: Paradoks Kebebasan di Kampus-kampus Bandung

Berserikat Diintimidasi, Berekspresi Dibredel: Paradoks Kebebasan di Kampus-kampus Bandung

Kebebasan berserikat dan kebebasan berekspresi menjadi barang mahal di kampus-kampus Bandung. Terganjal aturan, terpangkas oleh kebijakan anti-kritik.

Serikat pekerja merupakan salah satu cara bagi buruh untuk menuntut kesejahteraan. Berserikat dijamin undang-undang. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah3 Mei 2025


BandungBergerak.idDede, 40 tahun, sudah lebih dari dua dekade bekerja sebagai petugas K3L (Kebersihan, Keindahan, dan Kenyamanan Lingkungan) di Universitas Padjajaran (Unpad), Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Setiap hari dia datang lebih awal dari dosen dan mahasiswa untuk membersihkan lorong-lorong gedung fakultas, menyapu jalanan, dan merapikan taman kampus. Namun dedikasi tinggi pekerja perempuan ini tidak lantas selaras dengan gaji yang diterima. Separuh usia hidup Dede dihabiskan untuk bekerja tanpa jaminan sosial dan tanpa kepastian status sebagai pekerja tetap.

Hak-hak normatif lain yang seharusnya didapatkan Dede juga hilang tertiup angin. Dulu dia harus bekerja tanpa hak cuti hamil dan tanpa tunjangan hari raya (THR). Rencana pengangkatannya menjadi pekerja tetap dengan gaji terbilang lumayan setara aparatur sipil negara (ASN) di kampus, kandas karena dicurangi.

Dulu kampus Unpad Jatinangor, tempat Dede bekerja, belum menjadi pusat kegiatan mahasiswa seperti sekarang. Wisuda, misalnya, masih diselenggarakan di kampus Unpad Dipati Ukur, Kota Bandung. Bersama rombongan pekerja lain dari kampus Jatinangor, Dede harus sering menempuh perjalanan bolak-balik. Termasuk ketika dia dalam kondisi hamil tua. 

"Waktu dulu lagi hamil besar, (saya) suka ikut (ke kampus Bandung) kalau ada wisuda di Bandung. Dulu mah semua kegiatan wisuda di sana," kenangnya.

Kondisi muram para pekerja mulai berubah ketika pada tahun 2015 sekelompok mahasiswa Jurusan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpad memulai sebuah inisiatif kecil tapi berdampak. Mereka melakukan penelitian tentang para pekerja K3L, mendengarkan keluhan mereka, dan mencatat setiap pelanggaran hak-hak buruh alih daya (outsourcing) tersebut. Tak hanya riset, para mahasiswa juga mendampingi pekerja P3L untuk membentuk organisasi atau serikat pekerja yang dinamai Konsolidasi Pekerja Padjajaran (Koperja). 

"[Mahasiswa] melakukan penelitian [pekerja K3L] hampir dua tahun sebelum membentuk Koperja," ungkap Enis, Ketua Koperja, ditemui Kamis, 17 April 2025.

Proses membentuk dan mempertahankan Koperja tidak mudah. Namun berkat dukungan lembaga luar kampus seperti Serikat Pekerja Nasional (SPN), serikat ini kemudian mendapatkan pengakuan formal dari Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Sumedang.

Terbentuknya Koperja bukan berarti perjuangan selesai. Tantangan demi tantangan terus menghadang. Salah satunya datang dari pihak rektorat Unpad yang enggan mengakui Koperja dengan alasan bahwa Unpad mengelola tenaga kebersihan melalui pihak ketiga atau vendor penyedia jasa tenaga alih daya.

Intimidasi dan ancaman pun tak terhindarkan. Salah satunya melalui kebijakan pemangkasan tenaga kerja. Banyak pekerja yang awalnya mendukung pembentukan Koperja, akhirnya mundur satu per satu. Serikat pekerja yang awalnya memiliki anggota ratusan orang kini tinggal beberapa orang saja. Enis mengungkapkan bahwa sebagian besar pekerja terjebak dalam 'zona nyaman', meski besaran gaji yang mereka terima sangat minim.

