• Berita
  • Pendidikan Seks Terganjal Tabu, Berpengaruh terhadap Kesehatan Reproduksi

Pendidikan Seks Terganjal Tabu, Berpengaruh terhadap Kesehatan Reproduksi

Pengetahuan kesehatan reproduksi erat kaitannya dengan kesetaraan perempuan dan laki-laki. Edukasi ini masih dianggap tabu.

Ilustrasi. Sekolah memegang peranan penting dalam melakukan pendidikan seksual dan keragaman gender. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Nabila Eva Hilfani 8 Oktober 2024


BandungBergerak.id - Kesehatan reproduksi acap kali terkesampingkan karena terlanjur lama ditabukan. Obrolan terkait seksual tidak longgar untuk diucap, sekalipun dilakukan orang tua kepada anaknya untuk kepentingan edukasi.

“Kita kan gak pernah bisa, kita selalu berkata alat kelamin itu dengan istilah-istilah lain. Kita gak bisa bebas bilang ‘gimana kabar penis kamu? gimana vagina kamu?’ Ya itu agak tabu. Apalagi misalnya kalau seorang bapak bertanya kepada anak perempuannya ‘gimana sudah menstruasi belum?’ atau orang tua bertanya ‘sudah mimpi basah belum?’” ujar salah satu peserta diskusi Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) di sesi diskusi, di Bandung, 5 Oktober 2024.

Konstruksi sosial yang menabukan alat reproduksi mempersempit pengetahuan yang seharusnya telah diterima sejak dini. Ketabuan itu bahkan juga berdampak pada proses belajar di lembaga pendidikan sekalipun.

Seperti yang dikatakan moderator diskusi Sekodi, Sidik yang turut memberikan tanggapan dalam sesi diskusi. Meski ia tidak yakin kondisi hari ini, tetapi pengetahuan soal alat reproduksi itu terbatas pembahasannya dalam buku pelajaran biologi. Tidak seperti yang diharapkan, soal kesehatan reproduksi tidak termuat di dalamnya.

Bukan asing lagi. Ketabuan soal alat reproduksi juga berpengaruh terhadap keterbukaan lembaga pendidikan dalam membicarakan hal yang berkaitan. Halma, peserta diskusi yang juga seorang ayah mengeluhkan itu. Ketika ia meminta sekolah anaknya untuk memberikan seks edukasi seks edukasi sejak dini, permintaannya itu ditanggapi tidak seperti yang diharapkannya.

“Kesadaran para pendidik kita terhadap yang kita omongin saat ini (kesehatan reproduksi) itu rendah. Boro-boro kita ngomongin kesehatan seksual, masalah antisipasi pelecehan seksual pada anak pun mereka tidak mempersiapkan ke arah sana,” ujarnya.

Dampak ketabuan soal seksual akhirnya memanjang hingga gagalnya pendistribusian pengetahuan soal kesehatan reproduksi, mulai dari soal kontrasepsi, batas usia minimum kehamilan, dampak aktivitas seksual berisiko, atau bahkan paling dasar soal kondisi kesehatan alat reproduksi. Lebih lebar lagi, ketabuan itu juga akhirnya berdampak pada persepsi soal jumlah anak.

Padahal, pengetahuan kesehatan reproduksi tidak melulu membahas sebatas kesehatan alat produksi, jauh lebih luas dari pada itu. Cakupannya hingga pembahasan soal hak kesehatan seksual dan reproduksi atau bahkan pola hidup yang mempengaruhi kesehatan alat reproduksi.

“Kalau secara definisi ternyata kespro (kesehatan reproduksi) itu meliputi tidak hanya dari organ reproduksi, tapi bagaimana juga HKSR (Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi) itu terpenuhi di dalamnya,” jelas Putri Latifa, pemantik diskusi sekaligus anggota Koalisi Perempuan Indonesia.

Baca Juga: Diskusi Sekodi, Membicarakan Awal Mula Terjadinya Penindasan terhadap Perempuan
Cara Anak Muda Bandung Menghalau Intoleransi dan Hoaks
PROFIL SEKOLAH DAMAI INDONESIA (SEKODI): Teman Muda yang Meretas Perbedaan

Buntut Ketabuan yang Menghalang

Ketabuan mempersempit pengetahuan. Pengetahuan yang sempit menjauhkan dari kebenaran. Misalnya tradisi sunat perempuan. Tradisi sunat perempuan telah lama berjalan praktiknya di Indonesia. Meski praktik tersebut juga populer di negara Afrika atau India, tetapi hal itu tidak dapat dibenarkan oleh medis.

