• Liputan Khusus
  • Menanam Demokrasi dari Bawah: Gerakan Orang Muda di Bandung Raya Berkumpul untuk Menyuarakan Hak Asasi Manusia

Menanam Demokrasi dari Bawah: Gerakan Orang Muda di Bandung Raya Berkumpul untuk Menyuarakan Hak Asasi Manusia

Komunitas orang-orang muda di Bandung aktif menyemai demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) di akar rumput. Mendampingi warga tergusur oleh sistem kekuasaan.

Mahasiswi memilih buku yang dipajang Perpustakaan Jalanan Jatinangor, Sumedang, 17 April 2025. (Foto: Abdullah Dienullah/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam30 April 2025


BandungBergerak.idMalam singgah di reruntuhan bekas sejumlah rumah di Tamansari, Kota Bandung, Sabtu, 25 Agustus 2018 lalu. Gelap merayap di antara dinding gang-gang rumah keluarga yang masih bertahan dari relokasi proyek rumah deret Pemkot Bandung. Di sana, di tengah kecamuk konflik lahan, sekelompok suporter bola mendeklarasikan kelahiran Bandung Suporter Alliance (BSA).

BSA bukan sekadar pendukung fanatik klub sepak bola Persib Bandung. Mereka hadir membawa semangat perlawanan terhadap penggusuran. Suara lantang mereka tidak hanya bergemuruh di stadion, tetapi juga bergema di kampung kota yang terancam digusur.

Junto (bukan nama sebenarnya), salah satu penggagas BSA, mengenang momen deklarasi di Tamansari sebagai upaya memperluas spektrum solidaritas yang kala itu sudah digelorakan kolektif musik, mahasiswa, dan aktivis.

“Nah, ternyata suporter nih yang belum ada,” tuturnya dalam perbincangan di kawasan Saparua, Selasa, 22 April 2025.

Salah satu prinsip BSA adalah membawa suporter lebih peka terhadap isu sosial di lingkungannya. Suporter tak boleh hanya hadir di tribun dua jam lalu pulang dan bungkam. Itu sebabnya BSA dideklarasikan di Tamansari.

“Rumahnya kalau digusur, masa mau diam?” katanya.

Rumah Deret Tamansari, yang belakangan bangunan-bangunannya menjadi sangat vertikal, merupakan proyek ambisius Pemkot Bandung yang digulirkan di era Wali Kota Ridwan Kamil. Ratusan keluarga terimbas. Kawasan ini kemudian menjadi titik api bagi orang muda dan komunitas, termasuk entitas sepak bola, yang bersolidaritas. Mereka berkumpul dan menyuarakan pendapat bersama warga yang menolak proyek.

Pada Kamis, 12 Desember 2019, sekitar 1,5 tahun setelah deklarasi BSA, Tamansari digusur. Ribuan aparat gabungan dikerahkan untuk mengosongkan kampung kota di bawah jalan layang Pasupati itu. Yang kemudian tersisa adalah puing-puing bekas tempat tinggal dan seorang warga yang masih melawan: Eva Eryani. Eva kemudian mendirikan rumah bedeng bersebelahan dengan rumah deret sebelum akhirnya digusur juga pada Rabu, 18 Oktober 2023.

Sampai hari ini BSA tetap aktif menyuarakan penolakan terhadap penggusuran yang marak di Bandung. Selain Tamansari, dalam kurun 10 tahun terakhir tercatat Bandung Raya memiliki banyak persoalan di ranah agraria, mulai dari Dago Elos, Anyer Dalam, Sukahaji, SMAN 1 Dago, hingga yang terkini Cicalengka dan Pangalengan.

Secara umum BSA menyuarakan kritik terhadap ketidakadilan sistem kekuasaan, di samping keras menolak rasisme dalam dunia sepak bola. Tribun dijadikan ruang edukasi sosial dan tempat memupuk solidaritas akar rumput. Di sana, solidaritas diwujudkan dengan poster, koreografi aksi, dan kampanye media sosial. Di luar stadion, mereka hadir dalam forum diskusi, aksi jalanan, dan kolaborasi antarkomunitas.

