Penyitaan Buku: Ketika Aparat Menghendaki Silogisme Sempit
Apakah kebebasan berpikir hanya boleh dilakukan oleh orang yang berstudi akademis secara formal ataupun hanya boleh di ruang-ruang akademi saja?

Mochamad Iqbal Maulana
Penulis, Kurator, Seniman, Pengajar, Ketua Departemen Seni Rupa Dewan Kesenian Daerah
13 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Beberapa hari ini kita dihadapkan oleh berita yang mengabarkan bahwa aparat menyita buku-buku milik para demonstran. Aparat menganggap bahwa buku-buku tersebut sebagai objek-objek yang berbahaya bila dibaca oleh seseorang, terutama oleh para demonstran. Lantaran buku-buku tersebut bisa membentuk pola berpikir atau cara pandang seseorang menjadi kecewa terhadap sistem negara dan hukum yang ada. Hal ini persis sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Kabid Humas Polda dilansir dari artikel Detik Jabar berjudul “6 Fakta Penyitaan Buku Milik Tersangka Demo Ricuh di Bandung” sebagai berikut; Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol Hendra Rochmawan menegaskan, buku-buku itu berperan besar dalam membentuk pola pikir para pelaku. […] Mereka juga memiliki ideologi anti kemapanan, memiliki ideologi kekecewaan. Intinya merusak tatanan apabila regulasi, kebijakan tidak berpihak ke masyarakat.
Logika aparat semacam itulah yang merupakan logika sempit. Sebab alih-alih melakukan refleksi diri dengan mempertanyakan mengapa masyarakat tidak puas dengan negara, hukum, maupun institusi aparatur, justru aparat hendak membatasi cara pandang seseorang dengan cara menyita buku-buku yang telah membentuk cara pandang tersebut. Hal ini juga bisa dikatakan secara silogisme sebagai berikut; jika masyarakat mempunyai cara pandang yang tidak puas dengan institusi, maka masyarakat harus mengubah cara pandang tersebut agar berubah menjadi cara pandang yang puas terhadap institusi. Silogisme sempit macam itulah yang dikehendaki sekaligus digunakan oleh aparat sebagai landasan berpikir ketika melakukan tindakan penyitaan buku. Aparat sudah tidak lagi sekedar melarang tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para demonstran, melainkan sudah melarang cara pandang para demonstran (masyarakat). Aparat tidak hanya bertugas untuk menghalau tindakan kekerasan, melainkan telah bertugas untuk melarang cara pandang (pola berpikir) seseorang.
Baca Juga: Membincangkan Sejarah Penghancuran Buku di Toko Buku Bandung
Membaca Sejarah Bibliosida dari Penyitaan Buku di Rumah Delpedro Marhaen
Buku di antara Stigma dan Satir Kekuasaan
Membela Kebebasan Berpikir
Dalam akademi, kita sering kali didorong untuk mempertanyakan segalanya, mempertanyakan apa pun. Dengan itu, kita dapat memperoleh banyak cara pandang, pola berpikir, atau bermacam perspektif untuk bersikap dan menjalani hidup. Kita dibebaskan untuk berpikir secara abstrak sekalipun, sehingga secara otomatis kita juga dibebaskan untuk menuliskan kebebasan berpikir kita tersebut. Maka, tentu tindakan aparat yang membatasi cara pandang merupakan tindakan yang sangat tidak akademis. Tapi apakah kebebasan berpikir hanya boleh dilakukan oleh orang yang berstudi akademis secara formal ataupun hanya boleh di ruang-ruang akademi saja?
Sejauh ini tidak ada undang-undang (secara de jure) yang melarang cara pandang seseorang; entah cara pandang yang telah dituliskan hingga menjadi sebuah buku atau artikel (tangible), maupun cara pandang yang belum dituliskan (intangible). Sekalipun ada undang-undang yang macam itu, tentu patut untuk segera kita hapus atau tolak. Sebab sistem masyarakat kita adalah sistem demokrasi yang tidak membatasi cara pandang. Lain halnya bila sistem masyarakat kita merupakan sistem totaliter yang hanya mengizinkan satu cara pandang saja (monolitik) laiknya sistem masyarakat yang diusung oleh Lenin (di sayap kiri) maupun Hitler (di sayap kanan).
