Dua Tahun Tragedi Kanjuruhan: Menggugat Militerisasi, Merawat Luka Kemanusiaan
Tragedi Kanjuruhan membuka ruang bagi pertanyaan mendasar dalam benak kita, di mana letak keadilan ketika kekuasaan yang seharusnya melindungi justru jadi ancaman?
Hery Prasetyo Laoli
Masyarakat Sipil Biasa
2 Oktober 2024
BandungBergerak.id – Bulan September telah berakhir, namun lagi dan lagi hasilnya rasanya nihil, di mana negara tetap mempertahankan status quo sebagai alat penindasan dan kesewenang-wenangan kekuasaan. Negara kita selalu menutup mata terhadap pelanggaran berat HAM, dari Tragedi 65, Tanjung Priok, Semanggi II, Pembunuhan Munir dan Pembunuhan Salim Kancil, hingga Tragedi Reformasi Dikorupsi tak terkecuali juga dengan Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022, negara masih belum dapat bertanggung jawab atas kegagalannya melindungi masyarakatnya.
Masih dalam ingatan, dua tahun lalu kita menyaksikan bahwa negara telah membunuh dan menghilangkan 135 nyawa orang yang tak bersalah melalui alat negara, yakni aparat kepolisian keamanan yang seharusnya melindungi keselamatan warganya yang sudah jelas diterangkan dalam Pasal 5 UU No. 2 Tahun 2002.
Bahkan berdasarkan catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tahun 2023, institusi kepolisian menempati peringkat teratas sebagai institusi yang paling sering dilaporkan terkait pelanggaran HAM dengan lebih dari 771 kasus dari total 2.753 aduan. Hal ini bukan pertama kalinya institusi kepolisian menjadi sorotan utama. Bahkan dari tahun ke tahun secara konsisten institusi ini mendominasi daftar institusi teradu. Pada 2022, Polri menerima 861 laporan dan di tahun 2021 ada 661 laporan, 2020 ada 785, dan 2019 ada 744 kasus serupa.
Hasil ini menunjukkan bahwa meski laporan meningkat setiap tahunnya, institusi kepolisian tampaknya gagal melakukan reformasi signifikan untuk menghentikan pelanggaran HAM yang dilaporkan masyarakat. Bahkan alih-alih melakukan reformasi, justru melalui RUU Polri yang menjadi usulan RUU inisiatif DPR pada 28 Mei 2024 yang bukannya dibatalkan secara total pada 26 Agustus 2024 justru pembahasan RUU Polri ini dilimpahkan ke periode selanjutnya oleh Legislasi DPR RI.
Menjadi suatu kekhawatiran kita bersama jika RUU Polri ini disahkan mengingat adanya potensi peningkatan otoritas dan kekuasaan aparat tanpa diiringi oleh mekanisme kontrol. Mengingat dalam revisi ini ditekankan pada penguatan peran Polri dalam berbagai aspek kehidupan sipil tanpa batasan yang jelas, hal ini akan memicu penyalahgunaan wewenang dan memperbesar potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa RUU Polri ini akan melenggangkan budaya impunitas di kalangan aparat kepolisian. Sebab dengan kewenangan yang semakin besar, aparat kepolisian akan semakin sulit untuk diawasi dan dikontrol oleh institusi lain, baik di tingkat lokal maupun nasional. Dalam konteks Tragedi Kanjuruhan, banyak pihak yang menilai bahwa peran Polri perlu lebih diawasi secara ketat, bukan justru diberikan kekuasaan yang lebih besar tanpa peningkatan mekanisme akuntabilitas.
Baca Juga: Doa dari Taman Cikapayang atas Tragedi Kanjuruhan
Temuan Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil Terkait Pelanggaran HAM di Stadion Kanjuruhan
Dari Bandung untuk Korban Tragedi Kanjuruhan, Gas Air Mata tak Sebanding dengan Air Mata Ibu
Menilik Kekerasan Polri dalam Tragedi Kanjuruhan
Negara kita mungkin sedang mengalami gejala militerisasi yang mengkhawatirkan dengan peningkatan secara perlahan anggaran Kementerian Pertahanan dan Polri untuk menindas protes suara rakyat sipil ketimbang mendengarkan aspirasi mereka. Mengingat negara telah menggelontorkan lebih dari 150 milyar untuk pengadaan gas air mata pada 2022 saja. Bukankah gas air mata polisi pula yang sebenarnya bertanggung jawab penuh atas Tragedi Kanjuruhan yang menghilangkan 135 nyawa hilang di Stadion Kanjuruhan pada 2022 lalu?
