• Berita
  • Diskusi Sekodi, Membicarakan Awal Mula Terjadinya Penindasan terhadap Perempuan

Diskusi Sekodi, Membicarakan Awal Mula Terjadinya Penindasan terhadap Perempuan

Era agraris menandai dimulainya dominasi laki-laki dalam struktur sosial dan menciptakan hierarki gender. Di sinilah perempuan mulai dipinggirkan.

Diskusi bersama Sekodi membahas Sejarah dan Asal Usul Penindasan Terhadap Perempuan, di Lakker Cake Shop, Braga, Bandung, Sabtu, 21 September 2024. (Foto: Fiqri Rizaldi Azlin Hasibuan)

Penulis Noviana Rahmadani27 September 2024


BandungBergerak.id – “Dulu, penindasan terhadap perempuan berfokus pada ekonomi, sekarang  pada emosi,” ucap Hani Yulindrasari, Ketua Satuan Tugas SPKKS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang juga dosen pembina Gender Research Student Center (Great) UPI, di diskusi Sejarah dan Asal Usul Penindasan terhadap Perempuan di Lekker Cake Shop, Bandung, Sabtu, 21 September 2024. 

Era agraris menandai dimulainya dominasi laki-laki dalam struktur sosial dan menciptakan hierarki gender. Konsep kepemilikan yang awalnya terbatas pada kontrol atas tanah meluas hingga mencakup manusia termasuk perempuan dan keturunannya.   

Semula perempuan memiliki peran yang lebih setara namun secara bertahap termarginalisasi, pernikahan pun mulai dilihat sebagai transaksi politik untuk memperkuat kekuasaan dan kekayaan. 

“Di masa-masa itu, laki-laki dan perempuan itu bekerja sama dengan baik. Tidak ada peran-peran yang kaku. Laki-laki banyaknya hunting dan perempuan gathering,” kata Hani, saat mengulas kembali sejarah manusia untuk mengupas asal muasal ketidakadilan gender, dalam acara terkait Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) tersebut. 

Selama berabad-abad perempuan menjadi korban penindasan. Di masa lalu, kekuasaan dipertahankan melalui kelahiran anak laki-laki. Kepercayaan ini menempatkan posisi perempuan semata-mata dipandang sebagai aset untuk memproduksi keturunan demi melanjutkan warisan dan mempertahankan status quo.  Tekanan tersebut mendorong praktik-praktik seperti poligami dan hubungan di luar nikah yang semakin memperkuat objektivikasi terhadap perempuan. 

Penempatan gender secara patriarki membuat perempuan kurang peka akan bentuk penindasan. Beban domestik yang dibebankan sepenuhnya pada pundak perempuan merupakan titik balik bagi perempuan untuk menyadari ketidakadilan gender. Perempuan kerap ditempatkan pada pekerjaan yang memiliki value rendah guna mempertahankan posisinya sebagai manusia tidak berdaya secara ekonomi. 

“Perempuan dapat merasakan opresi (penindasan) ketika ia mengalaminya,” kata Hani.

Akar historis dari penindasan perempuan telah menempatkan mereka dalam posisi yang sangat rentan, terutama terkait kontrol atas tubuh mereka sendiri. Di era modern ini bentuk-bentuk penindasan terhadap perempuan terus berevolusi dan semakin kompleks. 

Meskipun bentuk penindasan terhadap perempuan telah berubah, warisan budaya yang menanamkan perasaan memiliki dan hak atas tubuh perempuan masih sangat terasa. Hal ini memanifestasikan diri dalam berbagai perilaku, mulai dari pelecehan hingga tindakan tanpa persetujuan. Semuanya didasari oleh anggapan bahwa laki-laki berhak atas tubuh perempuan bahkan dalam hal yang dianggap sepele seperti mencium pasangan tanpa izin. 

