• Berita
  • Pencegahan KGBO dan Kekerasan Seksual mesti Terus Disuarakan

Pencegahan KGBO dan Kekerasan Seksual mesti Terus Disuarakan

Kasus kekerasan gender berbasis online (KGBO) sering kali tidak disadari karena hanya dianggap sebatas guyonan dan sepele. KGBO awal dari kekerasan seksual.

Peserta diskusi buku Luka-Luka Linimasa karya Kalis Mardiasih yang digelar LPM Daunjati di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Senin, 29 Juli 2024. (Foto: Nabila Eva Hilfani/BandungBergerak.id)

Penulis Nabila Eva Hilfani 31 Juli 2024


BandungBergerak.id - Kekerasan gender berbasis online (KBGO) menjadi satu kasus kekerasan seksual yang memiliki kerumitan berlapis dalam penangannya. Di ranah hukum, penanganan kasus juga masih terbentur respons aparat hukum yang masih melakukan penanganan dengan cara-cara ketinggalan zaman.

“Kasus KGBO adalah kasus yang sangat susah ditangani. Kenapa? Karena polisi kita itu bekerja dengan cara yang sangat tradisional. Jadi kalau kita ngelaporin kasus ke kepolisian, pasti yang ditanya adalah kamu ngelaporin siapa? Pelakunya namanya siapa? Alamatnya di mana? sehingga bisa melakukan penyidikan,” kata Kalis Mardiasih, aktivis isu kesetaraan gender.

Kalis Mardiasih berbicara dalam diskusi buku “Luka-Luka Linimasa” yang digelar LPM Daunjati di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Senin, 29 Juli 2024. Menurut Kalis, KGBO menjadi satu kasus penting yang memerlukan perhatian dan penanganan serius dalam pencegahannya.

Keseriusan itu diperlukan karena di hampir banyak kasus yang ia temui dan kawal, kasus KGBO diawali dari penganggapan sepele atas hal-hal yang dilakukan di dunia digital, khususnya di kelompok usia remaja.

“Mereka rata-rata itu menganggap bahwa pertukaran konten intim itu tidak melibatkan fisik. Jadi, risikonya lebih sederhana,” jelas Kalis.

Dampak besar yang akan terjadi setelah KGBO justru tidak dipikirkan panjang karena jejak digital yang sulit untuk dihilangkan. Terlebih, platform digital seperti Facebook dan Instagram yang memiliki fitur pengingat kenangan di tahun-tahun sebelumnya dapat menjadi satu pemantik kenangan buruk dan trauma korban.

Febi Fauziah, salah satu anggota LPM Daunjati mengajukan pertanyaan kepada Kalis Mardiasih mengenai pandangannya terkait penerapan edukasi seks sebagai bentuk pencegahan kasus kekerasan seksual pada umumnya yang efektif dilakukan.

“Apakah pendidikan seks itu cukup efektif? Tentu saja itu efektif, karena itu adalah mandat isu TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual), tapi sebetulnya kalau ngomongin Indonesia tantangan terbesar kita adalah elite-elite kita yang masih dominasi laki-laki dan maskulin dominasi. Jadi kayak di kasus yang mind blowing banget gitu misalnya, yang sangat banal, ketua KPU yang ternyata dia menjadi pelaku pelecehan,” papar Febi Fauziah. 

Baca Juga: Anak-anak Indonesia Rentan Menjadi Korban Kekerasan dan Eksploitasi Seksual di Ranah Daring, Perlu Dilakukan Intervensi Menyeluruh
Riset AJI dan PR2Media: 82,6 Persen Jurnalis Perempuan Indonesia Mengalami Kekerasan Seksual
UPI Sudah Berani Membuka Data Kasus Kekerasan Seksual, Kampus-kampus Lain Kapan?

