• Berita
  • Kekerasan Seksual Kembali Terjadi di Bandung, Keseriusan Penanganan dan Pencegahan Perlu Dipertajam

Kekerasan Seksual Kembali Terjadi di Bandung, Keseriusan Penanganan dan Pencegahan Perlu Dipertajam

Kekerasan seksual kembali terjadi di Bandung dengan korban anak-anak. Payung hukum belum terimplementasikan dengan baik.

Ilustrasi kekerasan seksual. (Desain: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Nabila Eva Hilfani 11 Oktober 2024


BandungBergerak.id - Bandung lagi-lagi dihadapkan dengan kasus kekerasan seksual. Ada dua kejadian yang terekam media massa  sepanjang Oktober ini, yakni satu kasus terjadi di Kota Bandung dan satu kasus lagi di Kabupaten Bandung Barat. Satu kasus pun sudah terlalu banyak untuk kekerasan seksual. Tidak boleh dianggap sepele. 

Tanggal 6 Oktober 2024, siaran pers Pemerintah Kota Bandung mengabarkan seorang pria melakukan tindak kekerasan seksual di ranah publik pada anak berusia 12 tahun. Pelaku sudah ditangkap dan korban tengah menjalani pemeriksaan psikologis. 

Kasus tersebut memperpanjang daftar kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kota Bandung. Pada tahun 2023, tercatat sebanyak 112 kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Sementara itu, awal Oktober 2024 di Kabupaten Bandung Barat seorang anak berusia 11 tahun menjadi korban kekerasan seksual oleh dua orang lansia. Pelaku adalah orang terdekat korban.

Dua kejadian tersebut menegaskan Bandung belum aman dari kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual tidak dapat dipandang sebagai masalah yang sepele sekalipun kasus tersebut terjadi dalam jumlah yang sedikit. Terlebih jika dilihat bahwa kekerasan seksual adalah fenomena gunung es.

“Satu kasus itu akan selalu terlalu banyak, karena itu mencirikan fenomena gunung es itu lho. Bahwa sebetulnya pasti ada akar budayanya gitu. Ketika ada satu kasus yang naik ya itu dampak dari si akar budaya yang gak adil gender itu tadi atau masyarakat yang menormalisasi kekerasan itu (kekerasan seksual),” kata Sheila, pegiat gender dari Great UPI, kepada BandingBergerak.id, 9 Oktober 2024.

Bukan hanya seperti gunung es, kekerasan seksual juga berdampak luas dan jangka panjang. Fachria Octaviani dan Nunung Nurwati menjelaskan, kekerasan seksual, khususnya terhadap anak, akan berdampak pada fisik, psikologis, dan sosialnya (Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial “Humanitas” Fisip Unpas, 2021).

“Kekerasan seksual yang dilakukan pada anak akan menimbulkan dampak traumatis sepanjang hidupnya. Ketika mereka mengalami kekerasan seksual tersebut mereka masih belum mengerti kondisi yang terjadi dan mereka tidak menyadari bahwa mereka korban dari fenomena tersebut,” tulis Fachria Octaviani dan Nunung Nurwati diakses dari jurnal Fisip Unpas, 2021, Selasa, 8 Oktober 2024.

Kekerasan seksual terhadap anak bahkan dapat merusak jalan pertumbuhan otak. Sementara dari sisi psikologisnya, kekerasan seksual dapat menyebabkan depresi, fobia, atau bahkan kesulitan untuk percaya kepada orang lain dalam waktu yang lama. Pengucilan korban dari lingkungan sosial pun dapat saja terjadi di tengah masyarakat yang masih saja memberikan label negatif kepada korban kasus kekerasan seksual.

Bukan hanya korban. Orang-orang di sekitarnya pun mengalami dampak dari apa yang telah dialami korban kekerasan seksual. Sheila menerangkan, orang-orang di sekitar korban yang ikut larut dalam cerita korban itu dapat merasakan dampaknya yang disebut second hand trauma.

Beban trauma yang dialami orang sekitar korban pun dapat sebanding dengan trauma yang dialami korban. Terutama bagi orang-orang yang merasa bertanggung jawab atas kehidupan korban seperti orang tua, saudara, bahkan sahabat. Mereka rentan mengalami rasa bersalah yang besar hingga self blaming atau menyalahkan diri sendiri. 

