• HAM
  • Wajib Jilbab di Sekolah Negeri Yogyakarta Bertentangan dengan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Wajib Jilbab di Sekolah Negeri Yogyakarta Bertentangan dengan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Permendikbud 45 Tahun 2014 dan SKB Tiga Menteri mengatur bahwa tidak boleh ada pemaksaan menggunakan seragam sekolah di sekolah negeri sesuai agama tertentu.

Siswi SMA berkumpul sambil makan-makan di Taman Lansia, Bandung, sepulang sekolah, 31 Mei 2022. Setiap murid sekolah diberikan kebebasan memakai seragam sekolah sesuai denga agama dan keyakinan, tanpa ada pemaksaan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana6 Agustus 2022


BandungBergerak.id - Pemaksaan pihak sekolah kepada muridnya untuk mengenakan seragam sesuai agama tertentu, kembali terjadi. Peristiwa yang bertentangan dengan semboyan kebhinekaan Indonesia ini terjadi di SMAN 1 Banguntatap, Bantul, Yogyakarta, Selasa, 26 Juli 2022, di mana seorang anak muridnya diduga dipaksa dan dirundung oleh gurunya untuk mengenakan jilbab.

Padahal, seragam sekolah telah diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Inti dari SKB berbunyi: orangtua dan peserta didik diberi kebebasan untuk memakai seragam tertentu sesuai agamanya berdasarkan aturan yang berlaku. Ditegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah mencapai budi pekerti yang luhur. Sudah menjadi kewajiban sekolah untuk menanamkan nilai ketakwaan sesuai agama yang dianut peserta didik. Namun, tidak boleh memaksakan seragam kepada para peserta didik.

SKB dibuat sebagai respons terhadap adanya kasus sekolah yang memaksakan muridnya untuk mengenakan seragam sesuai agama tertentu, pada 2021. Tampaknya kasus ini kembali terulang tahun ini, menimpa putri dari orangtua berinisial HA, warga Yogyakarta.

Kasus pemaksaan jilbab yang diduga disertai perundungan dan intimidasi oleh guru ini, mendapat liputan luas di media massa. Menyikapi hal ini, HA sebagai ibu dari anak yang dipaksa mengenakan jilbab, menulis surat terbuka sebagai berikut:

Perundungan, Intimidasi Wajib Jilbab SMAN 1 Banguntatap, Bantul

Nama saya [HA], seorang ibu, perempuan Jawa, tinggal di Yogyakarta, yang sedang sedih dengan trauma, yang kini dihadapi putri saya, dampak dari memperjuangkan hak dan prinsipnya.

Putri saya adalah anak yang jadi perhatian media di sekolah di SMAN1 Banguntatapan, Bantul. Bagi kami orang tuanya, dia bukan anak yang lemah atau bermasalah. Dia terbiasa dengan tekanan. Saya dan ayahnya bercerai namun kami tetap bersama mengasuh anak kami. Dia atlit sepatu roda. Dia diterima di SMAN1 Banguntapan 1 sesuai prosedur.

Pada Selasa, 26 Juli 2022, anak saya menelepon, tanpa suara, hanya terdengar tangisan. Setelahnya baru terbaca WhatsApp, "Mama ak mau pulang, ak ga mau dsni."

Ibu mana yang tidak sedih baca pesan begitu? Ayahnya memberitahu, dari informasi guru, bahwa anak kami sudah satu jam lebih berada di kamar mandi sekolah.

Saya segera jemput anak saya di sekolah. Saya menemukan anak saya di Unit Kesehatan Sekolah dalam kondisi lemas. Dia hanya memeluk saya, tanpa berkata satu patah kata pun. Hanya air mata yang mewakili perasaannya.

Awal sekolah dia pernah bercerita bahwa di sekolahnya “diwajibkan” pakai jilbab, baju lengan panjang, rok panjang. Putri saya memberikan penjelasan kepada sekolah, termasuk walikelas dan guru Bimbingan Penyuluhan, bahwa dia tidak bersedia. Dia terus-menerus dipertanyakan, "Kenapa tidak mau pake jilbab?"

Dalam ruang Bimbingan Penyuluhan, seorang guru menaruh sepotong jilbab di kepala anak saya. Ini bukan “tutorial jilbab” karena anak saya tak pernah minta diberi tutorial. Ini adalah pemaksaan.

Saya seorang perempuan, yang kebetulan memakai jilbab, tapi saya menghargai keputusan dan prinsip anak saya. Saya berpendapat setiap perempuan berhak menentukan model pakaiannya sendiri.

Kini anak saya trauma, harus mendapat bantuan psikolog. Saya ingin sekolah SMAN1 Bangun tatap, pemerintah Yogyakarta, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bertanggung jawab. Kembalikan anak saya seperti sediakala.