Menanggapi Tragedi Kanjuruhan, Malang, yang menewaskan lebih dari 135 orang akibat berdesakan dan menghirup gas air mata pada 1 Oktober 2022, misalnya, BSA menginisiasi aksi solidaritas di Taman Cikapayang, Bandung. Di taman kota di kawasan Dago itu, mereka berdoa untuk para korban dan keluarga, tapi sekaligus juga mengutuk kelalaian aparat.

Terhadap tragedi kemanusiaan yang menimpa Palestina, suporter juga bersuara. Pada pertandingan Persib versus PSS Sleman beberapa waktu lalu, bobotoh kompak memajang poster besar bertuliskan ‘Show Israel the Red Card’, menegaskan seruan mereka untuk segera menghentikan genosida rakyat Palestina.

Bagi BSA, fanatisme buta terhadap klub sepak bola hanya akan menghilangkan nyawa. Dalam sebuah aksi mengutuk kekerasan antarsuporter, BSA mengundang kelompok-kelompok suporter dari kota-kota lain untuk bergabung. “Rivalitas cuma 45 menit dua kali,” ucap Acil, salah satu bobotoh aktif.

Acil berharap jaringan suporter sepak bola di Indonesia semakin kuat sehingga kampanye isu-isu sosial dan seruan menolak segala bentuk kekerasan dan rasisme bergema semakin besar. Pada akhirnya, tidak ada yang lebih berharga daripada solidaritas antarwarga negara.

Bandung Suporter Alliance (BSA) adalah contoh gerakan orang-orang muda kritis yang lahir dari akar rumput di Bandung. Tanpa kepengurusan formal, mereka merawat hak dasar warga untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan ekspresi. Gerakan serupa ditemui di titik-titik lain dan di bidang-bidang peminatan yang lain, mulai dari literasi hingga musik, mulai dari Aksi Kamisan, Pasar Gratis, Perpustakaan Jalanan, hingga kolektif musik. Pembelaan terhadap hak asasi manusia (HAM) menjadi benang merah serikat-serikat infromal orang muda ini.

Rima, menyalakan lilin sebagai bentuk solidaritas untuk korban Tragedi Kanjuruhan, Malang, dalam aksi lilin di Taman Cikapayang, Bandung, Minggu (02/10/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Rima, menyalakan lilin sebagai bentuk solidaritas untuk korban Tragedi Kanjuruhan, Malang, dalam aksi lilin di Taman Cikapayang, Bandung, Minggu (02/10/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Di Bawah Payung Hitam

Mendung menggantung di langit Jatinangor, Kabupaten Sumedang, saat payung-payung hitam kembali dibuka di Tugu Makalangan, Kamis, 10 April 2025. Di bawah rinai hujan, sekelompok mahasiswa meneriakkan slogan yang telah menjadi identitas gerakan Kamisan: “Jangan diam! Lawan!”.

Berbekal perangkat audio dan spanduk bertuliskan "Aksi Kamisan Jatinangor", sepuluh orang muda mengusung tema “Lawan Penggusuran, Jangan Diam”, merespons gelombang penggusuran di Bandung Raya: dari Dago Elos dan Sukahaji, hingga SMAN 1 Bandung dan Tenjolaya. Isu penggusuran ini jugalah yang menjadi pemantik orang-orang muda di Jatinangor untuk mengaktifkan kembali Aksi Kamisan yang sempat vakum sejak 2023.

“Warga Sukahaji sedang mempertahankan hak tanahnya, hak hidupnya, dan ruang hidupnya,” ujar Djarot, mahasiswa angkatan 2022 Jurusan Hukum Unpad yang menghidupkan Kamisan Jatinangor sejak Februari 2025.

Aksi Kamisan bukan hanya ajang solidaritas, tetapi juga ruang edukasi. Selain penggusuran, isu-isu di dunia kampus pun diangkat, termasuk kasus kekerasan seksual di kampus Unpad beberapa waktu lalu. Lewat Kamisan, Djarot berharap agar mahasiswa dan warga sadar bahwa sampai hari ini pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia masih terus terjadi.

Dua bulan hidup lagi, Aksi Kamisan Jatinangor mengundang banyak wajah baru untuk bergabung. Ia menjadi gambaran bagaimana komunitas orang-orang muda ini menyebar dan tumbuh. Di kawasan Bandung Raya, dari semula hanya Aksi Kamisan Bandung, gerakan ini hadir di beberapa titik lain seperti Aksi Kamisan Sumedang, Aksi Kamisan UIN, Aksi Kamisan Unisba.

