• Berita
  • Kekerasan Seksual di Kampus Unpad, Isu Serius yang Harus Diperhatikan Secara Khusus

Kekerasan Seksual di Kampus Unpad, Isu Serius yang Harus Diperhatikan Secara Khusus

Responden mahasiswa Unpad merasa sosialisasi mengenai kebijakan kampus terkait kekerasan seksual belum optimal. Ada kesenjangan terkait pemahaman kekerasan seksual.

Ilustrasi kekerasan seksual. (Desain: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Pahmi Novaris 11 November 2024


BandungBergerak.idKekerasan Seksual di lingkungan kampus menjadi isu yang semakin mendesak di Indonesia, termasuk di Universitas Padjadjaran (Unpad). Seiring meningkatnya kesadaran akan pentingnya perlindungan terhadap hak-hak perempuan, data menunjukkan angka kekerasan seksual di kalangan mahasiswa semakin memprihatinkan.

Berdasarkan data terbaru dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak per April 2024, terdapat 13.156 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan, dengan 20,4 persen kasus tersebut terjadi di perguruan tinggi.

Di Unpad sendiri, Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) mencatat sebanyak 57 laporan kasus kekerasan seksual hingga saat ini, dengan rincian 22 kasus kekerasan fisik, seperti menyentuh atau meraba tubuh tanpa persetujuan, dan 25 kasus kekerasan berbasis elektronik, termasuk penyebaran gambar atau rekaman tanpa izin. Pada tahun 2024, dari 28 laporan yang diterima, 16 di antaranya telah diselesaikan, sementara beberapa laporan lainnya tidak dilanjutkan karena korban menarik laporan atau merasa enggan untuk melanjutkan pengaduan. 

Namun, para mahasiswa dan pihak kampus meyakini bahwa angka tersebut jauh dari realitas, mengingat banyak kasus yang mungkin tidak terlaporkan. Untuk menghimpun keterangan mengenai kasus ataupun isu tentang kekerasan seksual di Unpad, BandungBergerak melakukan survei kepada beberapa responden 25 Oktober 2025, 10 orang di antaranya bersedia mengisi kuesioner. Salah satu responden dalam wawancara menyatakan, ia pernah mendengar kasus kekerasan seksual hingga menerima laporan kasus secara langsung.

Ada juga responden yang memilih menghindar menjawab pertanyaan ini. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk melaporkan, stigma dan ketakutan masih menjadi kendala bagi korban untuk berbicara.

“Saya tidak bisa memberikan argumen untuk pertanyaan ini. Tetapi saya berharap mereka memiliki frekuensi yang tinggi dalam hal tersebut,” ucap salah satu mahasiswa, merujuk pada perlunya dukungan dan tindakan tegas dari pihak kampus.

Data yang dikumpulkan oleh Satgas PPKS Unpad mengungkapkan bahwa dari total 50 laporan kekerasan seksual yang tercatat antara September 2022 hingga September 2024, 22 kasus merupakan kekerasan seksual fisik. Kasus-kasus ini mencakup tindakan seperti menyentuh, mengusap, meraba, dan memegang bagian tubuh korban tanpa persetujuan.

Sementara itu, 25 laporan lainnya terkait dengan kekerasan seksual berbasis elektronik, termasuk memperlihatkan alat kelamin dan mengirimkan foto atau rekaman yang bernuansa seksual tanpa izin.

Satgas PPKS Unpad menyatakan komitmennya untuk menangani setiap laporan dengan serius. Hingga saat ini, 16 dari 28 laporan yang diterima telah diselesaikan berdasarkan Surat Keputusan Rektor Unpad. Namun, 21 laporan lainnya masih dalam proses penanganan, sebagian besar karena pelapor mencabut laporan atau tidak bersedia untuk melaporkan secara resmi.