Sejauh ini hanya ada salah satu undang-undang yang mengizinkan aparat untuk menindak (menghalau atau menangkap) orang-orang yang melakukan kekerasan. Dengan itu, aparat tidak berhak menyita buku-buku sekalipun terdapat buku-buku yang berisi cara pandang komunisme, anarkisme, ateisme, nihilisme, fasisme, bahkan terorisme, atau apa pun itu. Sebab aparat hanya diizinkan untuk menghalau tindakan kekerasannya, bukan melarang cara pandangnya. Itulah tugas aparat. Jadi, apabila di tataran abstraksi cara pandang saja sudah dilarang, lantas untuk apa aparat dilatih memperkuat fisik agar berani menghalau kekerasan sekaligus diberi hak untuk menangkap orang-orang yang melakukan kekerasan? Apakah sebaliknya, justru yang sesungguhnya menyukai kekerasan adalah aparat itu sendiri?
Aparat digaji untuk menindak orang-orang yang melakukan kekerasan, bukan digaji untuk menindak cara pandang seseorang (entah hanya berbentuk pola pikir ataupun berbentuk sebuah buku). Coba kita bayangkan bila dengan menyita buku saja efeknya dapat menyebabkan tidak ada lagi tindakan kekerasan di dunia ini, mungkin kita semua bakal tertarik untuk melamar kerja menjadi aparat yang kerjanya hanya melarang/menyita buku, bukan menindak orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan. Tapi apakah memang buku dapat menjadi satu-satunya penyebab orang (para demonstran) melakukan tindakan kekerasan?, dan apakah buku sebagai objek mati pantas untuk dilarang/disita?.
Apakah Buku sebagai Objek Mati dapat Menjadi Satu-satunya Penyebab Kekerasan?
Sejauh ini masih ada saja yang mengatakan bahwa yang menyebabkan orang (para demonstran) memiliki cara pandang yang tidak puas dengan institusi ataupun melakukan tindakan kekerasan adalah buku-buku tersebut. Tentu saja buku dapat menjadi referensi/inspirasi seseorang dalam mengonstruksi cara pandang maupun melakukan tindakan kekerasan. Namun, buku hanyalah sebuah buku, buku hanyalah sebuah objek mati yang tidak bisa melakukan kekerasan. Maka yang harus ditindak (dihalau atau ditangkap) adalah subjek hidup atau orang yang melakukan kekerasan tersebut, bukan menindak (melarang atau menyita) objek mati atau buku yang dibaca oleh orang tersebut. Akan tetapi, lebih jauh lagi, benarkah satu-satunya penyebab tindakan kekerasan adalah sebuah buku?
Tentu saja sebuah buku belum pasti menjadi satu-satunya penyebab. Sebab bisa saja para demonstran yang melakukan kekerasan tidak terinspirasi dari cara pandang-cara pandang yang disajikan dalam buku-buku tersebut, melainkan hanya sekedar efek dari latar belakangnya sebagai orang miskin yang marah kepada negara yang tidak bisa menghapus kesenjangan ekonomi maupun marah kepada aparat yang justru menindas masyarakat bukan melindungi masyarakat. Artinya, buku tidak menjadi satu-satunya penyebab, bahkan buku hanyalah sebuah objek mati yang tidak dapat berbuat apa-apa bila tidak direalisasi oleh orang miskin yang kelaparan, marah, sekaligus militan. Atau tanpa membaca buku sekalipun –secara instingtif– orang miskin yang kelaparan, marah, sekaligus militan dapat melakukan tindakan kekerasan kepada negara yang gagal maupun kepada aparat yang menindas. Bahkan secara silogisme sederhana, buku laiknya objek pisau yang sekalipun tajam dan mengerikan, dapat menjadi piranti yang membantu manusia untuk menciptakan kesejahteraan; berburu, memasak, dst. Sekalipun tentu saja juga dapat menjadi piranti yang membantu manusia untuk saling membunuh. Artinya, jika buku yang “tajam” dilarang, maka pisau yang tajam juga dilarang.