Aksi Kamisan Bandung sendiri sudah digulirkan sejak tahun 2013. Sudah ratusan aksi digelar, kebanyakan di depan Gedung Sate, kantor gubernur Jawa Barat. Wanggi Hoed, seniman pantomim, menjadi perintisnya setelah terinspirasi oleh Aksi Kamisan di Jakarta.

“Setelah baca (berita) dan mempelajari apa itu Aksi Kamisan lewat teman-teman yang saya kenal di Jakarta, saya merasa terpanggil,” tutur Wanggi

Hari ini Aksi Kamisan Bandung dirawat oleh generasi muda setelah Wanggi. Fayyad, salah satu dari mereka, bergabung sejak 2020 saat gelombang pagebluk Covid-19 menghantam dunia, sementara pemerintah dan DPR justru getol-getolnya menggodok pengesahan Undang-undang Omnibus Law dengan cara-cara yang tidak transparan. Tergerak oleh ketidakadilan di depan mata yang ia ikuti perkembangannya dengan penuh minat, Fayad memutuskan untuk bergabung dengan Aksi Kamisan Bandung.

Selain terus menuntut penuntasan pelanggaran HAM di masa lalu, Aksi Kamisan Bandung menyuarakan juga isu-isu lokal. Salah satunya, penggusuran.

“Isu perampasan ruang hidup atau penggusuran menjadi salah satu isu yang kerap kali kita (Kamisan) angkat,” ungkap Fayad, Rabu, 9 April 2025.

Bagi Aksi Kamisan Bandung, ruang hidup tak bisa dilepaskan dari hak asasi manusia. Pada Kamisan ke-423, Kamis, 24 April 2025, mereka mengangkat isu penggusuran dengan mengundang para peserta didik SMAN 1 (Smansa) Bandung. Sekolah di kawasan Dago ini terancam digusur akibat sengketa kepimilikan lahan dengan Perkumpulan Lyceum Kristen (PLK), organisasi yang juga pernah bersengketa dengan SMAK Dago, sekolah yang letaknya bersebelahan dengan Smansa.

“Apakah pantas lembaga pendidikan harus digugat tanpa memperhatikan dampak moral, psikologis, dan sosial?” teriak Adi (bukan nama sebenarnya), salah seorang murid Smansa Bandung, disambut sorak-sorai peserta aksi.

Kehadiran Gen Z seperti Adi dalam Aksi Kamisan adalah semacam kabar baik. Semacam bukti bahwa isu HAM bisa menjangkau audiens yang lebih luas. Wajah-wajah baru menghadirkan peluang-peluang baru. Fasih mengabarkan aksi lewat media sosial yang mereka akrabi, Gen Z bisa mengajak kawan-kawan sebaya untuk turun ke jalan mengangkat payung hitam. Dengan begitu, semangat yang diusung Aksi Kamisan menyebar.

Laras Ayu, dkk. dalam jurnal berjudul ‘Menelaah Peran Aksi Kamisan dalam Pembentukan Strategi Gerakan’ menjelaskan, gerakan Aksi Kamisan lahir dari upaya meningkatkan kesadaran akan pentingnya usaha menghargai dan melindungi HAM. Gerakan ini sudah menjadi fenomena yang tersebar di 50 titik di Indonesia.

Isu yang diangkat pada aksi-aksi di daerah berkisar pada isu HAM atau kebijakan di tingkat lokal. Aksi ini bisa berlangsung konsisten karena dorongan nurani. Terlebih Aksi Kamisan menggunakan metode damai.

“Kamisan telah membawa kesempatan bagi masyarakat untuk mempengaruhi isu juga keputusan yang lebih transparan dan akuntabel untuk memenuhi hak-hak mereka sebagai warga negara,” tulis Laras Ayu dkk., dalam jurnal bernomor 1 volume 6, diakses Minggu, 27 April 2025.