"Mereka dibikin nyaman. Mau gaji kecil pun, asal kerja santai, ya sudah," tuturnya.

Membaik, tapi Belum Cukup

Menghadapi jalan terjal, perjuangan berserikat Koperja tidak padam. Meskipun jumlah anggota yang bertahan kini hanya hitungan jari, semangat mereka untuk memperjuangkan hak-hak pekerja tetap menyala. Salah satu hasil nyata dari perjuangan ini adalah kenaikan gaji para pekerja K3L.

Sebelum terbentuknya Koperja, gaji para pekerja K3L di kisaran 500 ribu rupiah per bulan. Setelah aksi besar pada tahun 2016, gaji mereka naik menjadi 1.275.000 rupiah. Diketahui, nilai Upah Minimum Kabupaten (UMK) Kabupaten Sumedang tahun 2025 adalah 3.732.088 rupiah.

"Itu sudah perubahan besar untuk kami. Tapi apakah cukup? Tidak!" kata Dede dengan nada penuh keprihatinan.

Harga-harga kebutuhan pokok semakin hari terus melonjak. Gaji yang diterima tidak mungkin mencukupi kebutuhan para pekerja.

Belum lagi kesibukannya di serikat pekerja Koperja meminta pengorbanan. Hubungannya dengan suami merenggang. Mahasiswa yang mengajak ibu-ibu P3L untuk berserikat merasa memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki rumah tangga Dede. Mereka kemudian berusaha mempertemukan Dede dengan suaminya untuk menyakinkan bahwa mereka bisa bersatu kembali. Tapi nasi sudah terlanjur jadi bubur.

“Dasarnya memang belum jodoh,” ucap Dede.

Kini, setelah bertahun-tahun berjuang, Koperja masih menanti janji kenaikan gaji pascalebaran. Para pekerja berharap agar Unpad dapat mereformasi sistem yang selama ini menumbuhkan ketidakadilan terhadap status pekerjaan mereka.

"Kami tidak ingin kaya. Kami hanya ingin hidup layak, diperlakukan adil, dan diakui keberadaannya," kata Enis.

Aksi serikat pekerja di momen May Day 2025, Bandung, 1 Mei 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Aksi serikat pekerja di momen May Day 2025, Bandung, 1 Mei 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Jalan Terjal Serikat Pekerja Kampus

Koperja bukan satu-satunya serikat pekerja yang berjuang di lingkungan kampus. Beberapa dosen di Unpad menggabungkan diri dalam Serikat Pekerja Kampus (SPK) yang memfokuskan diri pada perjuangan menuntut pemenuhan hak-hak dosen dan tenaga pendidik. Termasuk hak atas kesejahteraan. 

Subekti Wirabhuana Priyadharma, Koordinator SPK Wilayah Jawa Barat, menjelaskan bahwa serikat pekerja ini berupaya membangun jaringan dan solidaritas di antara dosen dan tenaga pendidikan di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Tidak dimungkiri, banyak dosen yang terpinggirkan dan tidak mendapat perhatian yang layak, baik dari pemerintah maupun dari kampus.

"Dosen sering dianggap sebagai pengabdi ilmu, bukan sebagai pekerja yang memiliki hak-hak dasar seperti buruh lainnya," kata Subekti, yang akrab disapa Ibek, saat dihubungi BandungBergerak pada Sabtu, 18 April 2025.

Namun, tantangan yang dihadapi oleh SPK tak jauh berbeda dengan yang dialami Koperja. Banyak dosen yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terikat oleh aturan yang membatasi kebebasan mereka dalam berorganisasi, termasuk bergabung dalam serikat pekerja. Banyak dosen yang enggan bergabung karena takut melanggar peraturan ASN, meskipun serikat pekerja penting untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

"Sebagai ASN, kami tidak dapat dengan leluasa bergabung atau membentuk serikat pekerja. Padahal, di banyak negara, serikat pekerja merupakan instrumen yang sangat penting untuk memperjuangkan hak-hak pekerja, termasuk dosen," jelas Ibek.

