• Indonesia
  • Anak-anak Indonesia Rentan Menjadi Korban Kekerasan dan Eksploitasi Seksual di Ranah Daring, Perlu Dilakukan Intervensi Menyeluruh

Anak-anak Indonesia Rentan Menjadi Korban Kekerasan dan Eksploitasi Seksual di Ranah Daring, Perlu Dilakukan Intervensi Menyeluruh

UNICEF Indonesia menyebut 95 persen anak-anak usia 12 hingga 17 tahun di Indonesia mengakses internet minimal dua kali sehari. Internet ruang yang rawan bagi anak.

Ilustrasi. Generasi digital tidak bisa lepas dari gadget atau gawai. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano/BandungBergerak)

Penulis Linda Lestari24 Juli 2024


BandungBergerak.id - Hari Anak Nasional (HAN) yang diperingati setiap 23 Juli menjadi momentum penting bagi seluruh pihak untuk merefleksikan upaya yang telah dilakukan terhadap pemenuhan hak-hak anak. Dua di antara subtema dari HAN tahun ini adalah anak cerdas, berinternet sehat, dan suara anak membangun bangsa. Sejalan dengan itu, Save The Children Indonesia membentuk Digital Youth Council (DYC) untuk meningkatkan perlindungan anak di dunia digital.

Save The Children Indonesia menyebut dunia digital menawarkan banyak peluang bagi anak-anak untuk belajar, bermain, dan berinteraksi dengan teman dan keluarga hanya dengan sentuhan jari. Namun, tanpa pengawasan, perlindungan, dan kesadaran yang memadai, dunia digital menyimpan risiko serius seperti perundungan, kekerasan seksual, grooming, dan lainnya.

"Anak-anak adalah pelaku utama dalam dunia digital. Namun, mereka pada umumnya tidak memiliki literasi yang memadai, sehingga menjadi sasaran kejahatan di dunia digital,” kata Dessy Kurwiany Ukar, CEO Save the Children Indonesia dalam siaran persnya.

Meningkatkan kesadaran dan perlindungan anak-anak di dunia digital adalah langkah penting untuk memastikan bahwa teknologi informasi dapat digunakan dengan aman dan positif. Menurut Dessy, Digital Youth Council adalah suatu terobosan karena sebagai pelaku utama, suara  anak-anak layak didengar, terutama tentang dukungan apa yang dibutuhkan untuk melindungi generasi saat ini dan mendatang.

“DYC juga dapat berkontribusi mengisi kekosongan regulasi maupun penyadaran dan pengawasan di ranah daring yang berperspektif kepentingan terbaik anak,” kata Dessy.

Save The Children mencatat, terdapat peningkatan persentase populasi yang memiliki akses ke internet selama 7 tahun terakhir, dari 64,8 persen pada 2018 dan meningkat menjadi 79,5 persen pada tahun 2024.

Sementara, 48,1 persen anak-anak usia kurang dari 12 tahun sudah memiliki akses ke internet. UNICEF Indonesia menyebut 95 persen anak-anak usia 12 hingga 17 tahun di Indonesia mengakses internet minimal dua kali sehari. Sebanyak 500.000 anak di Indonesia menyatakan pernah mengalami eksploitasi seksual dan perlakuan yang salah di dunia maya dalam setahun terakhir. Lebih dari setengah angka tersebut mengaku tidak pernah menceritakan kepada siapa pun terkait kejadian yang dialaminya.

Data UNICEF menyebut 22 persen anak-anak menemukan konten seksual tidak terduga secara daring melalui iklan, umpan media sosial, mesin pencari, dan aplikasi perpesanan, dan 9 persen menyatakan aktif mencari materi seperti itu. Sebanyak 29 persen anak Indonesia pernah mengirim informasi pribadi ke seseorang yang belum pernah mereka temui secara langsung. Kekerasan dan eksploitasi seksual pada anak di ranah daring juga menyasar anak-anak difabel.

UNICEF Indonesia menyatakan, kekerasan dan eksploitasi seksual pada anak di ranah daring mengacu pada situasi yang melibatkan teknologi, internet, dan komunikasi digital di beberapa titik selama rangkaian pelecehan atau eksploitasi. Kekerasan ini dapat terjadi sepenuhnya secara daring atau melalui campuran interaksi daring dan tatap muka antara pelaku dan anak.

Bentuk-bentuk kekerasan dan eksploitasi seksual pada anak di ranah daring di antaranya produksi, kepemilikan atau berbagi materi pelecehan seksual anak, siaran langsung pelecehan seksual anak, grooming online anak untuk tujuan seksual, dan pemerasan seksual kepada anak-anak.