Kegiatan Perpustakaan Jalanan Jatinangor, Sumedang, 17 April 2025. (Foto: Abdullah Dienullah/BandungBergerak)
Kegiatan Perpustakaan Jalanan Jatinangor, Sumedang, 17 April 2025. (Foto: Abdullah Dienullah/BandungBergerak)

Lapak Tanpa Uang, Cara Pasar Gratis Melawan Ketimpangan Ekonomi

Di titik yang lain, di atas puing dan bekas bara yang menghitam karena kebakaran, warga Sukahaji menggelar Festival “Malam Solidaritas Sukahaji Melawan”. Orang-orang muda dari Pasar Gratis Bandung membuka lapakan pelbagai barang kebutuhan yang boleh diambil cuma-cuma alias gratis, 17 April 2025.

Warga berkumpul bukan sekadar untuk menyaksikan pertunjukan, tapi merayakan daya hidup di tengah ancaman penggusuran. Pasar Gratis Bandung hadir di tengah festival itu dengan membentangkan spanduk bertuliskan “Pasar Gratis Not For Charity, This is Protest.”

Partis—singkatan dari Pasar Gratis—sebuah gerakan berbasis solidaritas yang diinisiasi oleh orang-orang muda Bandung. Dalam waktu singkat, lapakan mereka diserbu warga. Dari anak-anak hingga orang dewasa, semua memilih pakaian yang mereka perlukan. Dalam hitungan menit, tak satu pun pakaian tersisa.

“Sudah seharusnya loh manusia itu bergotong-royong baik itu masyarakat di perkotaan ataupun di kawasan padat penduduk,” ujar Jajang (nama samaran), salah satu pegiat Partis Bandung, saat ditemui BandungBergerak di tengah festival.

Fenomena Partis sejatinya telah ada sejak lama, namun mulai rutin digelar saat masa pageblug Covid-19 pada 2020. Muncul dari kebutuhan mendesak saat pandemi melumpuhkan ekonomi rakyat, Pasar Gratis menawarkan alternatif konkret: berbagi barang tanpa transaksionalitas. Tetapi, gerakan ini bukanlah bentuk amal. Mereka menolak dinamika vertikal antara pemberi dan penerima.

“Kalau untuk donasi siapa pun bisa berkontribusi sesuai kemampuan dan kesadaran masing-masing, dengan komitmen enggak ada pretensi heroik, (atau) agenda politik,” jelasnya.

Pasar Gratis dilakukan secara nomaden. Lapakan mereka bisa muncul di trotoar kota, taman publik seperti taman Cikapayang, hingga kawasan terdampak bencana atau konflik agraria seperti di Sukahaji. Tempatnya tak tetap, jaringannya tak terstruktur. “Partis itu bukan sebuah kolektif, bukan sebuah organisasi, melainkan itu adalah fenomena,” kata Jajang. Bagi mereka, solidaritas tidak boleh dibatasi oleh bentuk legalitas atau keanggotaan formal.

Lebih jauh, Jajang memandang bahwa kehadiran Partis adalah bentuk kritik terhadap kegagalan negara dalam memenuhi hak dasar warganya. “(Karena) gagalnya negara dalam mensejahterakan masyarakat,” tandasnya.

Namun keberanian melapak di ruang publik sering berujung pada represi. Tahun 2022, saat Partis menggelar lapakan di Taman Cikapayang, aparat dari Satpol PP datang membubarkan mereka. Satpol PP mengira mereka melakukan jual-beli di daerah yang bukan tempatnya PKL.

“Mereka mengira bahwa kami itu berjualan,” tutur Jajang mengingat kejadian itu. Meski telah dijelaskan bahwa kegiatan itu tidak melibatkan jual beli, lapakan tetap harus dibubarkan. Jajang pun mempertanyakan, “Lah memang berbagi atau melakukan agenda solidaritas memang harus ada izin?”

Terlepas dari berbagai tekanan, Partis tak berhenti. Sebaliknya, ia berkembang dan menyebar ke sejumlah wilayah di Bandung. Salah satu yang juga aktif adalah kelompok orang muda di Banjaran, Kabupaten Bandung. Mereka memulai inisiatif serupa saat pandemi melanda.

Mpe (nama samaran), penggagas Pasar Gratis Banjaran, menjelaskan bahwa gerakan ini tidak digerakkan oleh rasa kasihan. “Ini adalah bentuk protes. Kita sedang mengkritik ketimpangan,” ungkapnya saat dihubungi pada Rabu, 16 April 2025.

