Seksualitas dan Gender: Mari Angkat Galon Bersama!
Vokal tentang ketidakadilan gender berarti mesti vokal juga terkait dengan peranan dan kegotong-royongan.
Sidik Permana
Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse
25 Oktober 2023
BandungBergerak.id – Dunia sex dan gender memiliki dua perbedaan signifikan. Sex mewakili simbolisme alamiah biologis, laki-laki dan perempuan, sedangkan gender mewakili simbolisme sosial-kebudayaan tentang peran dan fungsinya dalam kemasyarakatan antara laki-laki dan perempuan. Pada awal yang begitu purba, semua berjalan baik dan perbedaan gender bukanlah suatu persoalan, di mana manusia paling awal bekerja satu sama lain untuk bertahan hidup dan berketurunan, sampai muncul kesadaran betapa “berbedanya” kami sebagai laki-laki dengan perempuan dari sudut pandang tertentu terutama fisik dan ruang lingkup (gerak) dalam institusi kecilnya, keluarga, hingga di level masyarakat.
Seiring berjalannya waktu, kesadaran akan perbedaan tersebut naik tingkatannya hingga kita mengenal istilah “ketidakadilan” yang berkembang hingga hari ini. Ketidakadilan ini tumbuh dalam pikiran, sikap dan perilaku, seperti diskriminasi, kekerasan, pelecehan, perendahan harkat dan martabat, dan lainnya. Kita sadar bahwasanya perbedaan adalah keniscayaan. Namun, ketika perbedaan tersebut merangkak menuju ketidakadilan, baru di situlah perbedaan menjadi permasalahan. Dari sinilah kita akhirnya menemukan ketidakadilan berbasis gender.
Menurut laporan World Economic Forum (2023) bertajuk Global Gender Gap Report 2023 : Insight Report June 2023, diketahui bahwa skor paritas gender Indonesia berada di peringkat 87 global dan peringkat 9 regional dengan skor 0,697 dengan skala nilai dari 0-1 atau total persentase 69,7%. Index ini mendasarkan nilainya pada empat dimensi, yaitu peluang dan partisipasi ekonomi, pencapaian dalam pendidikan, kesehatan dan harapan hidup, dan pemberdayaan politik. Dari variabel-variabel tersebut, political empowerment (pemberdayaan politik) menjadi aspek yang paling rendah dengan skor 0,181. Variabel lain memang cukup tinggi secara perolehan skor yaitu mendekati angka satu dalam skala yang digunakan, namun itu bukan berarti kemenangan agregat dengan menyisakan satu variabel yang jongkok secara nilai, yang menandakan cukup sedikit keterlibatan perempuan dalam partisipasi politik dan parlemen.
Buruknya variabel pemberdayaan politik Indonesia dalam laporan World Economic Forum tahun 2023 hanyalah penanda bahwa ada bagian dari kehidupan masyarakat di mana perempuan masih terbatas dalam turut serta membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akan tetapi, kita perlu membicarakan ini dalam skala yang lebih luas dan non-tendensius. Pertama, Tuhan dan alam sudah membentuk sedemikian rupa purwarupa dari wujud makhluk hidup para Sapiens ini dengan perawakan, sikap, dan keseluruhan biologis yang telah berkembang selama kurang lebih ratusan ribu atau jutaan tahun yang lalu. Artinya, memang Tuhan dan alam menghendaki eksistensi kita dengan kelaki-lakiannya atau keperempuannya secara gen, biologis, fisiologis, dan lainnya, terlepas anomali yang terjadi. Oleh karena itu, pikiran kita akan cukup jongkok bila kemudian kita menentang ketentuan Tuhan dan alam ini yang secara radikal melekat di tubuh ini. Tugas kita adalah menerima sesuatu yang terwujud secara evolusionis ini, dan bila memang menghendaki adanya anomali, pastikan dunia medis mampu melakukan itu atau menunggu evolusi jutaan tahun berikutnya — itu pun sebelum kiamat terjadi. Jadi, tidak ada lagi pembicaraan dalam rangka penentangan genetika dan mencampurkan rasa emosional kita terhadap konteks yang berbeda, seperti urusan fisiologis dan biologis dengan budaya, norma, dan sosial.
