UPI Sudah Berani Membuka Data Kasus Kekerasan Seksual, Kampus-kampus Lain Kapan?
Belum banyak kampus di Bandung yang membuka data kekerasan seksual di lingkungannya. Terhalang nama baik kampus?
Penulis Tim Redaksi5 Januari 2024
BandungBergerak.id - Sejak pengesahan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, upaya untuk menyikapi kekerasan seksual di perguruan tinggi berfokus pada pencegahan dan penanganan. Keduanya memang merupakan elemen utama untuk mengakhiri masalah ini dan menjawab kinerja institusional yang kurang memadai, tapi kebijakan-kebijakan tersebut belumlah lengkap tanpa mencakup akuntabilitas dan transparansi data di dalam prosesnya.
Pengumpulan data kekerasan seksual memang telah banyak dilakukan, hanya saja sebagian besar data yang tersedia saat ini masih berupa data agregat dan bukan pada tingkat kampus masing-masing. Data agregat, misalnya tingkat kekerasan seksual di kampus secara nasional, bisa memberikan gambaran besar tentang berbagai kelemahan prosedur disipliner kampus, tapi laporan-laporan seperti itu gagal merancang reformasi spesifik bagi setiap kampus.
Bagaimanapun, pengumpulan data spesifik adalah satu hal, mengumumkan data tersebut ke publik adalah perkara lain. Beberapa kampus mungkin telah mengumpulkan data kekerasan seksual di kampusnya, tapi laporan ini hanya sampai ke tangan pimpinan kampus saja. Kasus kekerasan seksual di kampus tampaknya masih sering diatur dan ditangani secara tertutup dalam klausul kerahasiaan, demi menjaga nama baik kampus.
Kurangnya transparansi memiliki beberapa dampak langsung yang jelas terhadap kredibilitas proses pendisiplinan kampus. Di mata mahasiswa yang melapor maupun terlapor, tiadanya transparansi ini meningkatkan ketidakpercayaan mereka terhadap sistem yang ada. Korban mungkin menjadi enggan untuk melapor karena tak percaya kasusnya akan ditangani secara serius, sedangkan (terduga) pelaku tak bisa menilai apakah mereka diperlakukan adil.
Para pemangku kepentingan tak bisa mengevaluasi apakah kampus memperbaiki kebijakan dan kinerjanya. Calon mahasiswa dan keluarga mereka tak bisa menilai penanganan kasus-kasus kekerasan seksual, membuat mereka merasa kurang aman untuk memasuki kawasan kampus. Transparansi yang lebih besar dalam proses-proses ini, dengan begitu, merupakan langkah penting untuk memastikan dan mengevaluasi keadilannya.
Atas dasar itu, tim BandungBergerak.id telah menghubungi Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) dari tiga kampus di Bandung Raya: Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR), dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Dari ketiga kampus tersebut, setidaknya sampai tulisan ini dipublikasikan, baru UPI dan Unpad yang telah melaporkan data spesifik mereka ke publik.
Universitas Padjadjaran
Ketua Satgas PPKS Unpad Antik Bintari menerangkan bahwa mereka, alih-alih “korban dan pelaku”, lebih cenderung menggunakan istilah “pelapor dan terlapor”. Sebelum pengaduan ditindaklanjuti, pelapor sendiri sangat mungkin memperoleh layanan psikologis dulu, karena dalam beberapa kasus, pelapor mengalami trauma dan akibatnya sulit untuk bercerita. Hasil konseling ini juga penting agar perlakuan terhadap bersangkutan dapat disesuaikan.
“Kalau kita mengacu ke Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021,” ujar Antik, “sebetulnya yang ditangani itu hanya jika berkaitan dengan Tri Dharma (Perguruan Tinggi). Ini yang sebetulnya banyak orang tidak tahu. Dalam Permendikbud dan Peraturan Rektor, peristiwa kekerasan seksual yang bisa dilaporkan itu terkait Tri Dharma: pendidikan, pengajaran, dan pengabdian pada masyarakat.”