Penganggapan Sepele hingga Pewajaran

Perbincangan mengenai Kekerasan Gender Berbasis Online bukan berhenti pada kasus-kasus besar yang tersorot. Kasus kekerasan gender berbasis online sering kali tidak disadari, dianggap remeh, dan biasa. Misalnya, paling banyak ditemui tiap hari tanpa disadari yaitu komentar yang sering kali dilemparkan netizen di postingan-postingan yang dipublikasikan melalui platform digital.

“Yang paling sering tentu saja yang jadi konsumsi setiap hari adalah pelecehan seksual online. Tentunya kalau online bisa teks, bisa gambar, bisa video. Kalau kita melihat tiap hari di komen komen ‘ada yang bulat, tapi bukan tekad’, ‘ada yang menonjol tapi bukan bakat’. Itu kan tujuannya adalah untuk merendahkan perempuan, punya konotasi yang buruk untuk merendahkan tubuh perempuan,” terang Kalis.

Penormalisasian ucapan hingga perlakuan yang sebetulnya masuk pada kategori kekerasan seksual pada umumnya hari ini tidak lepas dari proses sosialisasi jangka panjang yang bahkan disosialisasikan di acara tv nasional melalui program drama komedi.

“Dalam buku itu (Luka-Luka Linimasa) saya menulis tentang piramida red culture atau budaya pemerkosaan. Di mana, semua peristiwa-peristiwa kekerasan seksual yang besar itu selalu berawal dari hal yang kecil-kecil yaitu pewajaran,” tegas Kalis.

“Yang namanya candaan atau pewajaran tuh kadang-kadang ya karena sudah berpuluh-puluh tahun itu dianggap lucu dan selama ini diam. Dianggapnya nerima, padahal sebenarnya kita takut dan trauma,” lanjutnya.

Penyebab atas pewajaran pelecehan yang ditujukan kepada perempuan sebagai pihak yang paling banyak menjadi korban selama ini menurut Kalis salah satunya adalah minimnya waktu dan ruang untuk perempuan berbagi pengalaman dan perasaannya kala mengalami hal tersebut.

Baginya, hal itu terbukti. Ketika hari ini suara-suara perempuan sudah dapat hadir di permukaan menyuarakan pengalaman dan pendapatnya meski belum juga terbuka lebar, tetapi sedikitnya hal itu mengikis pelecehan-pelecehan yang dianggap wajar. Misalnya, banyak produk budaya yang hari ini tidak seksis melalui komedinya seperti di masa lalu.

Kesadaran terhadap ucapan hingga perlakuan kekerasan seksual dapat ditumbuhkan melalui proses sosialisasi yang dilakukan secara terus menerus. Seperti yang dipaparkan oleh kalis bahwa, hari ini masyarakat Indonesia sedikitnya tidak hanya mengenal istilah pencabulan dan pemerkosaan saja, tetapi istilah dan bentuk kekerasan seksual pun sudah tidak asing di tengah masyarakat.

Penyebarluasan pengetahuan mengenai kekerasan seksual tersebut berdampak besar kala kasus kekerasan seksual terjadi. Banyak masyarakat yang turut hadir mengawali kasus kekerasan seksual hingga mendapatkan keadilan. Meski, gerakan itu hanya terjadi di dunia media sosial, tapi hari ini hal itu berdampak besar terhadap perjalanan setiap kasus yang tengah terjadi.

“Sekarang kayak di medsos, ada kasus (kekerasan seksual) itu pasti banyak banget ibu-ibu yang biasa langsung tag Komnas Perempuan, Najwa Shihab, Hotman Paris. Semua-muanya di-tag untuk menegakkan keadilan. Hal itu menunjukkan bahwa, perubahan itu mungkin. Ketika kita membicarakan terus, kesadaran masyarakat tuh sangat mungkin untuk diubah menuju kesadaran baru,” jelas Kalis.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain Nabila Eva Hilfani, atau artikel-artikel lain tentang Kekerasan Seksual atau KGBO

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//