Bandung Kota Ramah Gender? Mungkin Belum
Bandung belum ramah gender. Belum adan kebijakan publik spesifik yang dibuat oleh Pemkot Badung untuk keamanan dan kenyaman, khususnya perempuan.
Penulis Awla Rajul29 November 2023
BandungBergerak.id - Bandung sejak lama dikenal sebagai kota fesyen dan pariwisata. Sebagian orang menjuluki Bandung sebagai kota kembang. Sejalan dengan julukan itu, perempuan Bandung disebut-sebut yang tercantik di Indonesia. Sayangnya predikat ini tidak sepenuhnya bermakna positif. Perempuan Bandung kadang kerap menjadi objek untuk menjadiajang “penaklukan”.
Demikian sepotong pengantar yang disampaikan oleh Zahra saat memoderatori diskusi Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) yang bertajuk “Sudahkah Bandung jadi Kota Ramah Gender?” di Perpustakaan Ajip Rosid, Sabtu, 25 November 2023. Adapun yang menjadi pembicara adalah Eva Eryani dari Forum Tamansari Melawan, Hanifa Paramita dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, dan Shela Amelia dari Great Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Hanifa Paramita menyebutkan bahwa Kota Bandung rasa-rasanya menjadi semakin maskulin. Kota ini menjadi tidak ramah untuk perempuan. Padahal, setengah dari warga Bandung adalah perempuan. Data dari BPS Kota Bandung menyebut total penduduk pada 2023 mencapai 2.469.589 jiwa. Sebanyak 1.226.915 jiwa merupakan perempuan.
Sayangnya, lanjut Hanifa, banyak sekali persoalan di Kota Bandung, di antaranya transportasi publik yang tidak layak, pelecehan seksual yang terjadi angkot, banyak trotoar yang rusak yang membuat tidak ramah untuk orang tua dan anak. Kondisinya bahkan dipenuhi oleh pedagang. Hal ini sangat menyulitkan bagi para ibu-ibu yang membawa stroller.
Ia juga mengeluhkan kurangnya penerangan di kota Bandung di banyak lokasi. Misalnya yang paling kentara di wilayah Tegallega. Penerangan jalan yang minim menjadi rentan terjadi kekerasan seksual pada perempuan.
“Hal-hal receh saja tak terpenuhi di Bandung, apalagi persoalan besar di Bandung lainnya,” ungkap Hanifa.
Persoalan besar yang disinggung oleh Hanifa salah satunya adalah perihal penggusuran. Dalam dua tahun belakangan, terjadi beberapa kasus penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah kota maupun pihak BUMN. Di titik-titik penggusuran perempuan jadi kelompok yang paling bertanggung jawab dan harus mengemban tugas ganda.
Perempuan secara bersamaan kehilangan tempat tinggal dan sumber penghasilan sebab mereka kebanyakan berdagang di rumah. Persoalan ini akan semakin pelik sebab perempuan bisa sangat rentan terjerat rentenir untuk memperoleh modal baru, pinjaman online (pinjol), atau masuk jeratan pemilik modal yang memeras pekerja.
Hanifa merujuk pada Komnas Perempuan bahwa perencanaan kota yang layak huni dapat mencegah terjadi penggusuran dan konflik antara warga dan negara. Penggusuran merupakan indikasi buruk soal perencanaan kota yang mengabaikan prinsip inklusif, berkeadilan, berkelanjutan, keterbukaan, dan berketahanan.
Minimnya perencanaan kota ini melahirkan gentrifikasi yang akan menyebabkan kesenjangan sosial, tekanan dalam keluarga, kekerasan berbasis gender, dan ketergantungan ekonomi. Sederhananya, gentrifikasi adalah imigrasi penduduk kelas ekonomi menengah ke wilayah kota yang buruk keadaannya atau yang baru saja diperbaharui dan dipermodern.
“Melihat kondisi sekarang, Bandung belum bisa dikatakan sebagai kota ramah gender. Belum adanya kebijakan publik spesifik yang dibuat dengan kesadaran oleh Pemkot untuk keamanan dan kenyaman, khususnya perempuan,” tandas Hanifa.
Tak Layak Disebut Ramah Gender
Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tersebut dimulai dengan nonton bareng film “In the Time of Butterfly” dan penampilan musik dari Abah Om Tris. Film In the Time of Butterfly diangkat dari novel yang berjudul sama karangan Julia Alvarez.
Dikisahkan, seorang aktivis perempuan Republik Dominika melawan pemerintah diktator Rafael Trujillo. Minerva Mirabal, aktivis perempuan tersebut, mengalami banyak pergolakan hidup selama menentang pemerintah yang otoriter. Ia bahkan sempat dilecehkan oleh presiden. Ayahnya harus berakhir di balik jeruji sel.
