• Berita
  • Membedah Zine Penyitaan Buku di Raws Syndicate, Mengarsipkan Literatur yang Dirampas di Bandung

Membedah Zine Penyitaan Buku di Raws Syndicate, Mengarsipkan Literatur yang Dirampas di Bandung

Dari zine penyitaan buku hingga pembubaran diskusi di Bandung menunjukkan bahwa pembungkaman literasi bukan kejadian tunggal.

Diskusi Bedah Zine Penyitaan Buku di Raws Syndicate, Pasar Antik Cikapundung, Bandung, Selasa 18 November 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Fitri Amanda 24 November 2025


BandungBergerakHalaman-halaman buku foto masih terbuka ketika mereka datang, bapak-bapak berseragam dengan identitas kesatuan mereka. Tanpa banyak suara, mereka berjalan menyusuri ruang pameran, memeriksa satu per satu buku foto yang dipajang, lalu memotret beberapa halamannya. Wahyu hanya berdiri memerhatikan, tak kuasa meladeni mereka.

Mereka tidak berkata banyak, hanya memeriksa, membuka halaman, dan memotret isi buku-buku foto tersebut seperti sedang mencari sesuatu yang tak pernah dijelaskan.

Salah satu dari mereka hanya bertanya, “Siapa ketuanya?”

“Saya,” jawab Wahyu, singkat.

Begitu selesai, mereka pergi tanpa sepatah kata.

Peristiwa tersebut terjadi pada 2016, ketika Wahyu dan kawan komunitasnya tengah mengadakan pameran buku foto di ruang komunitasnya, Raws Syndicate, Pasar Antik Cikapundung. Di tahun tersebut gelombang pembubaran diskusi, penyitaan buku, dan pengekangan aktivitas literasi serta kesenian terjadi di banyak tempat di Bandung. Raws Syndicate, ruang yang Wahyu kelola bersama teman-teman komunitasnya, ikut terkena imbas.

Adegan tersebut seakan terngiang kembali saat komunitas ini menggelar diskusi Bedah Zine Penyitaan Buku, Selasa 18 November 2025, di tempat yang sama.

Dalam diskusi terungkap, sejak masa Orde Baru penyitaan buku selalu hadir membayang-bayangi dunia literasi di Indonesia. Pada masa itu, judul-judul buku tertentu dianggap berbahaya dan negara seolah paling berhak menentukan apa saja yang boleh dan tidak boleh dibaca.

Meski rezim Orde Baru telah lama runtuh, jejaknya tidak pernah benar-benar hilang. Sejarah seperti terulang kembali. Dari akhir Agustus hingga September 2025, di Indonesia terkhususnya Bandung, penyitaan buku kembali terjadi.

Pengelola klub baca KembangKata Salma Nur Fauziyah sangat menyayangkan peristiwa penyitaan buku yang terus berulang. Ia menyoroti buku-buku yang dijadikan barang bukti ketika beberapa aktivis ditangkap setelah aksi akhir Agustus hingga awal September lalu. Salah satu penyitaan antara lain menimpa koleksi buku Dalpedro Marhaen.

Dalam konteks di Bandung, Salma sangat menyayangkan aksi serupa terjadi. Buku karya Pramoedya Ananta Toer kembali masuk ke dalam jajaran buku yang disita, dan bahkan poster zine puisi galau berbahasa Sunda pun turut dirampas.

Di saat yang sama, Salma melihat tren pembaca buku di Indonesia yang cenderung meningkat beberapa tahun kebelakang. Namun di sisi lain penyitaan buku justru semakin masif dilakukan.

“Itu kan jadi kayak semacam kontradiksi yang menyebalkan gitu sebenarnya,” ucap Salma, di diskusi Bedah Zine Penyitaan Buku.

Merespons situasi itu, Salma kemudian membuat zine tentang penyitaan buku. Isinya merupakan luapan perasaannya tentang penyitaan buku yang terjadi beberapa waktu ke belakang, pertanyaan-pertanyaan kenapa buku harus disita, dan imajinasi ketika ia sedang menikmati bacaan lalu tiba-tiba ditangkap.

Deni Rachman, seorang pegiat literasi yang menjadi pemantik diskusi, melengkapi dengan pandangan yang lebih sistematik. Ia menganggap penyitaan buku merupakan siklus yang akan terus terjadi. Padahal, ia menjelaskan, penyitaan buku kerap kali melanggar hukum. Sebab penyitaan hanya bisa dilakukan setelah melalui proses putusan pengadilan.

Bahkan undang-undang dulu yang sering dipakai untuk legitimasi razia buku (UU Nomor 4/PNPS/1963) sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2010. Namun hingga kini, Deni sangat menyayangkan praktik-praktik penyitaan buku kerap terjadi.

