• Kolom
  • MEMOAR BUKU #3: Pengalaman Menemukan Buku yang Dilarang di Masa Orde Baru

MEMOAR BUKU #3: Pengalaman Menemukan Buku yang Dilarang di Masa Orde Baru

Pada awal tahun 1997 pemerintah melalui Kejaksaan Agung melarang beredarnya buku Era Baru Pemimpin Baru karya Soebadio Sastrosatomo.

Indra Prayana

Pegiat buku dan surat kabar

Sampul buku Era Baru Pemimpin Baru karya Soebadio Sastrosatomo. (Foto: Indra Prayana)

19 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Ada pameo klasik yang menyebut bahwa untuk menghancurkan suatu bangsa itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menghapus ingatan kolektif atau menghancurkan sejarahnya, dengan begitu bangsa itu akan kehilangan jati diri dan merasa gagap dengan peradabannya. Buku atau perpustakaan sebagai artefak yang menyimpan bukti-bukti tertulis sangat rentan untuk dihancurkan.

Bangsa yang mengaku paling beradab dan demokratis sekalipun (Amerika) tak luput melakukan perilaku barbar menghancurkan buku atau Bibliocida. Amerika Serikat ketika  melakukan invasi ke Irak pada tahun 2003 dengan misi awal melucuti senjata pemusnah massal, malah banyak membuat kerusakan dan kehancuran, termasuk buku-buku yang ada di berbagai perpustakaan.

Fernando Baez seorang penulis asal Venezuela yang menyaksikan langsung bagaimana buku, perpustakaan dan museum-museum yang mempunyai nilai tak ternilai diluluhlantakkan saat pasukan Amerika mengepung kota-kota di Irak. Keprihatinan dan kesaksiannya itu yang merangsang ia menulis bukunya yang fenomenal Historia Universal de la Destruccion de Libros atau yang diterjemahkan menjadi Penghancuran Buku dari Masa ke Masa dan diterbitkan Marjin Kiri.

Indonesia juga memiliki sejarah panjang tentang praktik-praktik pelarangan ataupun penghancuran buku. Zaman Hindia Belanda kita mengenal Commissie Voor de Inlansche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) atau Balai Pustaka yang didirikan oleh pemerintah kolonial pada 15 Agustus 1908.  Selain menerbitkan bahan bacaan untuk rakyat, Balai Pustaka juga menjadi satu-satunya komisi yang diberi otoritas dan kewenangan penuh untuk menerbitkan berbagai bahan bacaan. Maka ketika ada buku yang tidak dikeluarkan oleh komisi ini maka itu dianggap sebagai bacaan liar, tidak mendidik dan berbahaya sehingga dampaknya buku-buku di luar terbitan balai Pustaka dibredel dan dilarang oleh pemerintah kolonial. Umumnya buku-buku yang diterbitkan di luar Balai Pustaka, berupa buku yang dianggap “menghasut” untuk melawan kepentingan kolonial.         

Pelarangan buku juga banyak terjadi , meski Indonesia sudah menjadi negara merdeka. Soekarno sebagai presiden diujung kekuasaannya justru banyak “menghukum” orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Ada Mochtar Lubis, Hamka , Sjahrir, buku Hoakiau di Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer juga dilarang. Bahkan Demokrasi Kita tulisan Bung Hatta telah membuat majalah yang memuatnya (Panji Masjarakat) di bredel.

Baca Juga: MEMOAR BUKU #1: Mendapatkan Buku Kaum Tani Mengganjang Setan-setan Desa
MEMOAR BUKU #2: Membeli Buku Pertama, Bendera Sudah Saya Kibarkan

Pelarangan Buku di Zaman Orde Baru

Pelarangan buku pada zaman Orde Baru semakin masif. Tidak hanya buku-buku berpaham “Eki & Eka” atau Ekstrem Kiri/Ekstrem Kanan yang dilarang, tetapi juga koran , majalah dan surat kabar yang kritis teradap pemerintah tak luput dari beredel.  