Narasumber diskusi lainnya, Shela Amelia dari Great UPI menyebutkan, perempuan sering kali diserang sebagai objek seksualitas. Dengan kata lain, seksualitas dianggap sebagai salah satu strategi untuk menaklukkan perempuan. Seksualitas bahkan menjadi konotasi berdampak buruk bagi perempuan Kota Kembang.
Dalam flm dikisahkan, usai mengalami pelecehan, ibu Minerva takut dan lebih memilih melindungi keluarga daripada melawan pelaku. Hal itu merupakan cerminan keluarga korban yang ketakutan dengan relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban. Film ini menunjukkan jelas relasi kuasa tersebut, bahwa pelaku merupakan penguasa dan korban adalah warga biasa.
Menurut Shela, ketimpangan relasi kuasa terjadi di kehidupan sehari-hari. Misalnya di kampus, relasi timpang antara pelaku yang notabenenya dosen dan korbannya adalah mahasiswi.
Shela yang juga mahasiswi UPI mengakui dirinya tak merasa amanan di kota kelahiran sendiri. Anggapan pelecehan seksual hanya akan terjadi karena korban memakai pakaian terbuka terbukti salah. Faktanya siapa pun bisa menjadi korban, perempuan yang terbuka maupun tertutup, bahkan juga kepada laki-laki.
Shela menceritakan pengalaman seorang temannya yang menjadi korban catcalling (dilecehkan secara verbal). Saat temannya melawan balik kepada pelaku, pelaku malah menghina korban. Hal ini ditegaskan oleh Shela sebagai bukti masih banyak ancaman yang didapatkan oleh perempuan.
“Saya sendiri tidak merasakan aman di sini. Misalnya saya pernah malam-malam diberhentiin pas bawa motor sama laki-laki cuma untuk minta Instagram,” ungkap Shela.
Sama seperti Hanifa, Shela juga menilai bahwa Kota Bandung belum cukup layak untuk disematkan sebagai kota yang ramah gender. Persoalan gender, di antaranya persoalan yang dihadapi oleh para perempuan masih menjadi cerita pahit yang masih sering terdengar.
“Apakah kota bandung ramah gender? Sepertinya tidak ya, belum untuk saat ini. Dan semoga ke depannya iya,” harap Shela.
Baca Juga: Membaca Kaitan Kesetaraan Gender dengan Kemajuan Ekonomi
Seksualitas dan Gender: Mari Angkat Galon Bersama!
Cerita Penyintas Kekerasan Berbasis Gender Online
Angka Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Kota Bandung Meningkat
Bandung belum ramah gender. Ini terlihat dari data yang dirilisi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung bahwa angka kekerasan pada perempuan dan anak tahun ini meningkat.
Kepala DP3A Kota Bandung Uum Sumiati mengatakan, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai fenomena gunung es. Jumlahnya bisa jadi lebih banyak dari yang sesungguhnya. Angka yang dikumpulkan bersumber dari korban atau penyintas yang berani melaporkan.
Uum menjelaskan peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Bandung jangan dipandang negatif. Sebaliknya, adanya data mutakhir ini mesti dipandang bahwa masyarakat mulai berani untuk melaporkan kasus yang mereka alami.
Uum juga mengklaim ada laporan dari masyarakat sebagai efek dari keberhasilan edukasi. Sepanjang tahun 2022 angka kasus kekerasan di Kota Bandung terdiri dari kekerasan psikis 79 kasus, kekerasan seksual 73 kasus, kekerasan fisik 20 kasus, dan penelantaran empat kasus.
“Jenis kekerasan paling banyak di tahun 2022 itu kekerasan terhadap anak 157 kasus. Lalu disusul kekerasan terhadap istri 134 kasus. Kemudian kekerasan terhadap perempuan 103 kasus. Secara total semuanya, laporan kekerasan tahun 2022 itu meningkat dari 362 menjadi 465 kasus,” ungkap Uum, dalam Diskusi Panel di Auditorium Balai Kota Bandung, Senin, 27 November 2023.
Uum menyebutkan, laporan tersebut diproses oleh DP3A melalui lembaga-lembaga yang tersedia, seperti seperti UPTD PPA, Pusat Pelayanan dan Pemberdayaan Perempuan (PUSPEL PP), Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), dan Puspaga.
Uum mengakui tidak semua kasus kekerasan bisa dengan mudah diselesaikan. Perlu adanya uji kondisi psikologis korban dan keluarga memiliki peran penting.
*Kawan-kawan bisa membaca reportase-reportase lain dari Awla Rajul, atau tulisan-tulisan lain tentang Kesetaraan Gender