Membaca Sejarah Bibliosida dari Penyitaan Buku di Rumah Delpedro Marhaen
Sejarah menunjukkan bahwa buku-buku yang disita atau dilarang akan semakin dicari, dibaca, dan disebarkan oleh orang-orang muda pencari kebenaran.
Penulis Salma Nur Fauziyah16 September 2025
BandungBergerak.id - Penyitaan buku menjadi salah satu yang mencolok dari penggeledahan polisi di kediaman pribadi dan kantor Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Delpedro Marhaen, yang ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal penghasutan. Beberapa video penggeledahan yang diunggah akun Instagram @pedeoproject menuai banyak komentar protes penyitaan buku. Warganet menuding aparat tengah mempraktikkan sikap antipengetahuan.
“Kami rasa saat buku disita, saat itu juga negara sudah tidak akan ragu untuk mengkriminalisasi pemikiran,” tulis salah satu akun X dengan nama pengguna @membaca_melawan.
Penyitaan buku menjadi anomali di era pentingnya literasi yang oleh pemerintah pusat maupun daerah kerap digaungkan dalam acara-acara seremonial. Reza, pengelola komunitas literasi di Kota Cimahi, mempertanyakan mengapa fenomena penyitaan buku masih saja terjadi di tahun yang menuntut keterbukaan informasi.
“Kalau ini terjadi, berarti ini bisa terjadi juga untuk kita gitu. Maksudnya ketika kita melakukan sesuatu dan sulit untuk dicari barang buktinya, buku teh bisa jadi alasan gitu,” ungkap pemuda 24 tahun, kepada BandungBergerak.id, Jumat, 12 September 2025.
Di sisi lain, penyitaan buku yang menimpa Delpedro menimbulkan kekhawatiran bagi pegiat literasi. Sebagai seorang pengelola komunitas literasi, Reza sering menggelar diskusi dengan beragam tema, termasuk mengulas beragam isu yang yang dianggap ‘haram’ oleh negara.
Namun Reza tetap optimis bahwa setiap buku akan menemui jalannya sendiri untuk tetap hidup dan dibaca. Orang-orang melek literasi akan tetap membaca meskipun banyak kasus pelarangan dan pembredelan buku.
Reza berharap pemerintah dan aparat tidak melarang ataupun menyita buku. Buku-buku tersebut ada justru untuk dibaca.
“Mending lu urusin yang harus lu urus gitu. Daripada nyita-nyita buku. Toh, disita juga ada lagi ada lagi kan?” katanya, sambil tertawa.
Komentar serupa juga turut disampaikan penulis dan penyunting lepas Sylvie, 38 tahun. Ia menilai penyitaan buku dalam kasus Delpedro “Sangat kentara mengada-ada dan sangat dipaksakan”. Ia mempertanyakan mengapa tidak ada penjelasan lebih lanjut dari aparatnya sendiri mengenai penyitaan buku tersebut.
“Ini membuat saya melihat penyitaan buku sebagai semacam peringatan bahwa siapa pun yang kritis bisa diciduk negara lewat alasan apa pun,” ungkap Sylvie.
Sebagai seorang pembaca, Sylvie tidak merasa ada ketakutan jika sewaktu-waktu aksesnya untuk membaca akan terputus. Ada 1.001 cara untuk bisa mengakses bacaan yang mungkin terlarang.
“Dulu pas zaman pelarangan buku Pram aja orang kreatif cari cara buat dapetin apalagi sekarang,” tulis katanya, mengacu pada karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang dilarang di era Orde Lama dan Orde Baru.
Baca Juga: Membincangkan Sejarah Penghancuran Buku di Toko Buku Bandung
Daftar Buku Terbitan Bandung yang Dilarang Orde Baru
Pelarangan Buku dari Masa ke Masa
Indra Prayana, pegiat buku dan surat kabar, dalam esainya di BandungBergerak menyatakan, sepanjang sejarah pelarangan dan penghancuran buku telah menjadi cara sistematis untuk menghapus ingatan kolektif suatu bangsa. Buku dan perpustakaan, sebagai penjaga sejarah dan pengetahuan, sering kali menjadi korban dalam konflik kekuasaan.
Bahkan negara demokratis seperti Amerika Serikat tercatat pernah melakukan tindakan bibliosida saat invasi ke Irak tahun 2003, di mana banyak perpustakaan dan museum dihancurkan. Peristiwa ini disaksikan langsung oleh Fernando Baez, yang kemudian menulis buku "Penghancuran Buku dari Masa ke Masa".
Fernando Baez mencatat, praktik penghancuran buku oleh negara atau otoritas tertentu sudah berlangsung dari zaman kuno. Praktik bibliosida ini masih bisa ditemui hingga sekarang lewat penyensoran, penyitaan, pembatasan, dan lain sebagainya.
