• Berita
  • Mengurangi Konflik Keberagaman di Bandung dengan Dialog dan Mendengarkan

Mengurangi Konflik Keberagaman di Bandung dengan Dialog dan Mendengarkan

Seni dialog dan mendengarkan ini penting dalam mengurangi konflik keberagaman bagi kota-kota di Indonesia dengan penduduk beragam, termasuk Kota Bandung.

Umat Konghucu membersihkan altar sembahyang dan patung-patung dewa di vihara Darma Ramsi, Bandung, 26 Januari 2022. Jelang Imlek 2022, umat di vihara mulai melakukan persiapan dan pembersihan altar-altar sembahyang dan patung-patung dewa. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana11 Agustus 2022


BandungBergerak.idKonflik keberagaman terkait agama, suku bangsa, antargolongan biasanya diperuncing karena masing-masing pihak ingin terus berbicara. Mereka lupa, bahwa potensi konflik bisa dikurangi dengan dialog dan mendengarkan. Seni dialog dan mendengarkan ini penting bagi kota-kota di Indonesia dengan penduduk beragam, termasuk Kota Bandung.

Terdorong dari pentingnya sikap mau mendengarkan, PSPP Nawang Wulan dan Jakatarub yang bekerja sama dengan Bakespangpol Kota Bandung atas dukungan Search for Common Ground Indonesia, menggelar “Dialog Wakening Interfaith Initiative (WIFI): Belajar Mendengar untuk Inisiatif Dialog dan Kerja Sama Antarelemen di Bandung Raya”, Senin, 1 Agustus lalu.

Sebagai kota dengan penduduk yang majemuk, Bandung memiliki potensi konflik terkait keberagaman. Sejarah mencatat, Bandung tidak lepas dari konflik bernuansa agama, kesukuan, antargolongan (SARA).

Menurut Wawan Gunawan selaku pemandu acara dari PSPP Nawang Wulan, WIFI mempunyai visi serupa dengan jaringan WIFI yaitu menghubungkan orang-orang yang berbeda dan terpisah. Melalui WIFI toleransi juga dapat menyebar dan mendorong inisiatif kerja sama antarkomunitas.

Melalui dialog, para peserta dilatih untuk saling mendengar, karena diskusi tidak akan mencapai pemahaman apabila orang-orang di dalamnya tidak belajar mendengarkan.

“Tahapan program ini adalah belajar mendengar. Karena konflik banyak terjadi karena kita sering berbicara dan tidak mau mendengarkan orang lain. Hal ini bertumpu pada teori empati,” ujar Wawan Gunawan, dikutip dari siaran pers, Kamis (11/8/2022).

Susunan acara mulai dari pembukaan, perkenalan, dialog, usulan kolaborasi, refleksi, dan penutupan. Komponen dari peserta mencakup kelompok pemerintah/penyelenggara daerah, organisasi masyarakat sipil (OMS), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), media, komunitas lintas iman, organisasi keagamaan dan penghayat kepercayaan, alumni pelatihan WIFI I, kelompok ragam gender dan seksualitas, akademisi, kelompok disabilitas, kelompok perempuan.

Salah seorang peserta yang berasal dari Perkumpulan Puzzle Indonesia menyatakan pendapatnya tentang mendengarkan, bahwa mendengar merupakan pintu menuju pengertian yang baik. Ditambahkan oleh seorang perwakilan dari Srikandi Pasundan bahwa mendengarkan juga hal yang baik. Berawal dari rasa keingintahuan yang murni, terbentuk prasangka, maka mendengarkan merupakan tindakan mengkaji prasangka kepada pihak orang pertama.

Perwakilan Srikandi Pasundan juga menceritakan pengalaman komunitas transpuan di Bandung Raya yang masih banyak mengalami persekusi hingga pembunuhan. “Ini menjadi PR kita bersama untuk saling melindungi,” tuturnya usai mengutarakan cerita pilu teman-teman transpuan.

Terdapat banyak aspirasi progresif dari antarelemen. Antara lain kasus diskriminasi di tingkat layanan pendidikan bagi anak-anak penghayat kepercayaan, kasus administrasi negara bagi kelompok rentan seperti Masayarakat Baha’i, kasus mengadakan izin kegiatan bagi Jemaat Ahmadiyyah Indonesia (JAI), kasus peningkatan layanan bagi penyandang disabilitas, kasus persekusi dan diskriminasi terhadap kelompok Syiah dalam mengadakan kegiatan, dan kasus hate speech untuk mendiskiriminasi kelompok agama dan kepercayaan seperti Kabuyutan Sunda.