Dalam menghadapi situasi ini, Deni mengatakan ada dua pendekatan yang bisa dilakukan. Pertama, litigasi dengan pendampingan hukum dan melawan melalui jalur formal. Lalu yang kedua adalah pendekatan nonlitigasi, seperti aksi-aksi kreatif seperti festival, penampilan seni, poster, tulisan, hingga zine. 

Namun, bagi Deni yang terpenting adalah untuk tidak langsung panik ketika menghadapi situasi seperti ini.

“Kepanikan itu yang paling bahaya, kita jadi lupa bahwa kita tuh punya jaringan teman-teman yang bisa saling menguatkan,” ungkap Deni.

Baca Juga: Penyitaan Buku: Ketika Aparat Menghendaki Silogisme Sempit
Membaca Sejarah Bibliosida dari Penyitaan Buku di Rumah Delpedro Marhaen

Diskusi Bedah Zine Penyitaan Buku di Raws Syndicate, Pasar Antik Cikapundung, Bandung, Selasa 18 November 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Diskusi Bedah Zine Penyitaan Buku di Raws Syndicate, Pasar Antik Cikapundung, Bandung, Selasa 18 November 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Jalan Panjang Penyitaan Buku di Bandung

Di Bandung, penyitaan buku bukanlah kejadian tunggal. Buku kliping “Pemberangusan Buku? Lawan!” dari Kumaha Damang? Edisi Ke-2: 2025 merunutkan sejumlah kejadian penyitaan buku dan pembubaran aktivitas literasi yang terjadi di Bandung. Pada Mei 2001, sejumlah mahasiswa membakar buku-buku yang dianggap sentimental, aksi tersebut sebagai protes terhadap minat baca mahasiswa pada buku-buku yang dinilai sentimentil seperti buku Sayap-Sayap Patah karya Kahlil Gibran.

Lima tahun kemudian diskusi “Gerakan Marxist Internasional dan Sekilas Organisasi Buruh di Kanada” di Toko Buku Ultimus pada 14 Desember 2006 dibubarkan oleh ormas. Sejumlah barang disita dan dikabarkan terdapat beberapa buku yang dicuri, salah satunya buku Album Bandoeng Tempo Doeloe.

Kemudian pada 30 Juli 2007 di halaman kantor Kejari Bandung, pembakaran buku sejarah dilakukan oleh petugas Kejari Jawa Barat. Sebanyak 55 buku pelajaran Sejarah Sekolah Menengah Pertama dan Akhir dibakar karena berisikan informasi yang dinilai menyesatkan mengenai sejarah gerakan 30 September yang tidak memuat kata PKI di dalamnya.

Pada tahun 2016, sejumlah kejadian penyitaan buku dan pembubaran sejumlah aktivitas literasi dan seni terjadi, seperti pementasan monolog Tan Malaka di IFI Bandung, pementasan pantomim Wanggi Hoed di Jalan Asia-Afrika, hingga diskusi di kampus ISBI Bandung, sehingga pada 17 Mei 2016 sejumlah pegiat literasi dan seni di Gedung Indonesia Menggugat memberikan pernyataan sikap menolak penyitaan buku dan kebebasan berekspresi.

Namun, penyitaan kembali terulang di tahun yang sama. Pada 20 Agustus, kegiatan rutin Perpustakaan Jalanan Bandung di Taman Cikapayang Dago dibubarkan secara paksa oleh tentara. Lalu kejadian lainnya datang dari lingkungan kampus, pada 9 November, Wakil Rektor IV Bidang Kemahasiswaan Telkom University menyita sejumlah buku dari lapakan buku gratis yang rutin dilakukan di sekitar kantin Fakultas Komunikasi Bisnis (yang sekarang berganti menjadi Fakultas Komunikasi dan Ilmu Sosial) karena terdapat buku-buku “terlarang” seperti buku berjudul Manifesto Partai Komunis dan Orang Kiri Indonesia edisi Nyoto dan Musso.

Pada 29 Maret 2024, kegiatan diskusi rutin Kedai Jante Perpustakaan Ajip Rosidi dibatalkan akibat menerima surat penolakan dari ormas GERAK Jabar (Gerakan Rakyat Anti Komunis Jawa Barat) karena menghadirkan Ilham Aidit (anak dari D.N. Aidit) dalam diskusi bertema “Menyelami Hikmah-Hikmah Kehidupan”

Dan yang terbaru, penyitaan buku yang terbaru terjadi pada 16 September 2025, polisi menyita sejumlah buku yang dijadikan barang bukti aksi demonstrasi akhir Agustus hingga awal September di Bandung dan menangkap setidaknya 42 orang yang dijadikan tersangka. Buku-buku yang disita di antaranya terdapat buku Pramoedya Ananta Toer yang bertajuk Anak Semua Bangsa. Polisi menganggap buku-buku itu memiliki peran dalam membentuk pola pikir para pelaku.

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//