Pada awal tahun 1997, misalnya pemerintah melalui Kejaksaan Agung melarang beredarnya buku Era Baru Pemimpin Baru tulisan Soebadio Sastrosatomo. Pelarangan itu bermula saat ratusan pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Dewan Kedaulatan Rakyat Indonesia (DKRI ) pada tanggal 5 Januari 1997 mendatangi rumah Soebadio di Jalan Guntur 49 Jakarta dan melakukan demonstrasi yang meminta Soebadio tampil memimpin Indonesia untuk menegakkan kedaulatan rakyat. Dalam pandangan para pemuda mahasiswa saat itu, Indonesia tidak memiliki kepemimpinan nasional tetapi yang ada hanyalah seorang penguasa. Selaras dengan pemikiran para pemuda dan mahasiswa, Soebadio meresponsnya dengan ikut membacakan pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh DKRI.

Adapun poinnya sebagai berikut.

PERNYATAAN

Telah terjadi pembusukan demokrasi dalam bentuk penafsiran tunggal Undang-undang Dasar 1945 oleh penguasa. Sehingga hak politik rakyat untuk menentukan kepemimpinannya telah dikebiri. Padahal jelas pada pasal 1 ayat 2 UUD 45, “ kedaulatan ada ditangan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

Juga selama ini telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan ajaran Pancasila terutama pasal 28 UUD 45, tentang kebebasan berserikat / kemerdekaan/ keadilan sosial serta adanya kekosongan “Pemimpin Nasional’ sebagai pedoman rakyat, sementara yang ada hanya penguasa, bukan pemimpin nasional.

Sebagai koreksi atas penyimpangan tersebut diatas , kami Dewan Kedaulatan Rakyat Indonesia mengajukan kepemimpinan nasional yang dijiwai oleh UUD 45 dengan kriteria:

  1. Mengerti sepenuhnya tujuan proklamasi Republik Indonesia
  2. Aktif memberikan Pendidikan politik dalam arti politik untuk kemaslahatan rakyat bukan untuk kekuasaan. Arif pandangan dan luas wawasan serta demokratis
  3. Tanpa pamrih membela rakyat dan selalu berusaha menyelamatkan kesatuan bangsa dan Negara Republik Indonesia dan menentang segala bentuk penyimpangan pelaksanaan UUD 45.
  4. Mendahulukan kepentingan bangsa dan rakyat daripada kepentingan pribadi.
  5. Memiliki akhlak baik , jujur secara moral.

Dengan ini kami Dewan Kedaulatan Rakyat Indonesia memutuskan untuk mendaulat, menuntut tampilnya pemimpin nasional yang memenuhi kriteria di atas untuk berjuang Bersama rakyat merebut dan menegakan kedaulatan rakyat.

Jakarta, Minggu 5 Januari 1997

MERDEKA !!!  DEWAN KEDAULATAN RAKYAT INDONESIA

Lalu siapa Soebadio Sastrosatomo sehingga para pemuda dan mahasiswa percaya dan menaruh harapan. Dia adalah politisi gaek kelahiran Pangkalbrandan Sumatra pada 26 Mei 1919 , yang dulu aktif di Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Sjahrir. Kedekatannya dengan Sutan Sjahrir membawanya untuk memimpin Fraksi PSI di parlemen. Sebagai seorang sosialis, ia sangat kuat dalam memperjuangkan prinsip-prinsip keadilan sosial dan kedaulatan rakyat. Sikapnya yang kritis terhadap berbagai penyimpangan kekuasaan membuatnya keluar masuk penjara. Ketika Soekarno membubarkan PSI pada tahun 1960, ia dan tokoh politik lain yang kritis terhadap rezim Soekarno serta pandangan politiknya yang anti PKI membuatnya harus mendekam dibalik jeruji. Begitu pun ketika Soeharto naik sebagai presiden, ia juga harus berurusan dengan hukum karena tuduhan terlibat peristiwa Malari 1974.

Pelarangan buku Era Baru Pemimpin Baru dibacakan langsung oleh Jaksa Agung Singgih, S.H. yang tertuang dalam keputusan Jaksa Agung nomor : KEP- 020 / J.A./03 / 1997 dengan spesifikasi berjudul : Larangan Beredar Barang Cetakan/Buku Berjudul : “ ERA BARU PEMIMPIN BARU” Badio Menolak Rekayasa Rezim Orde Baru, Soebadio Sastrosatomo Nomor Khusus – Seri -VIII / 1997 Pusat Dokumentasi Politik Guntur 49 Jakarta – Januari 1997.