Kedua, mungkin bagian ini yang akan banyak diperbincangkan, yaitu seksualitas, gender, dan ketidakadilan. Dimulai dari keniscayaan seks yang tidak perlu diragukan, karena tidak ada dalam sejarah dunia dan riset arkeologis yang menemukan selain dua jenis kelamin yang kita kenal hari ini dan dari dua jenis kelamin inilah akhirnya Indonesia dapat berinvestasi penduduk hingga melahirkan 278,69 juta jiwa dan menempatkannya sebagai negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia. Dibandingkan seks, gender sebagai bentuk dari identifikasi yang dilandaskan pada konstruksi sosial, norma, tingkah laku, dan peran, memiliki banyak jenis, misalnya agender, non-biner, androgini, bigender, genderqueer, cisgender, genderfluid, transgender, omnigender, dan lainnya, termasuk konsep gender kearifan lokal Indonesia seperti matrilineal, patrilineal, bilateral. Adapula, misalnya di masyarakat Bugis terdapat gender seperti orane (pria), makunrai (wanita), calalai (perempuan berpenampilan laki-laki), calabai (laki-laki berpenampilan perempuan), dan bissu/bessi (bersih/suci) yang tidak menikah, haid, melahirkan, dan menyusui.
Baca Juga: Mengenal Penyebab Diskriminasi Gender di Dunia Pendidikan
Arsitektur Nusantara sebagai Bentuk Rekonstruksi terhadap Kesetaraan Gender di Indonesia
Pembangunan Sistem Sanitasi Berbasis Gender
Seksualitas dan Gender
Melihat kondisi gender dan persebarannya dalam budaya-kemasyarakatan, khususnya di Indonesia, rasanya tidak banyak persoalan, meskipun persoalan di akar rumput, pandangan miring berbasis gender tidak bisa dihindari. Selain itu, pembahasan gender akan memakan banyak ruang bila diperuntukkan pada kolom esai sesederhana ini. Tapi, ada yang kerap terpikirkan terkait seks dan gender, dan itu berhubungan dengan ketidakadilan, yang bila digambarkan sebagai sesuatu yang diskriminatif, sikap ketidaksetaraan yang nyata, yang justru menimpa pada semua orang. Misalnya, terkait budaya beracun (toxic) terhadap kemaskulinitasan, yang mesti menggambarkan laki-laki sebagai sosok yang “tidak mungkin sedih”, padahal sedih dan menangis adalah mekanisme biologis yang tidak bisa dihilangkan sebagai pelepas stres.
Hal sederhana seperti mengangkat galon air pun seolah-olah hanya diperuntukkan bagi seorang laki-laki, sedangkan pada saat yang sama terdapat kampanye kesetaraan gender yang kerap disuarakan feminisme hari ini. Namun, ketika seorang laki-laki tidak mengangkat galon, maka cacian dan makian atas kelemahan itu akan langsung ditujukan kepada setiap laki-laki sebagai aib. Hal ini cukup mengganggu, apakah saya harus menyebut ini hipokrit atau paradoks? Padahal, berbicara keadilan, dengan pandangan awam saja, bisa diketemukan hingga pada taraf “proporsional”. Tidak mesti laki-laki atau perempuan berotot, siapa pun yang mau mengangkat galon, dipersilahkan. Artinya, ketidakadilan gender dan seks lahir dari kegagalan kita melihat realitas masyarakat tentang ruang, kesempatan, dan penghormatan.
Bila sejak awal kita hidup cukup santai, melihat dunia sebagai sesuatu yang dijalankan bersama dan membutuhkan satu sama lain, tanpa ada pandangan yang merendahkan harkat dan martabat berbasis kelamin atau apalah, rasanya kisruh soal gender ini bukanlah persoalan dan tidak perlu dibesarkan. Saya pun cukup muak dengan sensitivitas berlebihan orang dalam menanggapi diksi-diksi yang terdapat di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam percakapan publik. Kalau begitu, hapus saja dari KBBI!
Vokal tentang ketidakadilan gender berarti mesti vokal juga terkait dengan peranan dan kegotong-royongan. Itu akan jauh lebih fair daripada kita berbicara hak, penuntutan, pengakuan, dan perhatian semata dari salah satu pihak saja. Pandanglah gender ini sebagai sesuatu yang mencakup ketidakadilannya, bukan gender itu sendiri, apalagi sebatas urusan orientasi seksual atau keinginannya untuk menjadi gender helikopter dan sebagainya.
Sudahi pembicaraan soal siapa yang akan mengangkat galon, lebih baik berinisiasi mengangkat galon dan saling membantu satu sama lain, saling menghormati keputusan hidup seseorang. Namun, bila memang menginginkan status quo dan konservatisme, jangan tanggung-tanggung, pakailah hukum atau bangun norma di masyarakat yang menghendaki itu. Namun, bila tidak sanggup, maka sudahilah pembicaraan ketidakadilan gender ini dan mulailah mengangkat galon air yang cukup berat ini.
* Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Sidik Permana atau artikel-artikel lainnya tentang gender.