Beberapa guru menuduh putri saya punya masalah keluarga. Ini bukan masalah keluarga. Banyak orang punya tantangan masing-masing. Guru-guru yang merundung, mengancam anak saya, saya ingin bertanya, “Punya masalah apa Anda di keluarga sampai anak saya jadi sasaran? Bersediakah bila kalian saya tanya balik seperti ini?

Baca Juga: Jawa Barat Terus Bergelut dengan Masalah Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Koalisi Masyarakat Penutur Bahasa Sunda: Pernyataan Arteria Dahlan Mencederai Kebebasan Berekspresi
Mengikis Stigma dengan Meningkatkan Kapasitas Para Perempuan Penghayat

Pemaksaan Jilbab yang Berulang

Seperti telah disinggung di awal, kasus yang dialami putri HA bukan kali ini saja terjadi. Pada tahun 2021, Kemendikbud bersama menteri lainnya merilis SKB yang menyikapi kasus serupa. Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Paudasmen), Kemendikbud, Jumeri, SKB ini memberikan kebebasan kepada orangtua dan murid terkait penggunaan seragam, dengan syarat sesuai aturan.

Kepala Biro Hukum, Kemendikbud, Dian Wahyuni, menyampaikan bahwa dengan adanya SKB Tiga Menteri, Kemendikbud ingin mengingatkan kembali bahwa pakaian seragam telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

“Dalam permendikbud tersebut telah diatur model seragam. Adapun SKB ini memperkuat aturan yang sudah ada dan mensosialisasikan kembali peraturan tersebut,” terang Dian. 

Terkait dengan peserta didik yang bersekolah di madrasah maupun pesantren, Jumeri mengatakan bahwa SKB ini hanya mengatur peserta didik di sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang memang harus menampung peserta didik dari berbagai latar belakang termasuk berbagai agama. Untuk sekolah-sekolah di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) tidak diatur dalam SKB ini.

SKB Tiga Menteri lanjut Jumeri, justru melindungi hak dan kebebasan beragama sesuai dengan peraturan yang berlaku. Termasuk di dalamnya menyangkut pemakaian atribut keagamaan menurut keyakinan masing-masing peserta didik, seperti memakai jilbab untuk siswa muslim dan memakai kalung salib untuk umat kristiani di sekolah sebagai penanda agamanya.

“Sekali lagi ini jangan sampai ada informasi yang salah, SKB ini tidak boleh mewajibkan dan tidak boleh melarang, melainkan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi peserta didik beraktivitas sesuai agama yang dianut,” tegas Jumeri.

SKB juga bermaksud menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjalankan pasal Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

Perwujudan pasal 31 adalah melalui kurikulum pendidikan agama di sekolah, di mana pemerintah sudah menyusun kurikulum pendidikan agama di sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan siswa.

”Satuan pendidikan memiliki komitmen untuk menyediakan guru mata pelajaran agama yang sesuai dengan agama siswa,” terang Dian. 

Dalam rangka memastikan implementasi SKB maka perturan-peraturan yang bertentangan dengan itu harus dicabut. Oleh sebab itu, Kemendikbud, kata Dian, telah melakukan koordinasi erat dengan Kemenag dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait pelaksanaan SKB ini.

“Kami juga telah membuka hotline pengaduan dari masyarakat jadi mohon bantuan untuk mengawal bersama. Agar masyarakat bisa ikut mengawal, maka kami akan selalu menyosialisasikannya ke pemda. Semoga dengan sosialisasi yang terus menerus maka masyarakat bisa ikut mengawal pelaksanaannya,” jelas Dian.

Menanggapi adanya pemaksaan seragam khas agama tertentu, Kemendikbud juga menegaskan bahwa hal itu tidak diperbolehkan karena sifatnya pemaksaan.

“(Guru) memaksakan tidak boleh tapi membangun kesadaran melalui peningkatan literasi dan numerasi supaya anak-anak mudah memahami dan mempraktikkan ajaran agamanya masing-masing dengan baik, itu guru yang hebat. Nanti hasilnya akan lebih baik, dibanding kita memaksakan,” jelas Jumeri.

Sementara tugas orangtua adalah mendidik agama kepada anak-anaknya. Guru pun disarankan untuk selalu membuka komunikasi dengan orangtua jika ingin memakaikan pakaian khas sesuai agama muridnya. 

“SKB ini bukan untuk melarang anak-anak berpakaian sesuai ajaran agamanya, justru memberi kebebasan kepada anak-anak kita yang ada di sekolah negeri untuk bebas mengekspresikan keyakinannya,” demikian disimpulkan Jumeri.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//