Seperti yang dijelaskan oleh Putri bahwa penyunatan untuk perempuan dilakukan dengan memotong salah satu bagian dari klitoris yang sudah seharusnya tidak mendapatkan praktek medis apa pun.

Kuatnya tradisi penyunatan perempuan ini didasari oleh alasan untuk menekan nafsu birahi perempuan. Padahal, seperti yang ditegaskan oleh Putri, tidak ada kaitannya antara praktik penyunatan dengan penekanan nafsu birahi. Namun, justru praktik tersebut beresiko terhadap kesehatan reproduksi, mempermudah masuknya bakteri ke dalam vagina.

“Itu tuh (praktik penyunatan perempuan) menjaga martabat orang tua. Jadi kalau misalkan kita gak melakukan itu, berarti ya harus nerima nanti keluarganya dikucilkan sama yang lainnya,” ucap Putri Latifa, yang pernah melakukan kajian soal praktik penyunatan perempuan.

Penyunatan perempuan yang dilakukan pada bagian klitoris juga berisiko menghilangkan  hak perempuan dalam menikmati aktivitas seksual. Bagi Hobie, salah satu peserta diskusi, risiko ini dapat menimbulkan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam penikmatan aktivitas seksual.

“Kalau si klitoris itu dijelasin kalau dia itu (berfungsi) untuk merasakan rangsangan seksual. Imagine, seorang perempuan tidak mendapatkan hak untuk menikmati aktivitas seksualnya. Ketika klitorisnya dipotong dia juga gak bisa merasakan kepuasan seksual itu, karena ya gak merasakan apa-apa,” ucap Hobie.

“Sama kayak, mungkin laki-laki yang dia tidak bisa ereksi, tidak bisa mencapai kepuasannya. Jadi di sini kesetaraan juga penting, secara psikologis pun itu juga penting, karena kita juga perlu memahami bahwa perempuan pun membutuhkan sexual well being,” lanjutnya.

Minimnya pengetahuan soal kesehatan reproduksi juga berdampak pada soal penggunaan kontrasepsi. Sering kali, ketersediaan kontrasepsi dilihat dari sudut pandang yang tidak humanis sehingga berujung pada pembatasan akses penyediaan alat kontrasepsi. Seperti kebijakan terbaru yang dikeluarkan pemerintah, soal penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja.

Kebijakan yang disahkan pada tahun 2024 itu menghadapi banyak penolakan, karena dianggap “memberi izin” remaja untuk melakukan aktivitas seksual. Namun, Putri memiliki pandangan dan penjelasan yang berbeda. Ia melihat pemerintah memiliki pandangan yang lebih humanis, terlebih jika dikaitkan dengan penanggulangan aborsi tidak aman.

Bukan hanya keterbatasan akses penyediaan, penolakan penggunaan alat kontrasepsi juga banyak terjadi. Padahal penggunaan alat kontrasepsi dapat mengurangi risiko terpapar penyakit kelamin menular. Penolakan tersebut juga berujung pada jarak kehamilan yang berisiko dan jumlah anak yang banyak. 

Tidak salah ketika keluarga memilih untuk memiliki banyak anak. Namun, kesiapan keluarga untuk memiliki anak sering kali luput terperhatikan. Seperti yang dijelaskan oleh Putri bahwa perencanaan jumlah anak yang dimiliki  seharusnya dibarengi dengan kesiapan keluarga untuk memenuhi fungsi keluarga yang sebenarnya. 

“Menarik ya, yang fungsi keluarga soal ekonomi ya. Kita kan selalu bangga nih ‘Indonesia generasi emas. Diuntungkan dengan.demografi. Angkatan kerja akan bagus. Kita tidak mengalami krisis seksual, karena pertumbuhannya naik’. Ya terus kalau pertumbuhannya naik punya generasi yang bagus, iya kalau bagus. Kalau semuanya stunting? Karena ekonomi (ketidaksiapan keluarga akan memenuhi ekonomi untuk anak banyak) atau jadi ada masalah ke janin itu, karena kekurangan gizi. Apa gak jadi ‘sampah’?” ucap salah satu peserta diskusi yang melihat adanya ketidaktepatan cara memandang soal jumlah anak yang sering kali terjadi di Indonesia, tanpa mempersiapkan secara utuh fungsi keluarga yang sebenarnya.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Nabila Eva Hilfani, atau tulisan-tulisan menarik lain Pendidikan Seks

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//