Ia menyatakan bahwa dalam ruang Partis, tidak ada hierarki antara yang memberi dan yang menerima, tidak ada kelas sosial dan sekat identitas. “Pasar Gratis adalah sebuah ruang bebas uang, mereka boleh mengambil apa saja yang kami sediakan di tempat tersebut, pasar gratis ini terbentuk atas kesadaran dan gerakan sosial,” jelasnya.

Gerakan di Banjaran juga menjalin kolaborasi dengan pasar-pasar gratis lain di kawasan seperti Baleendah, Bojongsoang, dan Katapang. Bagi Mpe, Partis Banjaran sangat terbuka mengajak siapa pun yang masih percaya bahwa kekuatan solidaritas berada di atas segalanya.

“Siapa pun dapat berkontribusi sesuai kemampuan dan kesadarannya masing-masing,” kata Mpe.

Namun, tantangan yang dihadapi di Banjaran pun serupa. Aparat negara kembali mempersoalkan izin lapakan mereka. “Tantangan lain datang dari pihak aparatur negara. Mereka (aparat) menganggap agenda solidaritas kami ini ilegal sebab dinilai tidak berizin,” ungkap Mpe.

Meski demikian, Partis Banjaran tak bergeming. Mereka terus melapak, terus hadir bagi warga yang membutuhkan.

Gerakan ini, kata Mpe, adalah jalan untuk meruntuhkan batas-batas sosial yang telah lama mengakar. “Sebab, membangun dunia yang lebih manusiawi tidaklah mustahil,” tutupnya.

Baca Juga: Orang-orang Muda Menggali Masalah yang Menghantui Kota Bandung
Komunitas Orang-orang Muda yang Bertani
Melihat Orang-orang Muda Bandung dari Kelompok Minoritas Merajut Demokrasi

Peringatan September Hitam rutin digelar Aksi Kamisan Bandung, 8 September 2024. Poster ini muncul di acara Pasar Gratis Bandung. (Foto: Fitri Amanda)
Peringatan September Hitam rutin digelar Aksi Kamisan Bandung, 8 September 2024. Poster ini muncul di acara Pasar Gratis Bandung. (Foto: Fitri Amanda)

Perlawanan Sunyi Perpustakaan Jalanan

Sabtu malam di bulan Agustus 2016. Suasana Taman Cikapayang Dago yang biasa menjadi ruang baca berubah menjadi medan intimidasi. Sekitar pukul 23.00, Perpustakaan Jalanan Bandung—yang rutin membuka lapak literasi di sana sejak 2010—mendadak disergap aparat militer. Dua truk pembekalan dan satu mobil Polisi Militer membawa sejumlah tentara berpakaian sipil. Tanpa penjelasan yang jelas, mereka memaksa pembubaran lapak, dan tiga pegiat literasi mengalami pemukulan.

Iqbal Tawakal, salah satu pegiat Perpusjal, mengenang malam itu dengan getir. “Kami enggak mau cari masalah," ujarnya, dikutip dari BenarNews.org.

Jims, rekan sesama pegiat, masih ingat jelas bagaimana para tentara melakukan sweeping terhadap warga yang hanya duduk atau membaca. “Mereka (tentara) melakukan sweeping kepada orang-orang yang nongkrong di sekitaran Cikepayang,” ceritanya.

Jims menduga penyisiran oleh tentara dilakukan terkait dengan peristiwa penyerangan tergadap personel militer oleh sekelompok orang tak dikenal. Akibat kejadian tersebut militer aktif melakukan penyisiran tiap malam dan berujung tindak kekerasan kepada pegiat literasi Perpusjal.

Tentara mengira Perpusjal adalah kumpulan geng motor. Meski telah dijelaskan bahwa mereka hanya membuka ruang baca terbuka, pendekatan represif tetap dilancarkan. “Kita juga paham gitu bahwa ngobrol sama mereka tuh hal yang percuma,” lanjut Jims. Bahkan sempat terdengar ancaman: “10 menit kalian enggak bubar, nah kalian lebih bubuk dari sekarang.”

