Membumikan Nilai Toleransi dan Keberagaman Gender pada Anak SMA
Ada kenyataan di masyarakat tentang keberagaman budaya, agama, gender, dan disabilitas. Nilai-nilai kesetaraan pun harus ditanamkan sejak dini.
Penulis Emi La Palau27 September 2022
BandungBergerak.id - Di salah satu dinding putih Griya Seni Popo Iskandar terpajang dua layar LCD ukuran 14 inci. Dalam tayangan visual itu Kenfajri mengenakan pakaian putih abu-abu sedang berbincang dengan Bunga, seorang transpuan. Meraka berbincang berhadapan. Bunga menjelaskan soal transpuan kepada siswa SMAN 7 Bogor tersebut. Bahwa ada kenyataan keberagaman gender di masyarakat selain laki-laki dan perempuan, yaitu transpuan.
Konten audio visual itu mempertemukan 10 siswa siswi dari berbagai latar belakang. Mereka terdiri dari individu berbeda agama dan budaya, gender minoritas (transpuan), penganut kepercayan, dan keberagaman lainnya. Mereka belum pernah bertemu sebelumnya dan dipertemukan pada satu ruangan untuk berbincang dan berdiskusi.
Pertemuan dengan beragam latar belakang individu terjadi pada acara bertajuk “Ketemu di Tengah”, sebuah program untuk menanamkan nilai-nilai toleransi sedini mungkin kepada para siswa.
Di tembok putih Griya Seni Popo Iskandar juga tertempel potret-potret keberagaman individu. Ada Azzedine siswi SMAN 9 Bogor berpose dengan Denti penyandang disabilitas daksa. Lalu ada Kayla, siswi SMAN 1 Batujajar yang berfoto dengan Retsu seorang transmen.
Pada tembok lain di galeri seni di utara Bandung itu tertempel lukisan-lukisan artefak karya seni para siswa dan siswi dalam program “Kita Berkisah Keberagaman”. Di sudut lain tertancap layar LCD yang menampilkan konten visual tentang komedi bertema “Comedy for Diversity”.
Tema “Ketemu di Tengah”, “Kita Berkisah Keberagaman”, dan “Comedy for Diversity” merupakan rangkaian program Creative Youth for Tolerance (Create) dengan tema besar “Create Moments”, Kamis (22/9/2022). Create sendiri sebagai program dari Yayasan Hivos yang bertujuan untuk meningkatkan nilai-nilai keberagaman, pluralisme, toleransi di sekolah khususnya murid/pelajar tingkat SMA.
Masing-masing murid diberi peran terkait keberagaman. Salah satunya Delvi Meilani, siswi dari SLBN Sukapura, yang menjelaskan dengan bahasa isyarat bagaimana proses ia dan rekan kelompoknya membuat karya intermedia. Delvi dan kawan-kawan membuat karya dengan bantuan teknologi digital. Hasilnya berupa video stop motion yang digunakan sebagai latar pada pertunjukkan teater.
Delvi menjadi satu dari 15 orang siswa-siswi SMA sederajat yang dipilih mengikuti program Yayasan Hivos. Selama satu bulan ia bersama anggota kelompok yang lain terlibat dalam kolaborasi membuat karya bersama tentang toleransi. Di kelompoknya terdiri dari siswa disabilitas dan nondisabilitas. Para siswa diberikan kesempatan untuk belajar berinteraksi satu sama lain hingga menghasilkan karya sesuai denga kompetensi yang dimininati.
Program Yayasan Hivos diikuti para pelajar dari Bandung Raya dan Kota Bogor. Para siswa terpilih dikumpulkan kemudian diedukasi terkait isu-isu kemanusian, inklusivitas, dan keberagaman. Setelah itu, mereka harus menuangkan hasil edukasi itu ke dalam karya seni seperti teater, gambar, video, dan lain-lain.