Bagaimanapun, tutur Antik, timnya telah bersepakat bahwa mandat timnya tak harus terkait langsung dengan Tri Dharma. Ia dan timnya mengamati bahwa beberapa kasus yang dialami civitas academica terjadi di luar kampus, tapi ternyata itu berkorelasi dengan salah satu poin Tri Dharma, misalnya pendidikan. Korban mungkin tak lagi mau datang ke kelas sampai pada akhirnya performa belajar dan IPK-nya menurun.
Satgas PPKS Unpad disahkan melalui Keputusan Rektor Nomor 3881/UN6.RKT/Kep/HK/2022 dengan jumlah anggota sebanyak 9 orang. Dalam Surat Keputusan Rektor itu pula, tepatnya pada poin ke-2 dan 3, kita bisa mengetahui bahwa Satgas PPKS Unpad di antaranya bertugas “melakukan survei kekerasan seksual paling sedikit sekali enam bulan” dan “menyampaikan hasil survei tersebut kepada pimpinan perguruan tinggi”.
“Transparansi itu bukan berarti menelanjangi diri,” jelas Antik tentang mengapa laporannya tidak bisa langsung dipublikasi. “Misalnya kalau terkait survei, kita tentu harus mengatakan di Instagram bahwa kami pernah melakukan survei dan survei itu menunjukkan probabilitas dan kecenderungan—boleh. Tapi kalau hasil keseluruhan, kami punya komisi etik... Nah, jadi makna survei itu hanya dilaporkan ke rektor tentunya agar konfidensialnya juga terjaga.”
Pada akhir September kemarin, Satgas PPKS Unpad memang telah mempublikasikan laporan kekerasan seksual melalui akun Instagram mereka @ppksunpad—meskipun rentang periode laporan tersebut terbilang pendek, dari Maret sampai September tahun 2023. Dalam enam bulan itu, mereka menerima 19 total laporan, sepuluh di antaranya (per September) sedang dalam proses, sementara tiga laporan tidak dilanjutkan.
“Ada tiga yang mencabut (laporannya),” ungkap Antik, “karena ternyata, setelah dianalisis, pelapornya bersepakat dengan kami bahwa itu bukan isu KS (kekerasan seksual). Jadi ia bisa melaporkan ke lembaga lain yang lebih sesuai. Kemudian sekarang (per Oktober) bertambah ada dua yang tidak meneruskan lagi, karena tanpa alasan juga. Kami sudah surati, fasilitasi—sudah kami coba panggil. Ternyata tidak ada respons setelah 14 hari kerja.”
Universitas Pendidikan Indonesia
Sebelum pengesahan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, penerimaan laporan kekerasan seksual di UPI ditampung oleh Pusat Krisis. Hadirnya Permendikbud itu, di satu sisi, memang semakin menguatkan fokus dan konsistensi UPI dalam menyikapi isu kekerasan seksual, tapi di sisi lain juga membuat sistem dan strukturnya berubah total—hampir seperti memulainya lagi dari nol.
“Ketika menjadi Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual,” tutur Ketua Satgas PPKS UPI Hani Yulindrasari, “itu berubah drastis karena berarti kami keluar dari LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat). Jadi sudah bukan di bawah LPPM lagi, melainkan di bawah rektor langsung. Dari sisi posisi itu jauh lebih tinggi hingga akhirnya Satgas yang sesuai dengan Permendikbud itu disahkan bulan September tahun 2022.”
Satgas PPKS UPI sendiri telah mempublikasikan laporan kekerasan seksual berjudul “Risalah Tahunan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual UPI 2022: Berani Terbuka”. Dalam pembuka, mereka menegaskan bahwa kampus-kampus seharusnya tak memakai nama baik kampus sebagai tameng atau alasan untuk menutup data kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Sebaliknya, nama baik kampus harus diwujudkan dengan sikap berani terbuka.