Childfund Indonesia menyebut perlindungan anak dari berbagai risiko kekerasan berbasis daring memerlukan intervensi yang menyeluruh, mulai dari penguatan resiliensi anak itu sendiri, pengawasan keluarga, dan lingkungan sekitar anak, sampai pada pengaturan informasi layak anak dari pengampu kepentingan. Upaya tersebut juga harus melibatkan multisektor yang terdiri dari instansi pemerintah terkait, lembaga nonpemerintah, dunia usaha, serta media. 

“Dalam hal ini, data menjadi kunci penting baik sebagai dasar penyusunan program maupun sebagai alat advokasi kepada para pihak terkait dalam meningkatkan kesadaran tentang bahayanya kekerasan anak berbasis online,” tulis Childfun Indonesia dalam E-Book Summary Childfund Insight of Cyberbullying.

Childfund Indonesia menyebut beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kekerasan dan eksploitasi seksual pada anak di ranah daring, antara lain akselerasi digital dan penggunaan internet yang tidak tepat, kurangnya pengawasan dan hubungan yang tidak lekat dengan orang tua, serta kompetensi digital yang terbatas antara anak dan orang tua. 

Baca Juga: Mendengarkan Suara Anak-anak Terkait Pembangunan Kota Bandung
Menjaga Anak-anak di Bandung agar tak Rentan Terserang Diabetes
Ibu-ibu dan Anak-anak Dago Elos Turut Mengawal Laporan Dugaan Pemalsuan Dokumen ke Polda Jabar

Peran Pemangku Kepentingan dan Orang Tua

Childfund memberikan beberapa rekomendasi kebijakan bagi pemerintah untuk menanggulangi kasus kekerasan dan eksploitasi seksual pada anak di ranah daring. Di antaranya Meningkatkan kapasitas penegakan hukum dengan melakukan pelatihan untuk penegakan hukum tentang hukum terkait perundungan daring dan perspektif gender, pelatihan harus berorientasi pada korban, memberikan pedoman standar yang dapat membantu semua penegak hukum dalam menangani perundungan daring serta meningkatkan materi edukasi atau sosialisasi tentang perundungan daring. 

Menurut Childfund, pemerintah juga perlu melakukan revisi Peraturan Menteri tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik. Studi yang dilakukan Childfund menunjukkan bahwa hak anak atas pendidikan mungkin terancam akibat respons sekolah terhadap kasus perundungan daring. Oleh karena itu, Childfund merekomendasikan kepada pemerintah untuk memberikan pedoman standar yang dapat digunakan sekolah untuk merespons kasus perundungan daring. Pedoman ini harus menjamin hak anak atas pendidikan dan mencakup langkah-langkah bagaimana sekolah dapat menjadi tempat yang aman bagi korban perundungan daring. 

Childfund juga menekankan bahwa orang tua dan pengasuh memainkan peran penting dalam mencegah dan melindungi anak-anak dari perundungan daring. Pengawasan orang tua lebih lanjut juga merupakan salah satu faktor kunci yang berkontribusi terhadap perundungan daring. 

Studi Childfund menunjukkan bahwa orang tua belum memiliki kompetensi digital yang memadai untuk mengajar anak mereka lebih lanjut. Beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua meliputi meningkatkan pengawasan orang tua terhadap penggunaan internet oleh anak, meningkatkan kompetensi orang tua dan pengetahuan digital khususnya pada konsep, serta persetujuan (consent) dan privasi.

Pihak sekolah tak kalah penting dalam perannya mencegah terjadinya kekerasan dan eksploitasi seksual pada anak di ranah daring. Childfund menyebut sekolah belum bisa menjadi ruang aman bagi para korban perundungan daring.

“Saat ini, sekolah belum menjadi ruang aman bagi korban perundungan online karena dua alasan. Pertama, respon sekolah terhadap perundungan online cenderung membuat korban kembali menjadi korban. Kedua, korban perundungan online tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari pemangku kepentingan sekolah, termasuk teman sebayanya,” tulis Childfund.

Dalam menanggapi situasi tersebut, Childfund memberikan beberapa rekomendasi seperti meningkatkan pemahaman terhadap stakeholder di sekolah tentang perundungan daring dan bagaimana bersikap kepada korban perundungan daring.

“Sekolah juga harus memiliki prosedur yang berpihak pada korban (dan anak) untuk merespon kasus-kasus perundungan online,” kata Childfund

Sekolah juga berperan dalam meningkatkan kecerdasan sosial dan emosional anak melalui kegiatan kelas dan ekstrakurikuler. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan rasa percaya diri, empati, dan pengetahuan anak dalam perundungan daring. Selain itu, ini juga dapat memberikan pemahaman kepada anak tentang perlindungan diri terhadap perundungan daring. Penting juga bagi anak-anak untuk mengatur kegiatan mereka yang bertujuan untuk mendidik kaum muda dan teman sebayanya tentang perundungan daring.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Linda Lestari, atau artikel-artikel lain tentang Anak-anak

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//