• Berita
  • Mendengarkan Suara Anak-anak Terkait Pembangunan Kota Bandung

Mendengarkan Suara Anak-anak Terkait Pembangunan Kota Bandung

Anak-anak lebih dari potret masa depan. Melalui pentas seni angklung, mereka memberikan masukan kepada Pemkot Bandung. Mereka berhak berpendapat.

Anak-anak memainkan alat musik angklung dalam pergelaran Anak Panca Sora, di Saung Angklung Udjo, Bandung, Minggu, 3 Maret 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Penulis Fitri Amanda 4 Maret 2024


BandungBergerak.id - Anak-anak bukan sekadar potret masa depan, melainkan pilar esensial bagi masyarakat yang inklusif. Dalam hiruk-pikuk pembangunan, suara anak kerap kali diabaikan dan dianggap tidak penting. Padahal suara anak sama pentingnya. Mereka bahkan punya hak untuk terlibat dalam membuat kebijakan yang disusun pemerintah.

Cara anak-anak menyuarakan pendapatnya tentu berbeda dengan orang dewasa. Anak-anak bisa bersuara melalui seni budaya, seperti yang digagas Save the Children Indonesia, melalui program Genpeace yang bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung, dan Saung Angklung Udjo.

Kolaborasi tersebut berusaha membangun fondasi baru dengan mewujudkan hak suara anak melalui seni budaya. Program ini diwujudkan dengan melaksanakan Pagelaran Anak Panca Sora di Saung Angklung Udjo, Bandung, Minggu, 3 Maret 2024.

Bersama Mobile Arts for Peace (MAP) - Lincoln University dan King College London, Save the Children Indonesia membimbing tiga puluh anak selama tujuh bulan untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi anak-anak di Kota Bandung. Anak-anak tersebut merupakan gabungan dari Forum Anak Kota Bandung dan delapan kelompok anak lainnya. Gagasan yang muncul dari anak-anak ini kemudian disuarakan melalui Musrenbang Kota Bandung melalui penampilan seni.

“Dan terutama anak-anak ini bukan untuk jadi penampil profesional. Yang penting ada proses yang dibangun sehingga kesadaran untuk melihat bahwa anak itu punya hak, bisa diajak bicara, bisa diskusi. Kita tunjukkan hari ini,” ucap Tata Sudrajat, Interim Chief of Advocacy, Campaign, Communication and Media dari Save the Children, kepada jurnalis.

Tata Sudrajat berharap, melalui pergelaran ini pandangan masyarakat terhadap anak dapat mengalami perubahan positif. Alih-alih mendorong anak-anak untuk mencapai apa yang diinginkan oleh orang dewasa, ia berharap orang dewasa mulai melakukan pendekatan yang lebih dialogis kepada anak.

Pergelaran ini menjadi bukti bahwa anak-anak mampu berdiskusi mengenai berbagai isu dan bahkan merancang dan menampilkan ide-ide. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak memiliki kemampuan untuk diajak bicara, dan ini menjadi dasar untuk memahami perspektif mereka secara lebih mendalam.

“Daripada misalnya kita mendorong-dorong anak untuk melakukan apa yang kita mau, mendingan ngobrol deh sama anak-anak. Ini kan sudah ada buktinya ya, mereka juga bisa mendiskusikan berbagai isu, terus merancangnya, bahkan menampilkannya dalam seni. Artinya sebenarnya anak-anak memang bisa diajak bicara,” jelas Tata, seraya berharap masyarakat dapat lebih memahami kebutuhan, harapan, dan aspirasi anak-anak.

Seni Menjadi Jembatan Efektif

Dalam sebuah inisiatif kreatif yang melibatkan anak-anak, muncul konsep Panca Sora yang menggambarkan lima klaster hak anak melalui seni budaya. Ide ini berasal dari kreativitas anak-anak yang menyuarakan isu dan harapan terkait dengan klaster tersebut.

Tata Sudrajat, menyatakan alasan penggunaan seni sebagai medium adalah bahwa seni, terutama angklung, menjadi sarana yang dapat diterima oleh masyarakat. Seni ini bukan hanya sebagai ekspresi kreatif, tetapi juga sebagai alat yang dapat menghubungkan pesan anak-anak dengan penerimaannya oleh masyarakat.

Dengan adanya dukungan penuh dari Pemkot Bandung menjadi percontohan bagaimana seni budaya dapat menjadi elemen utama dalam perencanaan pembangunan yang melibatkan anak-anak.

“Dengan cara yang berbeda itu kita berharap bisa lebih diterima. Dan seni apalagi angklung ya bagi kota Bandung ini kan Kota Bandung kota angklung, siapa yang nolak angklung gitu kan? Jadi agar itu bisa diterima,” jelas Tata.