Dari kegiatan tersebut, Delvi berharap agar makin banyak kepedulian terhadap kawan disabilitas lainnya. Ia menegaskan bahwa tiap orang adalah setara.
“Saya harap orang-orang peduli terhadap teman-teman disabilitas, karena saya percaya kita setara,” ungkap Delvi, dalam Talkshow Artist and Coach Talk “Membuat Ruang Berkesenian yang Inklusif melalui Kita Berkisah Keberagaman”, pada Pameran Art Exhibition Create Moments, di Griya Seni Popo Inskandar, Bandung.
Galih Jatu Kurnia, mentor seni rupa kegiatan, pada sesi “Kita Berkisah Keberagaman” mulanya 15 pelajar dibagi dalam tiga kelompok. Tiap kelompoknya memiliki satu orang siswa disabilitas. Setiap murid kemudian dibebaskan untuk mendiskusikan karya apa yang akan dibuat.
Sebagai mentor, Galih membiarkan para murid untuk berkesenian secara natural. Proses kegiatannya berupa seni kolaboratif yang inklusif. Karena sifatnya kolabratif, siswa dibagi dalam kelompok, dan mesti mengerjakan bersama tugas kekaryaan mereka. Sebagai catatan, karya tersebut harus inklusif karena melibatkan siswa difabel. Artinya karya yang dibikin dapat dinikmati teman-teman difabel.
Sebelum mulai berkarya, para siswa tentunya dibekali orientasi terlebih dahulu. Mereka diberikan materi bagaimana cara berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa difabel, misalnya dengan tunanetra atau tunarungu. Para siswa diharapkan bisa saling belajar untuk saling memperlakukan setara satu sama lain.
Galih mengungkapkan tak ada perlakuan khusus yang diajarkan. Justru para siswa nondifabel yang mesti diajarkan untuk menyesuaikan diri dengan siswa difabel. Kegiatan ini, sekaligus dalam prosesnya menepis anggapan dan prasangka terhadap kemampuan siswa difabel.
“Justru nondifabel yang di-treatment khusus, soalnya yang mula-mula harus dibangun karakter meghadapi teman difabel. Ketakutan untuk berbagi tugas, ketakutan untuk memberikan tanggung jawab, ketakutan untuk membantu, kadang kita yang pesimis, teman difabel ini bisa gak ya, atau temen difabel ini bisa gercep bisa ngak ya. Nangkep ga ya, ketakutan-ketakutan itu yang akhirnya pada prosesnya tejrawab salah,” ungkapnya.
Lokakarya ini membuktikan bahwa teman-teman difabel punya tekad dan tanggung jawab lebih. Mereka mampu menyelesaikan pekerjaan dengan cara mereka sendiri.
Baca Juga: Mengenal Toleransi dan Keberagaman di Griya Seni Popo Iskandar
Mengurangi Konflik Keberagaman di Bandung dengan Dialog dan Mendengarkan
Keberagaman Indonesia dalam Menu Kuliner
Menciptakan Karya yang Berkeadilan
Pelatih sastra dan teater, dalam kegiatan “Kita Berkisah Keberagaman”, Zulfa Nasrulloh mengungkapkan bahwa dalam prosesnya pihaknya mengangkat tiga isu utama, toleransi, keseteraan gender, dan inklusi sosial. Tiga isu ini tercitra dalam karya-karya para siswa.
Karya-karya yang ditampilkan membangun kesadaran bagaimana menciptakan karya yang berkadilan untuk teman-teman disabilitas. Hal ini yang coba didorong ke publik. Menurutnya, sejauh ini teman disabilitas belum banyak mendapat ruang yang berkeadilan, entah di ruang publik, di ruang eduakasi, ruang seni.
Seni yang ramah disabilitas masih sangat sedikit, fasilitas publik yang ramah disabilitas masih minim, sekolah yang memberikan ilmu dan pendidikan karakter terhadap disabilitas juga kurang. Dalam kegiatan tersebut, pihaknya mencoba mendorong hadirnya nilai-nilai tersebut.