Ilustrasi gender atau sistem reproduksi. Edukasi tentang kesehatan reproduksi akan mengurangi kasus kekerasan seksual. (Ilustrator: Zakinah Sang Mando/BandungBergerak)
Ilustrasi gender atau sistem reproduksi. Edukasi tentang kesehatan reproduksi akan mengurangi kasus kekerasan seksual. (Ilustrator: Zakinah Sang Mando/BandungBergerak)

Relasi Kuasa di Lingkungan Kampus

Kekerasan seksual di lingkungan kampus tidak hanya menjadi masalah individu, tetapi juga mencerminkan kondisi sosial yang lebih luas. Banyak mahasiswa merasakan bahwa relasi kuasa di lingkungan kampus sering kali menjadi faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual. “Pernah ada kating yang dipecat dari UKM karena melakukan kekerasan seksual,” kata salah satu responden.

Ketika ditanya tentang seberapa serius masalah kekerasan seksual di Unpad dibandingkan dengan tempat lain, mayoritas responden setuju bahwa isu ini sama seriusnya di seluruh perguruan tinggi.

“Sangat serius, melihat kesadaran akan isu kekerasan seksual masih cukup darurat baik dari kalangan mahasiswa maupun tenaga pendidik,” ujar seorang mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk menangani isu ini, tantangan yang dihadapi masih cukup besar.

Di sisi lain, meskipun ada tindakan tegas, kesadaran akan isu ini masih perlu ditingkatkan. Pentingnya menciptakan ruang aman di kampus juga menjadi sorotan. Beberapa responden menyatakan bahwa ruang aman yang ada saat ini masih belum memadai.

“Ruang aman yang diciptakan di Unpad belum begitu memadai. Banyak kepentingan politik yang mengabaikan perasaan dan kondisi korban,” ujar seorang mahasiswa, menambahkan bahwa penggunaan transportasi kampus juga perlu mendapatkan perhatian khusus. “Harapannya mungkin rektorat dapat mempertimbangkan untuk mengadakan transportasi kampus khusus wanita,” tambahnya.

Sosialisasi mengenai kebijakan kampus terkait kekerasan seksual juga menjadi perhatian. Meskipun Satgas PPKS telah melakukan sosialisasi baik secara daring maupun luring, banyak mahasiswa merasa informasi tersebut masih sulit diakses.

“Saya kurang mendalami tentang kebijakan terkait kekerasan seksual, namun informasinya sepertinya mudah diakses,” ungkap seorang mahasiswa, menunjukkan bahwa meskipun ada upaya, masih ada kesenjangan dalam penyampaian informasi. Ketika ditanya tentang seberapa serius masalah kekerasan seksual di Unpad dibandingkan dengan tempat lain, mayoritas responden setuju bahwa isu ini sama seriusnya di seluruh perguruan tinggi.

“Sangat serius, melihat kesadaran akan isu kekerasan seksual masih cukup darurat baik dari kalangan mahasiswa maupun tenaga pendidik,” ujar seorang mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk menangani isu ini, tantangan yang dihadapi masih cukup besar.

Faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual di kampus Unpad pun beragam. Ada yang menyebutkan adanya ketimpangan kekuasaan, budaya patriarki, dan minimnya edukasi seksual sebagai penyebab utama.

“Kurangnya kesadaran akan isu kekerasan seksual, gerakan atau campaign yang masih minim, memudahkan terjadinya normalisasi perlakuan,” kata seorang responden.

Ini menandakan perlunya pendidikan yang lebih baik mengenai kesetaraan gender dan kekerasan seksual di kalangan mahasiswa. Pengalaman dalam melaporkan kasus kekerasan seksual menjadi bagian penting dari pembahasan ini. Banyak mahasiswa yang merasa bahwa proses pelaporan cukup rumit dan kompleks.

“Dari cerita teman-teman saya, pelaporan ini memang cukup rumit. Korban biasanya harus mengisi administrasi yang berbelit-belit, sehingga membuat mereka semakin trauma,” ungkap seorang responden. Hal ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk menyederhanakan proses pelaporan agar korban merasa didukung dan tidak tertekan.