Namun, kekerasan dan pembubaran itu tak menyurutkan langkah mereka. Perpusjal tetap hadir, saban Sabtu malam, di tempat yang sama. Di atas terpal, mereka menjajakan buku-buku kolektif: dari filsafat, politik, hingga sastra. Semua bebas diakses siapa saja.

Gerakan ini bermula dari keinginan sederhana: menyebarkan literasi dari bawah. Sejak 2010, sekumpulan orang muda di Bandung mulai menyusun cara lain membagi pengetahuan.

Jims menjelaskan, awalnya hanya pertukaran buku antarteman. Tapi seiring waktu, lahirlah gagasan menjadikan buku sebagai pengikat jejaring sosial yang lebih luas. “Ingin membuat sesuatu konsep di mana perpustakaan yang bisa diakses oleh semua orang,” tuturnya, Senin, 14 April 2025.

Baginya, buku bukan hanya bacaan. Ia adalah pemicu pertemuan, perbincangan, dan pembentukan ruang. Taman Cikapayang dipilih bukan sekadar tempat, tapi simbol keterbukaan. Semua boleh hadir, semua boleh membaca.

Buku-buku yang dilapakkan berasal dari donasi dan koleksi pribadi. Ada kurasi tertentu, misalnya untuk bacaan anak-anak, buku akan disalurkan ke Perpusjal yang memang khusus bergerak di bidang itu. “Karena lebih berguna di sana,” kata Jims.

Dari Bandung, semangat ini menular. Perpustakaan Jalanan menjelma gerakan di tempat lain dengan membawa semangat yang sama: memudahkan akses informasi, memanfaatkan buku yang tak terpakai, dan mengkritik minimnya ruang publik.

Di Jatinangor, spirit perpustakaan jalanan hidup dalam bentuk yang serupa. Setiap Selasa dan Kamis di pelataran gerbang Universitas Padjadjaran, Perpusjal Jatinangor menggelar lapakan. Buku-buku dijajarkan di atas terpal putih. Selasa sore, 15 April 2025, sekitar 20 orang—mahasiswa dan warga—tampak asyik membaca dan berdiskusi.

Danu, mahasiswa Jurnalistik sekaligus penggagas Perpusjal Jatinangor, mengungkapkan keresahan atas ruang-ruang publik yang tidak dimanfaatkan. Dari keresahan itu lahir aksi. “Akhirnya ruang-ruang diskusinya juga semakin terbentuk,” ujarnya.

Perpusjal ini tidak membawa nama institusi, organisasi, atau afiliasi tertentu. Mereka berdiri sebagai ruang terbuka. “Itu alasan kenapa kita namainya adalah perpustakaan jalanan Jatinangor bukan Unpad,” jelas Danu. Baginya, siapapun berhak membaca dan berdiskusi di ruang mana pun.

Sistem di lapakan pun cair. Siapa pun boleh menitipkan buku untuk dibaca oleh siapa saja, dan jika sewaktu-waktu ingin mengambilnya kembali, dipersilakan. Bahkan sore itu seorang perempuan sore itu yang datang dengan totebag berisi lima novel pribadinya. “Mau donasi buku, lumayan buat nambah koleksi,” katanya. Danu menyambutnya dengan senyum. Buku-buku itu segera jadi bagian dari kolektif.

Semangat Perpusjal telah menjadi studi tersendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Nugraha Dwi Saputra dkk dalam “Konstruksi Makna Pegiat Perpustakaan Jalanan” menyebutkan bahwa Perpusjal lahir dari tiga alasan utama: sulitnya akses informasi, banyaknya buku tak terpakai, dan kritik terhadap minimnya ruang publik. Gerakan ini bukan sekadar berbagi bacaan, tapi juga perlawanan terhadap ketimpangan struktur informasi dan eksklusivitas ruang kota.

Di tengah represi dan ancaman, mereka terus hadir. Tidak dengan teriakan, tapi dengan buku. Tidak dengan kekerasan, tapi dengan diskusi. Perpustakaan Jalanan Bandung dan Jatinangor membuktikan bahwa literasi adalah bentuk perlawanan paling tenang, namun tak pernah kehilangan daya dobraknya.