Panjangnya lagi, self blaming pun memiliki dampak yang tidak sederhana. Itu mempengaruhi cara bersikap dan produktivitas. Menurut laman Ernaldi Bahar Hospital, self blaming bahkan dapat mengarah pada perilaku menyakiti diri sendiri. 

Sheila juga menyebutkan bahwa kekerasan seksual dapat menimbulkan trauma kolektif. Kasus kekerasan seksual yang terus terjadi akan berdampak pada kelompok yang lebih besar. Selaras dengan yang dijelaskan oleh Medica Mondiale dalam websitenya bahwa, pengalaman traumatis memiliki konsekuensi yang luas, dapat berdampak pada seluruh masyarakat.

Baca Juga: Pendidikan Seks Terganjal Tabu, Berpengaruh terhadap Kesehatan Reproduksi
Data Kekerasan terhadap Perempuan di Kota Bandung 2020, Kekerasan Seksual Paling Banyak Dilaporkan
Kekerasan Seksual Menimpa 12 Santriwati Anak di Bandung, Saatnya Lebih Serius Menangani Masalah Kekerasan terhadap Anak

Upaya Pencegahan dan Penanganan KS Perlu Pemantauan dan Evaluasi Keberlanjutan

Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah disahkan. Usia keberadaan regulasi ini masih muda dan memang memerlukan kerja keras dalam hal pengimlementasiannya. Diketahui dari Siaran Pers Pemerintah Kota Bandung pada 6 Oktober 2024, Pemkot Bandung telah melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, tenaga pendidik, dan peserta didik sebagai upaya pencegahan kekerasan seksual.

Upaya Pemkot Bandung tersebut bahkan disebutkan telah berjalan di 10 kelurahan dan 30 SMP Negeri di Kota Bandung. Dalam upaya penanganan, Pemkot Bandung kembali memperkuat Satgas TPPK di sekolah serta penguatan Pusat Pelayanan Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan (Puspel PP) dan Perlindungan anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di kelurahan. 

Namun, upaya yang telah dilakukan Pemkot Bandung masih perlu dan terus dilakukan pemantauan dan evaluasi dalam penyelenggaraannya. Sheila melihat upaya pemerintah dalam pencegahan dan pemberian edukasi terkait kekerasan seksual masih belum menyentuh seluruh elemen masyarakat. Upaya yang telah dilakukan pun masih belum berkelanjutan, soal pemantauan dan evaluasi pascasosialisasi. 

Begitupun di dunia pendidikan. Sheila yang juga berprofesi sebagai tenaga pendidik menyaksikan adanya ketimpangan antara peraturan yang telah berlaku dengan kesiapan sumber daya manusianya. Pemerintah perlu mengupayakan bagaimana isu kekerasan seksual ini dianggap serius oleh perangkat pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. 

“Secara peraturan itu bagus (Permendikbud Ristek No. 46 Tahun 2023) menurutku ya, tapi kan lapangannya gak siap. Guru dengan beban-beban kerja lain. Meski udah disediain perangkat pembelajarannya sama pemerintah. Tapi kemudian, hal itu tuh gak dijadiin perhatian lebih sama guru-guru. Jadi kayana pemerintah tuh harus coba nge-address itu,” ucap Sheila.

Penting untuk dilakukan, terlebih melihat peran tenaga pendidik menjadi tombak upaya pencegahan dan penanganan di satuan pendidikan. Oktaviasari menjelaskan bahwa tenaga pendidik menjadi garda terdepan dalam melindungi dan memberikan edukasi kepada peserta didik soal kekerasan seksual (Penas: Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 2024). 

Peran aparat penegak hukum tidak dapat dilewatkan. Keseriusan dalam pendalaman pemahaman soal penanganan kasus kekerasan seksual mesti dilakukan. Herman dan Yuningsih menemukan bahwa, masih kurangnya penyidik yang terlatih menangani kasus kekerasan seksual di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di kepolisian (Peksos: Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial, 2023).

Di lapangan, Sheila bercerita bahwa teman-temannya yang melakukan pendampingan hingga tahap pelaporan, masih banyak dihadapkan dengan aparat penegak hukum yang menangani kasus tanpa berperspektif korban.  Permintaan untuk menceritakan peristiwa secara kronologis secara berulang kepada korban atau bahkan menyalahkan korban atas apa yang dialaminya,  dapat memperburuk kondisi psikologis korban.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Nabila Eva Hilfani, atau tulisan-tulisan menarik lain Kekerasan Seksual

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//