Kepercayaan terhadap pihak kampus dalam mendukung korban kekerasan seksual juga bervariasi di kalangan mahasiswa. “Sejauh ini, saya masih percaya, tetapi penanganan yang lama menjadi kendala. Belum ada kejadian yang bikin kita tidak percaya,” kata seorang mahasiswa.

Namun, ada juga yang merasa kurang yakin karena belum pernah mendengar adanya pelaku kekerasan seksual yang diberikan sanksi oleh pihak berwenang. Langkah konkret yang diambil oleh kampus untuk menangani isu kekerasan seksual pun menjadi sorotan. Pembentukan Satgas PPKS dan pembuatan kebijakan tingkat rektorat dianggap sebagai langkah positif.

“Pembentukan Satgas PPKS cukup efektif, selama universitas terus berkomitmen untuk memberikan dukungan penuh,” ungkap seorang mahasiswa. Namun, efektivitas langkah-langkah tersebut masih diragukan oleh beberapa responden.

Peran mahasiswa dalam mencegah kekerasan seksual di Unpad juga sangat penting. Salah satu responden mengatakan mahasiswa berperan untuk tidak memberi ruang kepada pelaku lainnya, bahwa menciptakan lingkungan yang aman adalah tanggung jawab kolektif.

Banyak mahasiswa merasa bahwa isu kekerasan seksual sering kali dianggap sepele dan tidak mendapatkan perhatian yang layak. Harapan untuk perubahan kebijakan dan inisiatif baru di Unpad terkait kekerasan seksual sangat besar.

“Harapannya adalah untuk meningkatkan peran Satgas agar semua mahasiswa sadar akan pentingnya menciptakan ruang aman,” ungkap salah satu responden. Penegakan sanksi yang tegas terhadap pelaku juga menjadi harapan yang sering diungkapkan. “Menindak tegas pelaku dengan skorsing atau bahkan drop out menjadi langkah yang perlu dilakukan,” ujarnya.

Pesan terakhir dari para mahasiswa untuk pihak kampus dan sesama mahasiswa adalah untuk lebih peduli terhadap isu kekerasan seksual. “Ayo kita sama-sama ciptakan ruang aman di kampus kita. Jika kalian atau teman kalian menjadi korban, dukung mereka untuk melapor,” ungkap seorang mahasiswa.

Kesadaran kolektif sangat penting untuk menciptakan lingkungan kampus yang lebih aman. Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, penting bagi Universitas Padjadjaran untuk terus berupaya menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi semua mahasiswa. Upaya ini memerlukan dukungan dari seluruh civitas akademika, termasuk mahasiswa, dosen, dan pihak berwenang, untuk memastikan bahwa kekerasan seksual tidak hanya ditangani, tetapi juga dicegah.

Baca Juga: Kekerasan Seksual Kembali Terjadi di Bandung, Keseriusan Penanganan dan Pencegahan Perlu Dipertajam
Masyarakat Patriarki dan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan
Pencegahan KGBO dan Kekerasan Seksual mesti Terus Disuarakan

Kendala yang Dihadapi Satgas PPKS Unpad

Universitas Padjadjaran (Unpad) melalui Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) menegaskan komitmennya dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman dari kekerasan seksual. Satgas PPKS didirikan sebagai respons terhadap Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021, yang mewajibkan setiap perguruan tinggi untuk memiliki tim khusus dalam menangani isu kekerasan seksual. Aturan ini menetapkan sanksi tegas bagi perguruan tinggi yang lalai, seperti penundaan pendanaan dan akreditasi.

"Permendikbud mengharuskan adanya Satgas PPKS, jika tidak, akan ada sanksi, terutama bagi perguruan tinggi di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi," ujar Ari J. Adipurwawidjana, Ketua Satgas PPKS Unpad, kepada BandungBergerak.

Menurutnya, pembentukan Satgas di Unpad adalah langkah maju meskipun masih menghadapi kendala dalam pelaksanaan, seperti minimnya payung hukum di tingkat kampus.