Peningkatan anggaran pengadaan gas air mata secara signifikan terjadi tak lama dari gelombang protes besar-besaran pada 2019-2020. Masalahnya, gas air mata bukan hanya digunakan untuk meredam demonstrasi dan protes politik, tetapi juga segala jenis gangguan domestik seperti tawuran antar kampung, dan tentu saja kerusuhan sepak bola bahkan gas air mata terkesan menjadi upaya negara dalam mendisiplinkan rakyatnya.
Padahal jelas dalam kewenangan yang telah diatur dalam Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian perlu memperhatikan hal legalitas, nesesitas, proporsionalitas, kewajiban umun, dan masuk akal. Namun, dalam kenyataannya Polri dalam penggunaan gas air mata bahkan sering mengakibatkan upaya extra judicial killing. Seperti yang terbaru saat demonstrasi penolakan RUU Pilkada pada 22 Agustus 2024 yang tersebar di beberapa kota di balas dengan gas air mata. Salah satunya di Semarang, Polisi menembakkan gas air mata saat membubarkan demonstrasi mahasiswa di DPRD Semarang yang mengakibatkan belasan mahasiswa harus dilarikan ke rumah sakit.
Penggunaan gas air mata dalam Tragedi Kanjuruhan juga menunjukkan bahwa ada kegagalan sistematik dalam upaya penanganan keamanan dalam menangani situasi kerumunan besar, di mana polisi yang berfungsi untuk menjaga ketertiban justru menyebabkan kematian. Dalam penggunaan gas air mata pula, polisi sangat tidak proporsional bahkan tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan. Kesalahan ini menimbulkan pernyataan serius tentang akuntabilitas dan kualitas pelatihan aparat dalam menghadapi situasi darurat di ruang publik.
Impunitas dan Tiada Keadilan Bagi Korban
Lebih jauh lagi bahwa Tragedi Kanjuruhan yang hingga saat ini belum bisa diselesaikan oleh negara menunjukkan bahwa negara telah gagal dalam menerapkan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia bagi korban. Ketidakadilan ini memperkuat narasi bahwa kekerasan negara dapat terjadi tanpa adanya upaya yang nyata untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Walaupun beberapa pelaku sudah dijatuhi hukuman, seperti Abdul Haris 2 tahun penjara, Suko 1 tahun penjara, Hasdarmawan 1 tahun 6 bulan, AKP Bambang Sidik Achmadi 2 tahun penjara, Kompol Wahyu Setyo Pranoto 2,5 tahun. Namun hukuman tersebut tidak sebanding dengan besarnya dampak dari Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang, bahkan AKP Bambang Sidik Achmadi dan Kompol Wahyu Setyo Pranoto awalnya divonis bebas sebelum dijatuhi hukuman oleh MA. Negara terkesan tidak serius dalam menegakkan keadilan bagi para korban, justru malah memperkuat pandangan bahwa ada impunitas bagi aparat kepolisian.
Yang terbaru pelantikan Mantan Kapolda Jawa Timur, Nico Alfinta diangkat menjadi Sekjen Kemenkumham pada 24 September lalu. Sebelumnya pada 23 Maret 2023, Nico Alfinta diberi jabatan sebagai Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) Lemdiklat Polri. Justru sebelum menjadi Ketua STIK Lemdiklat Polri, pada 10 Oktober 2022 beberapa hari setelah Tragedi Kanjuruhan, Nico Alfian dimutasi sebagai Kapolda Jatim dan dipindahkan menjadi Staf Ahli Kapolri Bidang Sosial Budaya.
Banyak orang yang mempertanyakan mengapa pejabat-pejabat tinggi yang mungkin terlibat dalam pengambilan keputusan penggunaan gas air mata atau penanganan keamanan secara keseluruhan tidak dihukum dengan setimpal? Terdapat impunitas di sini, karena hanya segelintir orang di tingkat menengah yang dihukum itu pun dengan hukuman ringan, sementara yang memiliki tanggung jawab lebih besar terhindar dari proses hukum.
Tragedi Kanjuruhan ini membuka ruang bagi pertanyaan mendasar dalam benak kita, di mana letak keadilan ketika kekuasaan yang seharusnya melindungi justru menjadi ancaman. Negara yang idealnya menjadi pelindung hak-hak warganya dalam hal ini menjadi aktor utama yang menghilangkan hak-hak warganya. Hukuman ringan yang diberikan kepada para pelaku pun menunjukkan bahwa kekerasan negara seolah kekerasan yang dapat dilegitimasi.
Dalam kasus Tragedi Kanjuruhan aparat kepolisian telah bertindak tanpa mempertimbangkan kemanusiaan, dan lebih parahnya lagi, negara seakan menutup mata dan membisu dalam memberikan pertanggungjawaban yang jelas hingga saat ini dua tahun setalah Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 lalu.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang tragedi Kanjuruhan