Selain tantangan internal di lingkup kampus, SPK menghadapi tantangan lain dari luar, yaitu stigma. Ada anggapan bahwa dosen bukan buruh atau pekerja. Dosen dicitrakan sebagai pejuang ilmu daripada seorang pekerja yang memiliki hak-hak seperti buruh pada umumnya. Padahal, dosen juga membutuhkan perlindungan akan hak-hak dasar, mulai dari gaji yang layak, jaminan sosial, hingga jaminan kerja yang adil.

"Sering kali, dosen dianggap memiliki pekerjaan yang tidak seberat buruh di pabrik atau sektor lainnya. Padahal, mereka juga bekerja keras, mengajar, melakukan penelitian, dan mendidik generasi penerus bangsa. Mereka berhak mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan yang lebih baik," tutur Ibek.

SPK terus berusaha membangun kesadaran kolektif di kalangan dosen agar mereka bisa bersama-sama memperjuangkan hak-hak secara lebih efektif. Tercatat, serikat ini kini telah menghimpun sekitar 1.132 orang dosen dan tenaga pendidikan dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

Ibek menegaskan, perjuangan serikat pekerja kampus bukan semata-mata tentang tunjangan dan gaji melainkan perjuangan menciptakan lingkungan pendidikan yang adil dan sejahtera untuk semua pihak. Harus ada perlakuan yang setara antara dosen negeri dan swasta.

Mencegah Kecelakaan Kerja

Serikat pekerja di lingkungan kampus bukan saja elemen dasar untuk menuntut pemenuhan gaji dan hak-hak normatif lainnya. Ada kaitan antara pemenuhan hak-hak normatif dan pencegahan angka kecelakaan kerja yang angkanya di Indonesia kian mengkhawatirkan.

Ajat Sudrajat, aktivis Local Initiative for Occupational Safety and Health Network (LION) Indonesia menyebut, hampir 22 orang buruh meninggal setiap hari akibat kecelakaan kerja. Satudata Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 462.241 kasus kecelakaan kerja terjadi sepanjang tahun 2024.

“Itu pun hanya angka yang tercatat. Kami yakin jumlah sebenarnya lebih besar," kata Ajat saat ditemui BandungBergerak, Kamis, 24 April 2025.

Banyak faktor yang menyebabkan peningkatan angka kecelakaan kerja di Indonesia, mulai dari jam kerja yang berlebihan hingga status pekerjaan yang tidak pasti. Buruh yang bekerja dengan status kontrak atau alih daya (outsourcing) sering kali merasa terancam untuk menolak pekerjaan yang berisiko, karena takut PHK. Di sisi lain, banyak pemberi kerja yang mengabaikan hak buruh untuk mendapatkan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk di sektor pendidikan seperti kampus.

Kampus yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan kenyataannya tetap mengambil keuntungan dari dosen, staf, atau tenaga pendidik lainnya. Ajat yakin banyak kampus yang tidak mendaftarkan para pekerja ke BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan dan Ketenagakerjaan untuk mengurangi biaya operasional. Padahal, kata Ajat, perlindungan bagi pekerja erat kaitannya dengan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.

Masalah lainnya, inisiatif kebebasan membentuk serikat pekerja masih mendapat respons negatif. Banyak buruh yang enggan bergabung dalam serikat pekerja karena takut kehilangan pekerjaan mereka. Namun, Ajat menegaskan, berserikat adalah hak dasar bagi setiap pekerja, yang dilindungi oleh hukum nasional maupun internasional.

"Berserikat adalah hak yang dijamin oleh undang-undang, dan seharusnya tidak ada yang menghalangi pekerja untuk membela hak-hak mereka sendiri," ujar Ajat.

