MEMOAR BUKU #1: Mendapatkan Buku Kaum Tani Mengganjang Setan-setan Desa
Buku Kaum Tani Mengganjang Setan-setan Desa karya D.N. Aidit terbit tahun 1964, berisi laporan singkat hasil riset keadaan kaum tani dan gerakan tani di Jawa Barat.
Indra Prayana
Pegiat buku dan surat kabar
5 Agustus 2024
BandungBergerak.id – Pelataran Cicadas merupakan satu titik dari peta buku bekas di Bandung yang mempunyai kenangan tersendiri bagi para pecinta buku. Lapak-lapak buku di sini merupakan limpahan para pedagang buku “senior” yang sudah malang-melintang di ranah jual beli buku bekas. Terdapat kurang lebih 10 kios lapak yang menempati trotoar jalan. Setiap lapak berukuran sekitar 2x3 meter, dengan sekat setengah meteran. Di Cicadas, di antaranya ada Pak Yadi, Pak Diman , Asep, Pak Odjo, Pak Bubun, dan Maman.
Sejak masih kuliah, saya tergolong rajin menyambangi lapak-lapak di pelataran Cicadas untuk mencari buku-buku yang menarik sebagai bahan bacaan sendiri atau kebutuhan komunitas. Di samping harganya yang murah, koleksi buku di sini sering tak terduga, langka, dan antik.
Pertengahan tahun 2000, saya banyak beraktivitas di kampus untuk sekadar berkumpul, berorganisasi, dan berdiskusi dari hal-hal yang serius ataupun remeh-temeh sambil ditemani kopi dan rokok. Tidak jarang saya harus pulang kelewat sore atau bahkan larut malam.
Suatu waktu selepas isya, saya mampir dulu ke lapak buku Cicadas sebelum jalan ke rumah. Seperti biasa satu per satu lapak saya datangi untuk melihat-lihat buku yang terpajang, tetapi malam itu tidak ada satu pun buku yang terpaut di hati untuk dibeli, hingga Pak Odjo memanggil saya.
“ A ..aya buku antik,” katanya.
“Mana? Buku naon, Pak?” tanya saya penasaran.
“Buku komunis, tapi bukuna di rumah, ke besok weh kadieu deui!”.
Setelah percakapan tak lama itu, saya pulang diliputi rasa penasaran tentang buku komunis yang dimaksud. Kajian tentang buku “kiri” yang dianggap membawa paham komunisme sangat “sexy” karena selama Orde Baru, semua yang berbau ideologi tersebut sangat haram untuk disebarkan meskipun itu dalam tataran kajian ilmiah akademis.
Terkait istilah “kiri”, Martin Suryajaya dalam salah satu pengantar buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula (2016) yang diterbitkan Ultimus, menyebut bahwa: “Terlepas dari perdebatan verbal di kalangan para sarjana tentang terminologi ‘kiri’, kita di gerakan kiri sadar bahwa yang dimaksud ‘kiri’ di Indonesia itu sudah jelas: semua yang mengarah pada PKI dan semua yang lahir dalam kenangan akan PKI dan varian-variannya. Para sarjana bisa bicara berbusa-busa tentang definisi ‘kiri’ yang diperlonggar sampai-sampai meliputi orang-orang sosialis-kanan macam Sutan Sjahrir. Tapi kita di ‘gerakan’ tahu betul mana yang kiri dan mana yang kanan”. ( Hal: LXXXII)
Baru selepas reformasi 1998, buku-buku “kiri” yang sebelumnya dilarang, banyak bermunculan diterbitkan kembali.
Baca Juga: Dua Dekade Bersama Jaringan Buku Alternatif (JBA) Bandung
Musik Metal dan Generasi Muda Radio (GMR) Bandung
Menjawab Pertanyaan Anak tentang Tuhan
Buku Komunis Itu
Keesokan harinya, sekitar jam 19.30 malam, saya bergegas kembali ke lapak buku Cicadas untuk menemui Pak Odjo terkait buku komunis yang dijanjikan itu. Sambil duduk dibekas pot bunga trotoar, kami berbincang.
“Mana Pak buku komunis teh?”
“Oh ..enya aya di bawa!” jawabnya.
Tak lama kemudian Pak Odjo mengeluarkan keresek hitam yang diambil dari bawah lapak. Ternyata bukunya tidak dipajang dan memang sudah dipisahkan. Ketika keresek dibuka, saya merasa kaget dan jantung berdegup kencang. Buku itu tidak terlalu tebal dengan kertasnya pun sudah sedikit menguning. Cover-nya bergambar seorang petani yang sedang memegang celurit dan judulnya tertulis: "Kaum Tani Mengganjang Setan2 Desa". Penulisnya: D.N. Aidit, ketua Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sebentar saya terdiam sambil menghela napas panjang. Tanpa berpikir lama, saya menanyakan harga buku. Dengan uang 40 ribu rupiah, buku itu akhirnya saya dapatkan. Tak ketinggalan, pesan agar kalau menemukan buku-buku seperti ini lagi, pisahkan buat saya. Baru kemudian saya bergegas pulang dengan memacu kuda besi Honda 70 warna merah.