Semua kasus ini didengar langsung oleh Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Bandung, Bambang Sukardi, dari awal hingga akhir acara. Harapannya, isi Dialog WIFI menjadi perhatian dan pekerjaan rumah baru bagi pemerintah Kota Bandung, untuk Bandung yang lebih baik.

Bambang Sukardi mengatakan, Bandung memiliki misi unggul, ramah, sejahtera dan agamis. Untuk mendukung misi tersebut perlu didukung oleh berbagai kalangan (stakeholder) masyarakat.

“Bakesbangpol ingin memfasilitasi apa yang dibutuhkan seluruh elemen yang hadir di acara ini. Keragaman ini sangat bagus untuk kehidupan NKRI dan hal ini sangat positif untuk menjaga Bandung tetap sejahtera dan tetap agamis,” tutur Bambang.

Ujian pada Toleransi Antarumat Beragama di Kota Bandung

Bandung merupakan kota dengan penduduk sekitar 2,5 juta jiwa. Meski paling banyak dihuni suku Sunda, namun kota ini merupakan kota urban yang menjadi tujuan bagi penduduk luar Bandung maupun luar Jawa Barat. Hal ini menjadikan Bandung sebagai kota majemuk yang di sisi lain memiliki potensi konflik terkait keberagaman.

Terlebih Bandung merupakan ibu kota Jawa Barat, provinsi dengan jumlah penduduk terbesar secara nasional dan memiliki kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) tertinggi di Indonesia, berdasarkan laporan tahunan Setara Institute.           

Pada 2021, Setara Institute mencatat Jawa Barat menempati posisi pertama dengan 40 kasus intoleransi atau pelanggaran KBB. Lalu, disusul oleh DKI Jakarta (26 kasus), Jawa Timur (15 kasus), Kalimantan Barat (14 kasus), Sumatera Utara (11 kasus). Jawa Barat juga mencatatkan sebagai provinsi dengan kasus KBB tertingi sejak 14 tahun terakhir (dari 2008).

Kembali ke Kota Bandung, sebuah penelitian yang dilakukan para peneliti dari Unpad, Rina Hermawati, Caroline Paskarina, Nunung Runiawati, memotret potensi konflik antarumat beragama di Bandung. Meski penelitian “Toleransi Antar Umat Beragama” ini dipublikasikan pada 2016, namun isinya masih relevan dengan kondisi Kota Bandung saat ini yang semakin beragam.

Riset ini meneliti sejauh mana sikap toleransi antarumat beragama warga Bandung. Disebutkan bahwa Indeks Toleransi antarumat beragama di Kota Bandung sebesar 3,82 yang artinya tinggi atau baik.  Mayoritas responden memiliki persepsi positif terhadap pernyataan-pernyataan yang diajukan terkait dengan toleransi antarumat beragama, sebagaimana tercermin juga dalam sikap antarumat beragama  yang bersedia menerima secara terbuka keberadaan pemeluk agama yang berbeda dalam ranah pergaulan sosial maupun profesi, meskipun sebatas pada dimensi publik atau formal dari pergaulan sosial.  

Tetapi riset ini menemukan kemungkinan konflik yang dipicu oleh perizinan pembangunan rumah ibadat yang berada dalam ranah kewenangan pemerintah, sehingga hal ini penting untuk dibenahi  dalam rangka meningkatkan capaian Indeks Toleransi di Kota Bandung.

Peneliti juga menggarisbawahi bahwa isu agama masih menjadi faktor kuat untuk memicu sentimen berbasis identitas di kelompok-kelompok masyarakat, sehingga rentan memicu konflik. Pemerintah Kota Bandung justru perlu meningkatkan perannya dalam meminimalkan resiko konflik yang dipicu oleh sentimen keagamaan tersebut.

Mayoritas responden berharap pemerintah berperan lebih banyak dan lebih substantif dalam hal  regulasi kehidupan umat beragama, memenuhi jaminan hak beragama, serta dalam hal penciptaan situasi toleransi yang  kondusif, seperti  melalui penguatan Forum Kerukunan Umat Beragama dan  pendidikan multikultural.

Pemerintah juga diharapkan lebih tegas, konsisten, dan adil terhadap semua pemeluk agama dalam mensosialisasikan peraturan-peraturan yang terkait dengan perizinan pembangunan rumah ibadat dan penerapan peraturan-peraturan tersebut.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//