“Selain pencegahan (dan) penanganan,” ujar Hani, “kita juga perlu melakukan riset (berupa) survei. Jadi survei yang rutin enam bulan sekali tentang kondisi KS di universita. Salah satu yang kita buat (adalah laporan) Berani Terbuka. Itu rencananya akan ada setiap tahun. Buat tahun ini memang terbitnya agak terlambat, di bulan Agustus. Untuk tahun 2024, Insya Allah bulan Februari (2024) mungkin sudah ada laporan tentang risalah tahun 2023.”
Dalam laporan Berani Terbuka, mulai dari Mei 2020 sampai Desember 2022, jumlah laporan pengaduan totalnya 135 kasus. Pada tahun 2020, ketika masih dihimpun Pusat Krisis, ada 43 aduan kasus kekerasan berbasis gender dan seksual. Pada tahun 2021, saat pandemi Covid-19 mencapai puncaknya, angka pengaduan menurun. Baru pada tahun 2022, ketika interaksi fisik antarmahasiswa di kampus mulai meningkat kembali, aduan naik menjadi 68 kasus.
Laporan mereka juga menunjukkan hasil yang cukup unik. Dari total 135 kasus itu, 16 kasus (11,9 persen) di antaranya dialami oleh laki-laki—“unik” karena selama ini stereotip yang tersebar mengatakan bahwa korban kekerasan seksual senantiasa perempuan. Sementara itu, pelaku kebanyakan merupakan laki-laki, sebanyak 76 orang (93,6 persen); pelaku perempuan berjumlah dua orang (2,5 persen).
“Dalam sosialisasi,” terang Hani ketika memperkirakan mengapa cukup banyak laki-laki yang melapor, “kami selalu tunjukan angka yang melapor laki-laki. Awalnya korban laki-laki yang melapor ada lima, terus jadi meningkat karena kami di setiap sosialisasi menekankan bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban. Kami pun menekankan prinsip nondiskriminasi dalam hal apa pun: agama, ras, kelas sosial, usia, termasuk identitas gender, dan lain sebagainya.”
Baca Juga: Melontarkan Ucapan Berbau Seksual di Muka Umum adalah Bentuk Kekerasan Seksual
Data Kekerasan terhadap Perempuan di Kota Bandung 2020, Kekerasan Seksual Paling Banyak Dilaporkan
Merdeka Belajar, Merdeka dari Kekerasan Seksual?
Universitas Katolik Parahyangan
Satgas PPKS UNPAR terdiri atas 13 orang yang mencakup dosen, tenaga kependidikan, serta mahasiswa. Secara struktur, mereka terbagi menjadi dua divisi, yaitu Divisi Penanganan dan Tindak Lanjut serta Divisi Pencegahan dan Sosialisasi. Kedua divisi itu mengemban tugas dan wewenang yang berbeda, meskipun secara umum masih merujuk ke Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021.
Sampai publikasi tulisan ini, UNPAR belum menerbitkan laporan kekerasan seksual yang bisa dicerna publik. Dalam hal ini, sejauh pantauan kami, UNPAR masih menyimpan data spesifik kekerasan seksual mereka secara internal. Mereka memang telah mempublikasikan sebuah buku saku tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di UNPAR, dan terdapat pula hasil survei, tapi kami tak menemukan data spesifik seperti laporan Unpad dan UPI.
Adapun hasil survei itu baru menggambarkan kondisi umum kekerasan seksual di UNPAR. Di situ disebutkan bahwa mereka telah melakukan survei pada akhir November 2022. Dari 117 responden, 76,1 persen mengetahui telah terjadi kekerasan seksual di lingkungan kampus UNPAR, dan sekitar 23 dari 89 responden yang mengetahui terjadinya kasus kekerasan seksual telah melaporkan kasus tersebut ke berbagai pihak: teman, Satgas PPKS, dosen, dan Kaprodi.
“Begini, setahu saya tanggung jawab sebagai Satgas PPKS itu memberi laporan pada rektor,” ujar Sekretaris Satgas PPKS UNPAR Nastiti Anggarini Wiraputri. “Jadi, laporan yang per enam bulan dan per tahun. Semua kegiatan Satgas PPKS itu kami laporkannya ke rektor. Berkaitan dengan kasus, sejauh ini laporannya itu ke rektor dan kemarin itu ke Irjen LLDikti (Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi).”