“Karya ini menjadi cermin bahwa teman disabillitas ini bukan sebuah kekurangn, bukan sebuah persoalan tapi dia value, yang bisa memberikan edukasi kepada teman yang nondisabilitas. Lebih menghormati diri sendiri. lebih mengotimakan diri sendiri,” ungkap Zulfa Nasrulloh.
Karya-karya yang dihasilkan sendiri berangkat dari kehidupan dan persoalan pribadi para peserta, terutama difokuskan kehidupan para disabilitas yang kemudian diedukasi kepada teman sekelompok yang nondisabilitas.
“Challange yang lebihnya lagi, bagaimana mereka berkolaborasi dengan teman disabilitas, dan menciptakan karya yang bukan hanya secara karya ramah disbiltias tapi juga audiendsi disabilitas bisa menikmati karya itu,” terangnya.
Penanggung jawab Create Jawa Barat, William Umboh berharap melalui rangkaian program keberagaman ini bisa menyampaikan isu-isu keseharian terkait kesetaraan gender, inklusi sosial, keberagaman, dan toleransi.
Misalnya, dalam program “Ketemu di Tengah”, pihaknya mempertemukan siswa siswi yang berasal dari Kota Bogor dan Bandung Raya dengan beragam latar belakangnya. Mereka berusaha saling mengenal, saling ketemu, dan mencari titik temu di ruang tengah. Tujuannya agar mereka memiliki perhatian yang sama terkait keberagaman.
“Apakah ternyata banyak kesamaan ketika kita ngerasa berbeda tapi ternyata kita punya kesamaan yang tidak diduga-duga. Itu ketemu di tengah. Bentuknya konten video,” terang William Umboh.
Ia menuturkan, program Yayasan Hivos ini telah masuk tahun ketiga. Tema yang menjadi ruhnya diambil dari tradisi Sunda, yaitu silih yang berarti “saling”. Dalam falsafah Sunda ada istilah “silih asah, silih asih, silih asuh” yang mengandung nilai kesalingan: saling mencerdaskan, saling mencintai mengasihi, saling mengayomi meski berbeda latar belakang.
William melihat ada sifat kesalingan yang muncul dalam tiga rangkaian lokakarya. Nilai itu muncul mulai sejak proses hingga hasil akhir berupa karya. Para siswa difabel maupun nondifabel belajar sikap rendah hati dan saling mengayomi.
“Bahwa ketersalingan ini harusnya bisa jadi inspirasi buat sekolah-sekolah. Karena sebenarnya jarang banget sekolah-sekolah yang mempertemukan antara individu nondisabilitas sama disabilitas. Atau individu keragaman lokal atau kepercayaan lokal dan kan kebanyakan kalau gak dipertemukan berarti menumbuhkan prasangka kan. Karena mereka gak ngomong langsung,” katanya.
Create Moments sendiri memang menyasar para siswa tingkat SMA dengan harapan agar sekolah dapat memahami bahwa ternyata seni dan budaya memungkinkan untuk menjadi jembatan untuk menyampaikan isu-isu inklusi sosial, kesetaraan gender, dan toleransi.
“Seni budaya bisa menjadi salah satu media yang sangat efektif buat di kalangan siswa. Syukur-syukur gurunya ikut, syukur-syukur orang tuanya ikut. Tapi harapannya orang-orang muda ini bisa jauh lebih peka ketika mereka berinteraksi di ruang-ruang yang kita buka secara inklusif,” harapnya.
Diharapkan, Create Moments bisa menjembatani anak muda untuk mengembangkan kreativitasnya dalam menyuarakan toleransi, pluralism, kesetaran gender, inklusi sosial, isu HAM, dan kemanusiaan. Juga menjadi ruang bagi peserta untuk berkolabirasi dan mewujudkan ide-ide artistik, menjadi ruang aman untuk menyebarluaskan informasi, produk pengetahuan, dan nilai-nilai baik lainnya.