Baez menyatakan, orang-orang yang menghancurkan buku (biblioklas) mereka mengetahui seberapa penting sebuah buku atau sebuah arsip bagi peradaban manusia. Buku dianggap sebagai pelembagaan ingatan, sebagai kepingan warisan kebudayaan yang perlu dipelajari terus menerus.
“Tak ada identitas tanpa ingatan. Jika kita tidak ingat siapa kita, kita tidak akan mengenal siapa diri kita,” tulis Baez.
Maka, tidak mengherankan sebuah invasi ataupun upaya menghilangkan jejak-jejak masa lalu dilakukan dengan cara memberangus buku-buku. Beberapa peristiwa yang dapat diingat sebagai penghancuran buku oleh negara atau otoritas di sepanjang abad 20 ini misalnya bibliocaust di Jerman saat pendudukan Nazi. Ada pula penghancuran buku oleh rezim militer di Chile dan Argentina untuk menghalau ideologi komunisme atau marxisme.
Di Indonesia pelarangan buku memiliki sejarah panjang, dimulai sejak masa kolonial Belanda. Pemerintah kolonial melalui Balai Pustaka bukan hanya menerbitkan buku, tetapi juga menyensor dan melarang bacaan yang dianggap membahayakan kepentingan kolonial. Buku-buku yang bersifat kritis dan dianggap menghasut rakyat dilarang beredar.
Di masa Hindia Belanda tulisan-tulisan yang diproduksi oleh para pejuang kemerdekaan dianggap sebagai “bacaan liar”. Bacaan ini kerap kali menjadi pengantar bagi pergerakan untuk menunjukan kondisi masyarakat yang dieksploitasi oleh Belanda.
“Pemerintah Belanda menghambat perkembangannya dengan menguasai percetakan, penerbitan, peredaran bahan bacaan, dan melakukan pemenjaraan terhadap pengarang yang dianggap menyebar kebencian terhadap penguasa,” tulis Dwi Kartikasari dan Anik Andayani, dalam penelitian berjudul “Pelarangan Buku-buku Karya Sastrawan Lekra Tahun 1965-1968”.
Setelah kemerdekaan, Indra Prayana mencatat, praktik pelarangan buku terus berlanjut. Di masa akhir kekuasaan Sukarno, buku-buku karya tokoh-tokoh seperti Mochtar Lubis, Hamka, Sjahrir, hingga Pramoedya Ananta Toer mengalami pelarangan. Bahkan tulisan Bung Hatta berjudul “Demokrasi Kita” menyebabkan majalah Panji Masyarakat dibredel.
Pelarangan mencapai puncaknya di era Orde Baru. Pemerintah tidak hanya melarang buku berhaluan kiri atau kanan ekstrem, tapi juga membungkam media kritis. Salah satu kasus mencolok terjadi pada 1997, ketika buku "Era Baru Pemimpin Baru" karya Soebadio Sastrosatomo dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung. Buku tersebut berisi kritik tajam terhadap pemerintahan Suharto dan menyerukan perlunya pemimpin nasional yang sejati, bukan sekadar penguasa.
Larangan terhadap buku itu dianggap subversif karena menyajikan narasi berbeda dari versi resmi pemerintah, termasuk soal Supersemar, eksploitasi sumber daya alam oleh asing, dan pemilu yang direkayasa. Meski dilarang, buku ini tetap dibaca dan disebarkan secara diam-diam, menunjukkan bahwa di balik represi, semangat untuk mencari kebenaran tetap hidup, terutama di kalangan mahasiswa.
Dwi Kartikasari dan Anik Andayani membeberkan salah satu regulasi yang mengatur pelarangan buku di era Orde Baru, yakni Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 1381/1965 tentang daftar buku-buku yang ditulis oleh penulis Lekra yang mesti dibekukan. Akibatnya, buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer hingga S. Rukiah dilarang peredarannya. Aturan ini juga berdampak pada buku-buku yang beraksara mandarin.
Bahkan di era setelah reformasi pelarangan buku masih terjadi. Tahun 2019 toko buku di Sumatera Barat terkena sweeping dan penyitaan oleh aparat. Aparat menduga bahwa buku-buku yang dijual mengandung paham beraliran kiri yang dilarang TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 mengenai pelarangan penyebaran ajaran leninisme/komunisme. Padahal menurut Elsam, penyitaan ini menyalahi aturan putusan MK No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 tentang perlindungan terhadap hak milik.
Dalam sejarahnya, semakin dilarang buku-buku itu akan tetap dicari, dibaca, dan disebarkan secara diam-diam. Di balik represi, semangat untuk mencari kebenaran tetap hidup terutama di kalangan orang-orang muda.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB