Great UPI Mengadakan Konferensi Kampus Se-Jawa Barat, Mendesak Pendidikan Tinggi Menciptakan Ruang Aman dari Kekerasan Seksual
Great UPI bersama perwakilan dari 14 kampus menyatakan, implementasi Permendikbudristek tentang kekerasan seksual belum dilakukan secara masif di perguruan tinggi.
Penulis Iman Herdiana29 Agustus 2022
BandungBergerak.id - Selama bertahun-tahun, kekerasan seksual masih menjadi persoalan yang belum ditangani dengan tangkas. Sejak diterbitkannya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS), setiap perguruan tinggi diamanatkan menciptakan lingkungan kampus yang aman dari kekerasan berbasis gender dan seksual.
Menanggapi hal tersebut, Gender Research Student Center (Great UPI) bersama perwakilan dari 14 kampus di Jawa Barat telah melakukan konferensi bertema “Ciptakan Ruang Aman di Pendidikan Tinggi”, di Bandung, Jumat, 26 Agustus 2022.
Konferensi ini menyatakan, pengimplementasian Permendikbudristek PPKS belum dilakukan secara masif pada setiap lembaga perguruan tinggi.
“Hal ini juga didukung dengan fakta dari sederet kasus kekerasan berbasis gender dan seksual yang terjadi di perguruan tinggi terbukti abai dalam penanganan dan penindaklanjutannya,” kata Azmi Mahatmanti, Ketua Great UPI, dikutip dari keterangan resmi Great UPI, Senin (29/8/2022).
Sebanyak 14 kampus di Jawa Barat yang hadir dalam konsolidasi ini yaitu Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Jenderal Ahmad Yani, Universitas Islam Nusantara, Universitas Majalengka, Universitas Singaperbangsa Karawang, Universitas Widyatama, Universitas Muhammadiyah Bandung, Universitas Pasundan, Universitas Informatika dan Bisnis Indonesia, Universitas Nasional Pasim, Universitas Terbuka, ISBI Bandung, dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tridharma.
Para perwakilan 14 kampus yang terdiri dari mahasiswa meminta untuk mengoptimalkan peran perguruan tinggi dalam mengimplementasikan Permendikbudristek PPKS. Mereka mendesak Kemendikbudristek untuk segera menindaklanjuti perguruan tinggi yang belum mengimplementasikan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 yang menjadi landasan payung hukum pada statuta perguruan tinggi tentang pencegahan dan penangan kasus kekerasan seksual, dengan melakukan sembilan hal:
1. Mendorong seluruh warga kampus untuk merespon positif mendukung Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021.
2. Menuntut transparansi dalam seleksi dalam pemilihan Satuan Tugas PPKS sesuai dengan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021.
3. Mendorong setiap kampus memiliki hotline pengaduan Kekerasan Seksual.
4. Merespons secara tegas setiap kasus Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual secara adil tanpa melihat identitas pelaku.
5. Menyediakan ruang yang dilengkapi fasilitas yang mendukung untuk melindungi dan mendampingi para penyintas Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual di lingkungan kampus.
6. Edukasi secara merata dan konsisten kepada dosen, tenaga pendidik, mahasiswa dan seluruh warga kampus.
7. Kampus tidak merepresif dalam pegiat perjuangan gerakan anti kekerasan seksual.
8. Kampus fokus pada penyelesaian masalah Kekerasan Seksual dengan menggunakan perspektif korban.
9. Stop diskriminasi atas kebebasan berekspresi dan identitas gender.
“Konferensi ini mengharapkan kampus dapat menjadi ruang aman dari kekerasan berbasis gender dan seksual. Hidup Mahasiswa!” kata Azmi Mahatmanti.
Data Kekerasan Seksual
Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan memaparkan tahun 2021 kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) di Indonesia sebanyak 299.911 kasus. Komnas Perempuan juga mencatat 8.234 kasus telah ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan. Jenis kasus paling banyak adalah KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/Ranah Personal) dengan angka 6.480 kasus atau 79 persen.
Tiga posisi teratas dalam kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan terhadap istri (3.221 kasus), kekerasan dalam pacaran (1.309 kasus), dan kekerasan terhadap anak perempuan (954 kasus). Selain itu, ada pula kekerasan yang dilakukan kepada mantan pacar, mantan istri, juga pekerja rumah tangga.
Jika dianalisis secara bentuk, kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik (2.025 kasus). Kemudian, disusul oleh kekerasan seksual (1.983 kasus), kekerasan psikis (1.792 kasus), dan kekerasan ekonomi (680 kasus).
Selanjutnya, pada ranah publik atau komunitas, telah terjadi sekitar 1.731 kasus atau 21 persen. Dalam data ini, kekerasan seksual adalah kasus yang paling menonjol dengan angka 962 kasus. Lebih khusus, kasus kekerasan seksual tersebut terdiri dari pencabulan (166 kasus), perkosaan (229 kasus), pelecehan seksual (181 kasus), persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan perkosaan dan kekerasan seksual lain.
“Seluruh data tersebut menyimpulkan bahwa perempuan kesulitan mendapatkan ruang aman. Ranah privat, yang menjadi lingkungan paling dekat dan mestinya mampu memberikan rasa aman, nyatanya malah menjadi ruang yang berbahaya. Dapat dilihat bahwa pelaku bisa saja orang terdekat yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, dan kakek) dan memiliki kekerabatan perkawinan (suami/istri). Selain itu, kekerasan pun sangat mungkin terjadi pada relasi intim, misalnya pacaran,” tulis Azmi Mahatmanti, dalam kolom Suara Setara di BandungBergerak.id.