Laporan tersebut sifatnya masih konfidensial, sehingga hanya dilaporkan ke rektor—ditambah secara struktural, Satgas PPKS berada di bawah rektor. Tapi, jelas Nastiti, Satgas PPKS UNPAR sudah berusaha untuk se-transparan mungkin ke publik, salah satunya adalah dengan menyediakan infografis dari hasil survei—meskipun sejauh ini belum disajikan data spesifik yang mudah diakses oleh publik.
“Sampai hari ini (per 8 Desember 2023) ada sekitar 28 kasus,” jelas Nastiti mengenai rincian kasus kekerasan seksual di UNPAR. “Itu pengaduannya baik informal maupun formal. Yang dimaksud formal itu mereka mengisi form pengaduan atau mengontak lewat DM Instagram Satgas. Yang informal itu berawal dari cerita, misal ke dosennya, lalu nanti dosennya lapor ke kami—atau pernah ada yang melalui sesi konseling.”
Dari total kasus tersebut, semua korbannya merupakan perempuan, dan yang paling banyak menjadi korban adalah mahasiswi. Sementara itu, pelakunya cenderung bervariatif, meliputi mahasiswa, dosen, dan umum—maksudnya warga sekitar kampus yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual di dalam kawasan kampus UNPAR. Seperti halnya korban, jumlah pelaku juga didominasi oleh mahasiswa.
“Memang baru sampai situ,” ungkap Nastiti yang diikuti senyum ramah. “Yang saya pahami, Satgas itu tanggung jawabnya ke rektor, nanti urusan rektor apakah dia merasa laporan itu perlu dipublikasikan atau bagaimana.”
Salah seorang anggota Satgas PPKS UNPAR Anggia Valerisha turut menambahkan, “Perkara kemudian apakah nanti akan berkembang, tentu kami mengharapkan lebih transparan lagi. Selalu seperti itu. Karena akuntabilitas (dan) transparansi merupakan hal yang amat-sangat penting. Tapi karena mungkin kami juga baru satu tahun, masih dalam berproses di sana-sini untuk merancang prosedur dan segala macam.”
Lebih dari sekadar Angka
Tentu saja, penekanan terhadap data sebaiknya tak dilebih-lebihkan. Angka-angka yang ada tak akan pernah sepenuhnya menggambarkan kondisi aktualnya. Kekerasan seksual adalah fenomena gunung es.
Beberapa kampus mungkin dengan sengaja memangkas datanya untuk melindungi reputasi mereka sebagai kampus yang aman. Padahal, angka yang rendah juga bukan berarti kampus tersebut aman, karena pihak kampus hanya menghitung dan mencatat laporan yang masuk. Korban yang tak melapor, atau melaporkannya ke kepolisian, atau kasus yang terjadi di luar kampus, mungkin tak akan tercatat dalam data kampus.
Statistik bukanlah intinya. Fokus pada kekerasan seksual di kampus tak pernah tentang data.
Biarpun begitu, data dan statistik ini merupakan representasi dari seberapa serius kampus dalam memerangi kekerasan seksual di kampus mereka sendiri, dan apakah mereka telah merancang cara yang ketat, konsisten, serta bijaksana untuk mengakhiri wabah kekerasan seksual. Keselamatan warga kampus, sebagian, bergantung pada ketersediaan informasi ini.
Kampus tak bisa mengharapkan mahasiswa, atau pada dasarnya civitas academica secara keseluruhan, untuk mempercayai sistem yang dengan sengaja dibuat buram dan dipenuhi oleh kisah-kisah kelalaian dan bias. Dengan demikian, untuk menangani kekerasan seksual di kampus dan meningkatkan kepercayaan terhadap sistem tersebut, para pembuat kebijakan di setiap tingkat—pertama dan terutama—harus bekerja secara transparan.
*Liputan ini dikerjakan reporter BandungBergerak.id Muhammad Andi Firmansyah dan Salma Nur Fauziyah