Andi Daffa dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung pun mengamini pendapat Ajat. Menurutnya, kebebasan berserikat dijamin oleh hukum nasional maupun internasional. Namun, di lingkungan kampus yang seharusnya menjadi ruang bebas berpikir dan bersuara, kenyataan sering kali justru menunjukkan hal sebaliknya. Alih-alih menjadi tempat tumbuhnya nalar kritis dan solidaritas, kampus justru berubah menjadi ruang yang kaku dan represif terhadap kebebasan ekspresi dan keberanian untuk berserikat.

“Hak untuk berserikat dilindungi oleh undang-undang. Indonesia sudah memiliki undang-undang tersendiri mengenai serikat pekerja. Selain itu, dalam instrumen hukum hak asasi manusia, kebebasan berserikat termasuk dalam hak sipil dan politik,” ujar Daffa saat ditemui BandungBergerak, Senin, 28 April 2025.

Menurut Daffa, berserikat adalah cara paling rasional untuk memperjuangkan hak, terutama dalam situasi yang timpang antara pemberi kerja dan pekerja. Ia menekankan bahwa perjuangan individual jauh lebih berat karena relasi kuasa yang tidak seimbang.

“Beda bila berjuang haknya secara individual, karena akan ada relasi timpang antara pekerja dan pemberi kerja. Inilah fungsi utama berserikat, makanya keberadaan serikat pekerja bukanlah hal yang aneh,” jelasnya.

Daffa juga menyatakan bahwa pekerja kampus, baik dosen yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun non-ASN, memiliki hak yang sama untuk berserikat. Dalam perspektif hukum perburuhan, dosen tetap dianggap sebagai buruh.

“Karena itu, hak mereka untuk berserikat seharusnya tidak hilang. Permasalahan utamanya lebih kepada benturan dengan konteks hukum yang berlaku di Indonesia. ASN, termasuk dosen yang berstatus PNS, diatur dalam konteks hukum yang berbeda melalui Undang-undang Aparatur Sipil Negara. Mereka memiliki wadah sendiri,” imbuhnya.

Daffa mengingatkan bahwa kampus seharusnya menjadi ruang aman bagi pertukaran gagasan dan ekspresi intelektual. Ketika kebebasan berserikat dan berekspresi dibungkam, kampus kehilangan fungsinya sebagai ruang akademik.

Baca Juga: Menanam Demokrasi dari Bawah: Gerakan Orang Muda di Bandung Raya Berkumpul untuk Menyuarakan Hak Asasi Manusia
Komunitas Orang-orang Muda yang Bertani
Dilema Orang-orang Muda Bandung di Bentala Pertanian

Pintu studio teater yang digembok setelah pihak kampus melarang pentas teater Wawancara Dengan Mulyono di Studio Teater ISBI Bandung, 16 Februari 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Pintu studio teater yang digembok setelah pihak kampus melarang pentas teater Wawancara Dengan Mulyono di Studio Teater ISBI Bandung, 16 Februari 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Dari Pentas Teater ke Kerja Pers Mahasiswa

Bukan hanya kebebasan berserikat, inisiatif kebebasan berekspresi di kampus-kampus juga jauh dari mulus. Terkini, pada Februari 2025 lalu, sebuah pertunjukan teater bertajuk “Wawancara dengan Mulyono” yang digagas kelompok Payung Hitam dibatalkan secara sepihak oleh Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Pihak kampus menilai pertunjukan yang menjadi bagian dari peluncuran karya-karya monolog Rachman Sabur tersebut bermuatan politis dan berpotensi mendiskreditkan pihak tertentu. 

Rektor ISBI Bandung Retno Dwimarwati menyatakan, pementasan "Wawancara dengan Mulyono" membahayakan karena membawa unsur politik yang tidak semestinya ada di kampus. Ia menegaskan bahwa ASN tidak boleh terlibat dalam aktivitas politik. Keputusan yang menuai reaksi keras dari kalangan mahasiswa dan komunitas seni.  Mereka mengutuk tindak pembungkaman oleh institusi yang mestinya menjadi lahan subur tumbuhnya ekspresi seni dan kebudayaan. 