Opresi yang Disamarkan Sebagai Kebebasan

Hani Yulindrasari juga menyoroti bahwa perpaduan antara patriarki dan kapitalisme melahirkan bentuk-bentuk penindasan yang lebih beragam. Fenomena ‘Open BO’ misalnya, telah mengaburkan batas antara bentuk kebebasan dan penindasan. Perempuan yang terlibat dalam pekerjaan ini terjebak dalam dilema, di satu sisi mereka memanfaatkan sistem untuk keuntungan pribadi; di sisi lain mereka juga diperlakukan sebagai objek.

Doktrin yang membatasi pilihan perempuan sering kali menjadi landasan dalam tindakan opresif. Penggunaan hijab adalah contoh nyata dari peran doktrin ini. Namun, bagi sebagian individu termasuk Rani, salah seorang peserta diskusi, keputusan untuk melepas hijab menjadi proses panjang yang melibatkan berbagai pertimbangan. 

"Orang tua aku dari latar belakang Islam yang cukup konservatif dan kental, sehingga berhijab itu hal yang wajib," kata Rani. 

Rani merasa terkekang terkait penggunaan hijab, ia merasa bahwa pilihan untuk berhijab bukanlah sesuatu yang datang dari dalam dirinya. Baginya, nilai-nilai agama harus diinternalisasi secara pribadi, bukan dipaksakan dari luar. 

"Yang menentukan identitas kan dari diri aku sendiri," jelasnya. 

Baca Juga: PROFIL SEKOLAH DAMAI INDONESIA (SEKODI): Teman Muda yang Meretas Perbedaan
Great UPI Mengadakan Konferensi Kampus Se-Jawa Barat, Mendesak Pendidikan Tinggi Menciptakan Ruang Aman dari Kekerasan Seksual
PROFIL GREAT UPI: Jalan Pedang Pendamping Kasus Kekerasan Seksual di Kampus

Stereotip di Ranah Kesenian

Kesenian tidak terlepas dari stereotip ataupun bias gender. Padahal seni merupakan ruang yang inklusif. Hal ini dialami Wili, partisipan lainnya dari diskusi “Sejarah dan Asal Usul Penindasan terhadap Perempuan” ini. Ia mengalami kesulitan mengekspresikan diri sebagai seorang penari. 

Wili sejak kecil sudah memiliki ketertarikan terhadap dunia tari khususnya tari Jaipong, tarian khas dari Jawa Barat. Meski begitu, keterbatasan dalam mengekspresikan diri sebagai sosok dengan sisi feminin yang lebih dominan dibandingkan maskulin menjadi tantangan tersendiri.

"Saya merasa lebih dekat dengan gerakan yang feminin dibandingkan yang maskulin," katanya. 

Wili dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya tidak diizinkan untuk mempelajari gerakan tari Jaipong yang feminin. Akibatnya, ia dipaksa untuk belajar gerakan yang lebih maskulin namun tubuhnya ‘menolak’ dan merasa tidak nyaman, sehingga ia memutuskan untuk berhenti. 

Setelah meninggalkan dunia tari Jaipong, ia menemukan jati diri dalam tarian Lengger Lanang Banyumasan. Tarian yang menggabungkan unsur maskulin dan feminin ini ternyata lebih sesuai dengan dirinya. 

"Akhirnya aku belajar ke sana," ujarnya. 

Selain ketidakadilan yang dialami perempuan, diskusi ini juga mengangkat persoalan mengenai tekanan yang dialami oleh laki-laki. Mereka dihadapkan pada ekspektasi untuk selalu kuat dan menekan emosinya, terutama saat marah. 

Kebanyakan dari mereka hanya memilih diam ketika marah, tanpa ada kesempatan untuk menyelesaikan masalah dengan komunikasi. Tekanan untuk tampil kuat ini berkontribusi pada meningkatnya angka bunuh diri di kalangan laki-laki sebab tidak diberinya ruang untuk mengekspresikan emosi secara terbuka. 

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan lain Noviana Ramadhani, atau artikel-artikela lain tentang Gender atau Perempuan

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//