Ari juga mengungkapkan bahwa proses penanganan laporan dilakukan secara serius dan berjenjang, dimulai dari pengajuan laporan melalui Google Form, dilanjutkan dengan pemeriksaan dan pertemuan dengan korban.

"Kami memberikan pilihan kepada korban, apakah mereka ingin bertemu langsung atau melalui platform daring. Kami sadar pentingnya menjaga privasi mereka," jelasnya.

Setiap kasus diperiksa oleh tim steering committee sebelum rekomendasi dikirimkan ke pihak rektorat. Namun, tidak semua laporan dilanjutkan karena beberapa korban memilih untuk tidak melapor secara resmi atau bahkan mencabut laporan mereka di tengah proses.

Untuk memberikan dukungan maksimal bagi korban, Satgas PPKS Unpad telah bekerja sama dengan pihak konseling dan menyediakan layanan bantuan psikologis. Unpad menanggung seluruh biaya pemulihan korban, sementara pelaku diwajibkan untuk membiayai sendiri proses psikologis yang dijalani sebagai bagian dari sanksi.

"Korban harus mendapatkan dukungan penuh dari kampus, termasuk layanan psikolog dan konseling, sedangkan pelaku harus menanggung biayanya sendiri," kata Ari.

Bagi pelaku, sanksi tegas diterapkan, mulai dari skorsing, pembatasan aktivitas akademik, larangan mengikuti organisasi kemahasiswaan (UKM), hingga larangan berpartisipasi dalam kegiatan belajar kelompok. Berbagai langkah ini diambil agar pelaku tidak berinteraksi dengan mahasiswa lain hingga dinyatakan pulih dan tidak berpotensi mengulangi tindakan kekerasan seksual.

Selain penanganan kasus, Satgas PPKS Unpad menghadapi tantangan terkait ketersediaan dana dan koordinasi karena tidak berada di bawah naungan lembaga khusus, yang membuatnya bersifat independen.

"Kami berpikir untuk mengubah Satgas ini menjadi pusat layanan yang lebih terfokus pada penanganan kekerasan seksual, dan idealnya menangani perundungan dan intoleransi yang juga menjadi masalah serius di kampus," ujar Ari.

Sejak Menteri Pendidikan menyampaikan pidato mengenai “3 Deadly Sins in University” yang mencakup kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi, Satgas PPKS Unpad berencana untuk memperluas cakupannya agar lebih responsif terhadap berbagai bentuk pelanggaran di lingkungan kampus.

Dalam menjalankan tugasnya, anggota Satgas PPKS juga menghadapi tekanan psikologis karena sering kali harus mendengarkan dan menangani kasus-kasus traumatis. "Kasus-kasus ini sangat memengaruhi kondisi psikologis tim Satgas, sehingga setiap beberapa bulan kami menjalani pemeriksaan psikologi," ungkap Ari, menunjukkan bahwa menjadi anggota Satgas tidak hanya melibatkan keterampilan administratif, tetapi juga ketahanan mental. Rapat penanganan kasus biasanya dilakukan pada malam hari secara daring agar sesuai dengan jadwal anggota yang memiliki pekerjaan utama lain.

Proses pelaporan kasus oleh korban kadang menghadapi tantangan tambahan. Banyak korban yang memilih untuk curhat di media sosial ketimbang melapor secara resmi, menyebabkan proses penanganan menjadi lebih sulit.

“Ada orang yang melapor di media sosial seperti Menfess, yang kadang membuat opini publik berkembang tanpa mengetahui informasi lengkap dari pihak kampus. Padahal, kami menjaga privasi korban dengan sangat ketat,” tambah Ari.

Selain menjaga kerahasiaan korban, Satgas juga menghadapi kritik terkait lamanya proses penanganan, yang sering kali disebabkan oleh kebutuhan untuk merumuskan prosedur standar operasional (SOP) berdasarkan pengalaman sebelumnya.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Pahmi Novaris, atau artikel lain tentang Kekerasan Seksual

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//