Peringatan 1 tahun tragedi Kanjuruhan di Taman Cikapayang, Dago, Bandung, Senin, 2 Oktober 2023. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)
Peringatan 1 tahun tragedi Kanjuruhan di Taman Cikapayang, Dago, Bandung, Senin, 2 Oktober 2023. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Kolektif Musik dalam Pusaran Solidaritas Sosial

Suatu malam di sebuah gigs sederhana di Kota Bandung, suara musik menggema dari ruangan sempit yang disesaki penonton. Di sela dentuman gitar dan gebukan drum, pembawa acara tiba-tiba mengangkat isu tragedi Kanjuruhan, menyambut tamu dari Malang. Di atas panggung, solidaritas tak hanya berwujud lagu, tapi juga suara-suara yang menggugat, menyerukan kepedulian terhadap sesama.

Itulah potret keseharian Kolektif Lembong, sebuah komunitas musik independen yang sejak 2021 aktif membangun jejaring solidaritas melalui panggung-panggung musik bawah tanah. Mereka bukan sekadar menyelenggarakan pertunjukan. Di balik gigs yang mereka selenggarakan, ada semangat berbagi, empati, dan kesadaran sosial yang menyala.

Farhan Dira, salah satu pegiat Kolektif Lembong, mengenang awal mula terbentuknya komunitas ini. Berangkat dari pertemanan yang diikat oleh kecintaan pada seni dan musik, mereka menyadari bahwa ruang ekspresi yang mereka bangun bisa menjadi wadah untuk lebih dari sekadar hiburan.

“Anak-anak sering membuat zine lalu menyebarkan saat ke penonton. Isi tulisannya itu merespon atas keadaan atau kejadian yang ada di sekitar,” ujar Farhan saat ditemui BandungBergerak di sebuah kafe di pusat Kota Bandung, Senin, 21 April 2025. “Itu bagian dari peluapan emosi kita.”

Zine yang mereka sebar bukan sekadar selebaran, tetapi medium untuk menyampaikan kritik sosial dan berbagi pengalaman. Isinya beragam, mulai dari catatan peristiwa lokal, opini, hingga ilustrasi yang menggambarkan keresahan kolektif. Pertunjukan musik pun menjadi ruang bertemu dan berdialog, bukan hanya antara musisi dan penonton, tapi juga antaraktivis dari berbagai kota.

“Misalkan kayak waktu itu ada teman-teman dari Malang, bawa flag tentang Kanjuruhan,” ujar Farhan. Kehadiran band tamu dari luar kota bahkan luar negeri menjadi momen pertukaran gagasan dan solidaritas. “Memang udah jadi tempatnya, ketika kita bermusik itu kita selalu merespon lingkungan sekitar,” tandasnya.

Tidak ada dukungan sponsor dalam setiap pertunjukan yang mereka gelar. Semua kebutuhan acara ditanggung melalui urunan sukarela dari para anggota. Tiket dijual sebatas untuk menutup biaya sewa tempat dan peralatan. “Kita enggak ngambil untung,” tutur Farhan.

Jika ada sisa dana, mereka memilih menyimpannya sebagai tabungan bersama. Dana ini bukan hanya untuk keperluan acara selanjutnya, tetapi juga untuk merespons situasi darurat yang menimpa kawan-kawan mereka.

“Atau untuk membantu teman-teman yang sedang membutuhkan,” lanjut Farhan. Ia mencontohkan, pernah suatu waktu mereka menggalang dana untuk rekan musisi yang mengalami kecelakaan. Bagi Kolektif Lembong, membantu sesama adalah bagian tak terpisahkan dari gerakan mereka.

Kolektif ini menjadi bukti bahwa ruang-ruang musik alternatif tak melulu soal ekspresi seni. Ia tumbuh dari semangat saling jaga, dari kepercayaan bahwa musik bisa menjadi jalan bagi solidaritas sosial. Farhan dan kawan-kawannya menghidupkan nilai-nilai ini bukan lewat wacana besar, tetapi melalui tindakan-tindakan kecil yang konsisten.

Di tengah kemapanan industri hiburan yang kian komersial, Kolektif Lembong hadir sebagai pengingat: bahwa musik bisa tetap bersuara lantang tanpa harus tunduk pada pasar. Di balik gigs yang tampak sederhana, ada semangat kolektif yang terus menyala—menyambung rasa, menyambung suara.

*Artikel ini merupakan kerja sama antara BandungBergerak, Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB), dan Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//