Dalam sistem demokrasi, semua orang berhak berimajinasi, berkarya, menuliskan apa pun; menuliskan segala hal. Entah berimajinasi menjadi teroris, psikopat, pencuri, pembunuh, dan seterusnya. Namun, bila orang tersebut merealisasikan tindakan kekerasan, maka aparat berhak menghalau atau menangkapnya (atau tentunya situasi dapat berubah sebaliknya; aparat dapat berpotensi manipulatif hingga justru aparatlah yang melakukan tuduhan dan tindakan kekerasan kepada masyarakat). Sistem demokrasi membebaskan kita untuk menuliskan semacam Communist Manifesto, bebas berperan (cosplay) menjadi Karl Marx, tapi kita akan ditangkap bila kita melakukan kekerasan atau membunuh Raja Prancis. Dan tentu kita bebas pula menuliskan semacam Mein Kampf, bebas berperan (cosplay) menjadi Adolf Hitler, tapi kita akan ditangkap bila kita melakukan kekerasan premanisme atau melakukan genosida. Itulah sistem demokrasi yang mengizinkan orang untuk bebas berpikir, bebas berekspresi, namun dibatasi oleh konsekuensi masuk penjara bila melakukan suatu tindakan kekerasan. Tapi tentunya kita bebas mempertanyakan ulang; kalau masyarakat tidak boleh melakukan kekerasan atas nama kesejahteraan, apakah aparat boleh melakukan kekerasan atas nama keamanan?
Mengapa Aparat Tidak Berbenah Diri, tapi Justru Sibuk Menyita Buku?
Sampai paragraf ini, kita bisa mencurigai motif apa yang melandasi aparat dalam menyita buku. Setidaknya kita bisa membuat tiga asumsi. Pertama, aparat memang menggunakan silogisme sempit dalam memandang suatu fenomena/peristiwa seperti yang telah saya uraikan di muka –singkatnya; moron. Kedua, aparat memang tidak menghendaki sistem demokrasi; yakni tidak menghendaki kebebasan berpikir dan kebebasan berekspresi (maupun kebebasan berbicara/freedom of speech). Sehingga yang diinginkan hanyalah cara pandang seragam, bukan cara pandang yang beragam. Dengan kata lain, sesungguhnya aparat hanya menghendaki sistem demokrasi secara de jure, namun tidak menghendaki sistem demokrasi secara de facto.
Ketiga, aparat sesungguhnya menghendaki sistem demokrasi, akan tetapi aparat melakukan penyitaan buku tersebut agar dapat membentuk citra diri sebagai pahlawan yang hendak menyelamatkan masyarakat, di samping aparat mencitrakan para demonstran sebagai orang-orang yang berbahaya dengan buku-buku yang berbahaya pula. Itulah salah satu upaya aparat dalam mencitrakan diri sebagai institusi yang baik dengan cara menjadi pahlawan penyita buku, sembari mengklaim bahwa para demonstran yang mengonsumsi buku-buku adalah orang-orang yang berbahaya. Lengkaplah sudah, pihak aparat tercitra sebagai orang-orang baik, dan pihak demonstran tercitra sebagai orang-orang jahat. Mungkin skenario semacam itulah yang hendak dibangun oleh aparat. Atau mungkin skenario tersebut adalah bentuk realisasi dari orang-orang yang mengidap sindrom hero?
Setidaknya tiga asumsi di atas dapat dengan mudah timbul dan terlintas di benak kita. Kita sebagai masyarakat yang dapat menggunakan silogisme secara luas dan mendalam, kita yang mengetahui fungsi buku sebagai wacana diskursus, dan kita yang menghendaki sistem demokrasi, tentu akan sulit menyangkal tiga asumsi tersebut. Dan tentu saja, siapa pun yang dengan mudah menyangkal tiga asumsi tersebut, maka dapat kita sebut sebagai orang yang berada dalam barikade yang sama dengan aparat.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB