Membaca Kaitan Kesetaraan Gender dengan Kemajuan Ekonomi
Claudia Goldin, ekonom dari Universitas Harvard peraih Nobel Ekonomi 2023, menyebutkan disparitas gender dalam dunia kerja makin berkurang. Benarkah?
Penulis Iman Herdiana22 November 2023
BandungBergerak.id - Penelitian yang dilakukan Claudia Goldin, ekonom dari Universitas Harvard peraih Nobel Ekonomi 2023, telah membuka cakrawala tentang bagaimana posisi perempuan dalam pasar tenaga kerja. Isu kesenjangan gender hingga pembatasan ruang di dunia kerja masih menjadi catatan bagi tenaga kerja perempuan.
Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad) Rina Indiastuti mengatakan, penelitian Goldin tidak hanya membuka cakrawala bagi Amerika Serikat, tetapi juga bagi negara lain, termasuk Indonesia.
Dalam penelitiannya, Goldin mengambil data evolusi dan dinamika pasar tenaga kerja di AS selama 200 tahun ke belakang yang menunjukkan bahwa disparitas gender dalam dunia kerja makin berkurang. Akan tetapi, masih menyisakan ada pembedaan pendapatan dan pembatasan perempuan untuk masuk dunia kerja pada sektor tertentu.
Rina mengatakan, Goldin telah menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dengan partisipasi perempuan di dunia kerja. Hal ini didukung dengan data ILO bahwa pengurangan gender participation gap akan meningkatkan pendapatan GDP suatu negara.
“Jadi bahwa isu gender ini bukan hanya isu perempuan meminta pekerjaan, tetapi perempuan memiliki potensi dan peran cukup besar dalam perekonomian,” kata Rina, saat menjadi pembicara pada seminar “Gender Issues in the Workplace: Nobel in Economics 2023” di Bale Rumawat Unpad Kampus Iwa Koesoemasoemantri, Bandung, Senin, 13 November 2023.
Becermin dari analisis tersebut, rektor perempuan pertama di Unpad tersebut mengatakan jika kaum perempuan diberikan kesempatan berperan, berkontribusi, dan produktif, maka ekonomi suatu negara akan tumbuh, pendapatan perkapita akan meningkat, serta kemiskinan akan menurun.
Kendati dunia kerja telah membuka luas partisipasi perempuan untuk bekerja, tantangan selanjutnya adalah bagaimana perempuan bisa membagi waktu untuk pekerjaan dan urusan domestik.
Rina menjelaskan, banyak perempuan yang memiliki prestasi akademik baik mendapat kesempatan untuk bekarier di dunia kerja.
Sayangnya, ada tantangan lain yang dihadapkan perempuan pekerja ketika dia memiliki keluarga. Pembagian waktu untuk keluarga dan pekerjaan kerap menjadikan perempuan terkendala untuk masuk ke berbagai bidang pekerjaan potensial.
“Karena pekerjaannya tidak fleksibel, maka beberapa perempuan menjadi terkendala untuk bidang-bidang luas pada industri,” ujar Rektor.
Disrupsi teknologi ternyata membuka peluang bagi perempuan. Rina mengatakan, sektor jasa memiliki potensi luas bagi perempuan untuk mengembangkan kariernya.
“Jasa saya yakin bahwa peluang perempuan akan menjadi lebih terbuka karena sektor jasa itu menjadi lebih fleksibel dan apalagi ditambah dengan teknologi. Jadi ini menguntungkan perempuan,” katanya.
Rina juga mendorong bahwa perempuan sangat penting untuk mengenyam pendidikan hinga ke pendidikan tinggi. Dengan pendidikan, kompetensi perempuan bisa meningkat sehingga bisa masuk ke level pimpinan dan memiliki fleksibilitas kerja yang baik.
“Jadi jangan menyerah untuk bekerja, terus produktif, dengan cara memiliki kompetensi apa. Kendati dunia kerja kurang fleksibel, tetapi ke depan sektor jasa dan teknologi membuat lebih fleksibel, sehingga yakin perempuan akan lebih punya peluang yang luas,” ujarnya.
Selain itu, kemampuan entrepreneurship khususnya kemampuan manajemen waktu diperlukan agar perempuan bisa menyeimbangkan antara kerja dengan keluarga. Rektor juga mendorong pemerintah menyiapkan regulasi yang bisa membuka peluang perempuan untuk bekerja di berbagai bidang tanpa ada pembedaan.
Baca Juga: Thomas Jefferson, Pejuang Kesetaraan dan Kebebasan Universal
Membumikan Nilai Toleransi dan Keberagaman Gender pada Anak SMA
Mengenal Penyebab Diskriminasi Gender di Dunia Pendidikan
Gender dan Kelamin
Gender dan jenis kelamin sering kali mengalami pertukaran makna. Menurut Sonny Dewi Judiasih dalam ACTA DIURNAL, Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, gender dan jenis kelamin adalah hal yang berbeda.
“Gender bukan hanya sekadar perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan,” terang Judiasih, diakses dalam jurnal berjudul Implementasi Kesetaraan Gender dalam Beberapa Aspek Kehidupan Bermasyarakat di Indonesia, Rabu, 22 November 2023.
Ia menjelaskan, jenis kelamin diartikan dalam bentuk atau hal-hal yang berkaitan dengan fisik atau biologis seseorang terkait dengan fitur fisik dan fisiologis termasuk kromosom, gen, fungsi hormon dan anatomi reproduksi atau seksual, sedangkan gender mengacu pada peran, perilaku, serta identitas yang dikonstruksikan antara laki-laki dan perempuan secara sosial.
Gender merupakan suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Menurut Judiasih, gender sering kali dijadikan objek diskriminatif di lingkungan sosial. Begitu juga di Indonesia.
Padahal, papar Judiasih, Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) menyatakan bahwa setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
“Perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut dalam artian perlakuan diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal dalam masyarakat, yang akibatnya menghilangkan atau mengurangi persamaan kesempatan dan perlakuan dalam masyarakat dan berbagai bidang kehidupan lainnya,” paparnya.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan Iman Herdiana atau artikel-artikel tentang Kesetaraan Gender