Masih di kampus-kampus di Bandung Raya, sudah lama gerak pers mahasiswa terbentur oleh tembok antikritik. Dalam survei BandungBergerak bersama beberapa lembaga pers mahasiswa pada tahun 2023, ditemukan 34 kasus kekerasan dan 61 tindakan represif terhadap 19 lembaga pers mahasiswa selama 10 tahun terakhir. Mulai dari intimidasi verbal, penghapusan berita, hingga pembekuan lembaga. Pelaku terbanyak berasal dari lingkungan kampus sendiri, mulai dari pejabat, staf, hingga organisasi kemahasiswaan lainnya.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung Iqbal Lazuardi menyebut, salah satu penyebab utama lemahnya perlindungan terhadap pers mahasiswa adalah absennya regulasi ideal yang menaungi mereka. Lembaga Persma tidak memiliki regulasi yang kuat karena masih berada di bawah kampus. Berbeda dengan lembaga pers profesional yang memiliki landasan hukum yang jelas. Nota kesepahaman (MoU) antara Dewan Pers dan Kementerian Pendidikan merupakan langkah maju meski tidak serta-merta menyingkirkan semua tantangan di lapangan.

“Pers mahasiswa dibebaskan untuk melakukan tugas jurnalistiknya, tapi secara moral pun (sebenarnya) Dewan Pers tetap menghargai kerja-kerja pers mahasiswa jauh sebelum ada MoU itu,” lanjutnya.

Selain payung hukum, Iqbal juga menyoroti pentingnya praktik kode etik jurnalistik pers mahasiswa sebagai bagian dari usaha melindungi kerja-kerja kritis. Pelatihan dan pemahaman kode etik amat penting agar posisi mereka sebagai kontrol sosial di lingkungan kampsu tetap kokoh.

Namun dilema yang dihadapi pers mahasiswa tidak hanya datang dari sisi teknis atau profesionalisme. Nabil Haqillah, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB), menekankan persoalan struktural. Sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), lembaga pers mahasiswa tetap berada di bawah wewenang kampus yang menjadi objek kritik mereka.

Nabil menjelaskan, relasi personal antara reporter dan dosen kampus juga memperparah situasi. Tak jarang, reporter harus berhadapan langsung dengan dosen yang menjadi narasumber atau bahkan pengampu mata kuliah mereka. Akibatnya, tekanan dalam bentuk sindiran hingga diskriminasi akademik tidak bisa dihindari jika berita yang dibikin pers mahasiswa kritis.

Lebih dari sekadar pembredelan, sanksi terhadap pers mahasiswa juga muncul dalam bentuk ancaman skorsing bahkan drop out.

“Inilah yang membuat pers mahasiswa menjadi entitas yang sangat rentan. Kami berdiri di bawah kampus, namun diminta untuk kritis terhadap kampus itu sendiri,” ujar Nabil.

Nabil berharap agar nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Kemendikti bisa diperluas penerapannya, termasuk di lingkungan kampus-kampus keagamaan seperti Universitas Islam Negeri (UIN) yang berada di bawah Kementerian Agama. Sebab, di kampus-kampus di bawah Kementerian Agama pun ada pers mahasiswa yang harus dilindungi regulasi.

Kenyataan di kampus hari ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum belum cukup menjamin kebebasan yang sejatinya menjadi napas dunia akademik. Saat hukum hanya menjadi teks dan pelaksanaannya dikebiri oleh kekuasaan institusional, maka perjuangan untuk bersuara tetaplah pekerjaan rumah besar—bahkan di jantung pengetahuan itu sendiri.

*Artikel ini terbit sebagai bagian dari kerja sama antara BandungBergerak, Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB), dan Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA)

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//