Pada tahun 2022, Kota Bandung secara resmi menyatakan dirinya sebagai "Kota Angklung," menjadikannya sebagai landasan pemilihan sebagai pionir dalam mengintegrasikan seni budaya dalam proses perencanaan pembangunan yang melibatkan anak-anak. Kolaborasi positif antara Save the Children Indonesia dan Pemkot Bandung memiliki potensi untuk diterapkan secara berkesinambungan dan diadopsi oleh pemerintah daerah lainnya.

Pertunjukan kabaret oleh Forum Anak yang menceritakan perundungan, perkawinan usia anak, dan kekerasan terhadap anak, di Saung Angklung Udjo, Bandung, Minggu, 3 Maret 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)
Pertunjukan kabaret oleh Forum Anak yang menceritakan perundungan, perkawinan usia anak, dan kekerasan terhadap anak, di Saung Angklung Udjo, Bandung, Minggu, 3 Maret 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Mengajarkan Mitigasi Bencana Tsunami pada Anak-anak SD Pangandaran
Di bawah Lindungan Masjid Al Islam Tamansari
Pentas Pantomim Anak-anak di Kebun Ummasa bersama Wanggi Hoed

Hak Anak dan Partisipasi Anak

Dalam upaya mewujudkan pembangunan kota layak anak, terdapat lima klaster hak anak. Klaster pertama mencakup Hak Sipil Kebebasan, termasuk registrasi anak, ketersediaan informasi yang layak untuk anak, dan pelembagaan partisipasi anak. Klaster kedua menyoroti Hak Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, mencakup PAUD-HI, pencegahan perkawinan anak, dukungan konsultasi keluarga, standarisasi lembaga pengasuhan alternatif, dan infrastruktur ramah anak.

Selanjutnya, klaster ketiga membahas Hak Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan, dengan fokus pada fasilitas kesehatan (Faskes) dengan persalinan dan pelayanan ramah anak, PMBA, status gizi balita, lingkungan sehat, serta larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok.

Klaster keempat menyoroti Hak Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan Kegiatan Budaya, mencakup wajar 12 tahun, Sekolah Ramah Anak (SRA), serta fasilitas untuk kegiatan budaya, kreativitas, dan rekreasi. Terakhir, klaster kelima membahas Perlindungan Khusus, dengan fokus pada pencegahan dan pelayanan bagi anak korban kekerasan eksploitasi, serta kelompok disabilitas dan minoritas lainnya.

Melibatkan tiga puluh anak dan melalui selama tujuh bulan proses, anak-anak di Kota Bandung melalui program ini berhasil menggali berbagai permasalahan yang dihadapi mereka saat ini. Mengacu pada konsep Panca Sora, lima permasalahan yang ditemukan di antaranya adalah beredarnya informasi tidak layak seperti perundungan, kekerasan seksual, konten dewasa, dan pornografi.

Angka perkawinan usia anak yang masih tinggi juga menjadi perhatian, bersama dengan risiko anak menjadi korban penyalahgunaan NAPZA yang dapat meningkatkan kemungkinan kekerasan terhadap mereka. Sistem pembelajaran yang belum ramah anak juga berpotensi menimbulkan risiko perundungan di sekolah, dan masih ada anak-anak yang belum mengetahui adanya lembaga penyedia layanan perlindungan anak (UPTD PPA).

Permasalah tersebut juga diungkapkan oleh Ilham (nama anak disamarkan) yang juga tergabung di Forum Anak. Ilham mengaku saat ini masih banyak informasi-informasi yang tersebar masih belum layak anak kemudian ia juga membahas perkawinan anak yang saat ini masih marak terjadi.

Ilham berharap dengan dilaksanakannya pergelaran Panca Sora ini mendapatkan respons dari pemerintah untuk menindaklanjuti hal tersebut. “Aku berharap semoga kota Bandung ini bisa layak anak dan juga ramah anak,” ucap Ilham.

Partisipasi anak memiliki peran sentral dalam memastikan keberhasilan pembangunan kota atau kabupaten yang bersifat layak anak. Sebagaimana disampaikan oleh Tata, suara anak bukan hanya menjadi tumpuan, tetapi juga dasar bagi upaya sebuah kota untuk memenuhi hak-hak anak.

Forum Anak, yang memiliki peran penting dalam partisipasi anak, secara resmi diakui dalam regulasi pemerintah. Dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) No. 18 Tahun 2019 tentang penyelenggaraan Forum Anak, peran anak dalam perencanaan pembangunan dijelaskan. Aturan tersebut kemudian diubah dengan Peraturan Menteri PPPA No. 1 Tahun 2022.

Semua ini juga sejalan dengan Konvensi Hak Anak Pasal 12 yang menyatakan bahwa setiap anak memiliki hak untuk mengemukakan pendapat mereka dan didengar serta dipertimbangkan pendapatnya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan anak.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Fitri Amanda, atau artikel-artikel lain Hak-hak Anak

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//