Berburu Buku Era Baru Pemimpin Baru

Pasca pelarangan itu saya jadi penasaran terhadap isinya dan mulai untuk mencari bukunya. Meskipun belum tahu juga di mana dan harus ke mana mencarinya , karena sudah menjadi barang yang dilarang tentu akan sulit mendapatkannya. Kalaupun ada orang yang sudah keburu memilikinya tentu akan bersikap hati-hati kalau tidak ingin berurusan dengan hukum. Di kalangan mahasiswa isu pelarangan buku sudah menjadi bahan perbincangan. Seorang kawan bernama Anton Santosa yang juga adik kelas saya di FISIP UNLA dapat informasi bahwa temannya yang kuliah di ITB punya buku tersebut.

“Ton.. iya gitu temanmu punya buku itu ?“ tanyaku.

“Iyah...punya!”

“Pinjamlah sehari!”

Anton sendiri sebenarnya tidak ada ketertarikan pada buku, apalagi membincangkan isu pelarangan buku. Maka ketika ia memberikan buku itu kepada saya secara terbuka, saya langsung menegurnya untuk bersikap hati-hati karena ini buku terlarang. Setelah buku sampai ditangan, saya bergegas untuk menggandakannya. Waktu itu tempat foto copy terdekat berada di seberang kampus di Jalan Karapitan 116.  Saya tidak langsung meng-copy-nya tetapi melihat situasi terlebih dulu, maklum di kampus yang berada di bawah naungan Yayasan Brata Bhakti Polri tentu tidak hanya mahasiswa reguler tetapi juga ada yang merangkap sebagai polisi ataupun intel. Setelah dipastikan tempat sepi, setengah berbisik saya minta untuk dibuatkan 2 copy-nya dari buku yang berikan ke petugas foto copy. Di saat menunggu hasilnya itu perasaan tegang, waswas, dan takut begitu terasa. Rasa kaget saya semakin tak karuan saat teman satu kelas Itin Suhartini yang mau meng-copy tugas kuliah mengagetkan saya.

Darrrrrr....

”Yehh foto copy apa?” 

Tak lama saya menuntaskan buku tipis setebal 20 Halaman yang diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi Politik  “Guntur 49”  pada tahun 1997 ini. Dahaga keingintahuan kenapa buku ini dilarang terpenuhi meski bukunya dapat pinjam. Saya menyimpulkan kenapa buku Era Baru Pemimpin Barru ditarik dari peredaran karena buku ini menyampaikan informasi berbeda atau antitesa dari yang selama ini disampaikan secara resmi oleh pemerintah. Misalnya yang terkait dengan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Buku itu misalnya menyebutkan sebagai berikut.

“Surat perintah itu jelas bukan berisi pelimpahan kekuasaan, melainkan pelimpahan tugas. Selaku yang diperintahkan, Soeharto berkewajiban melapor kepada Soekarno mengenai apa yang dikerjakannya sesuai perintah itu. Tetapi kewajiban itu tidak dilaksanakan Soeharto”. ( Hal : 4)  

Lalu ada yang terkait dengan Sumber Daya Alam.

“Eksploitasi sumber daya alam macam Freeport di Irian Jaya atau Tambang emas di Kaltim menjadi bukti bahwa yang diuntungkan dalam pembangunan proyek itu,  bukan bangsa Indonesia tetapi modal asing, Soehato dan konco-konconya”. (Hal : 7)

Belum lagi yang terkait dengan pemilu dan suksesi, sebagaimana ditulis dalam buku tersebut.

“Pemilu dan suksesi itu tidak ada! Itu omong kosong! Yang saya maksud omong kosong , pemilu dan suksesi yang benar. Jujur dan adil! Yang ada selama ini hanyalah rekayasa Soeharto”. ( Hal : 13)  

Dalam kacamata kekuasaan tentu menilai ini sebagai subversif, menghina presiden, dan berbahaya kalau masyarakat sampai membaca dan mengetahuinya. Tetapi disisi lain saat itu seorang mahasiswa semester 5 sedang membaca , membenarkan dan menyebarkan (foto copy) apa yang ditulis dalam buku ERA BARU PEMIMPIN BARU : Badio Menolak Rekayasa Rezim Orde Baru.   

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan Indra Prayana, dan artikel-artikel lain tentang Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//