Sesampai di rumah, saya mengisi perut terlebih dahulu sebelum masuk ke kamar dan mulai memeriksa dan membaca buku itu dengan seksama. Jantung saya semakin berdegup karena dalam buku tersebut terdapat tanda tangan D.N. Aidit sebagai penulisnya. Meskipun tanda tangan itu tidak basah (langsung), melainkan stempel, paling tidak hal ini mengisyaratkan buku tersebut pernah berada di lingkaran satu sekretariat CC PKI dengan seizin ketua.
Berbasis Riset
Buku "Kaum Tani Mengganjang Setan-setan Desa" setebal 104 halaman dan diterbitkan pada tahun 1964 oleh penerbit Jajasan Pembaruan, sebuah lini penerbitan yang menjadi organ propaganda partai dalam menyebarluaskan paham Marxisme.
Buku ini terdiri dari 9 tema judul, dimulai dengan tema Pentingnya Pekerjaan Riset dan Pentingnya Kaum Tani. Sejak tahun 1951 metode riset sudah digunakan kaum komunis untuk mengetahui berbagai persoalan petani dan kemasyarakatan. Teknisnya bisa dengan menyebarkan angket (kuesioner) ataupun formulir lainnya. Bahkan Kongres Nasional VI Partai tahun 1959 menyimpulkan bahwa kader-kader partai harus bekerja berdasarkan hasil-hasil riset atau bekerja secara ilmiah untuk memperbaiki pekerjaan praktis mereka dalam membangkitkan, mengorganisasi, dan memobilisasi massa, terutama massa buruh dan tani. Pentingnya kaum tani sebagai soko revolusi menuntut semua kader partai, tak terkecuali D.N. Aidit sebagai orang nomor satu di partai memberi arahan langsung riset tentang kaum tani yang tertuang dalam buku ini.
Lebih jauh buku ini memetakan pembagian kelas yang terdapat di berbagai desa tempat penelitian. Pertama, kelas Tuan Tanah atau seseorang yang memiliki puluhan atau ratusan bahkan ribuan hektar tanah. Kedua, kelas Tani Kaya yang umumnya masih turut melakukan pekerjaan produksi tetapi sebagian tanahnya dikerjakan dengan menggunakan upah buruh tani. Ketiga, Tani Sedang yang tanahnya dikerjakan sendiri dan hasilnya sekedar cukup untuk keluarga. Keempat, Tani Miskin atau semi proletar desa yang hasil tanahnya tidak cukup untuk hidupnya. Ke lima, Buruh Tani kelas rakyat yang tidak memiliki tanah sama sekali dan sepenuhnya hidup hanya mengandalkan atau menjual tenaganya. Lalu ke enam, kelas Kapitalis Birokrat (Kapbir) desa yang menekan kaum tani untuk menjual hasil produksinya kepada perusahaan-perusahaan Kapbir di kota. Kelas ini erat hubungannya dengan tuan tanah jahat, tukang ijon, serta tengkulak. Ketujuh, kelompok Bandit-bandit Desa yang kerjanya melakukan kejahatan untuk membela kepentingan kelas pengisap, terutama tuan tanah dan Kapbir.
Kondisi seperti itulah yang banyak terjadi di desa-desa, khususnya di Jawa Barat, sehingga kaum komunis merasa perlu untuk melaksanakan pendekatan ilmiah melalui sebuah riset. Dengan menggunakan metode penelitian random sampling, dari sekitar 350 kecamatan di Jawa Barat saat itu hanya diambil sekitar 24 kecamatan dari 16 kabupaten yang cukup mewakili. Adapun parameternya kenapa hanya 24 kecamatan itu yang dijadikan tolak ukur karena tempat atau desa tersebut merupakan bekas daerah basisnya gerakan kontra revolusioner DI/TII atau desa tersebut belum ada organisasi BTI (Barisan Tani Indonesia)-nya dan juga banyak terdapat tuan-tuan tanah perkebunan dan kehutanan. Dengan begitu, daerah-daerah yang diteliti cukup mencerminkan gambaran desa-desa di Jawa Barat secara keseluruhan.
Aidit pernah menganalogikan metode random sampling begini : ” Untuk mengetahui burung gereja atau kelinci, tidak perlu semua burung gereja dan kelinci dibunuh dan diperiksa, cukup membunuh dan memeriksa beberapa ekor saja. Demikian pula untuk mengetahui desa-desa Jawa Barat tidak perlu semua desa diriset”.
Sekitar jam 11 malam, buku rampung dibaca. Isi secara keseluruhan bisa disimpulkan sebagai sebuah laporan singkat tentang hasil riset mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani di Jawa Barat, yang dipimpin langsung oleh Aidit sendiri. Adapun risetnya dilaksanakan selama 7 pekan dari tanggal 2 Februari hingga 23 Maret 1964 di berbagai kecamatan, seperti Bojong Picung (Cianjur), Cipendeuy dan Ciwidey (Bandung), Karang Nunggal (Tasik), Sagalaherang (Subang), dan Cimalaka (Sumedang). Rangkaian riset di Jawa Barat yang membawa slogan “Perhebat Pengintegrasian dengan Penelitian” ini merupakan bagian upaya mendekatkan kader dan partai dengan kaum tani.
Sehari sesudah penelitian selesai, yakni tanggal 24 Maret 1964, Aidit mulai menuliskan hasilnya. Buku "Kaum Tani Mengganjang Setan-setan Desa" ditulis di sebuah tempat yang asri dengan udara sejuk di kaki Gunung Pangrango yang terhubung dengan Gunung Gede dan Gunung Salak.
Sambil terdiam, alam pikiran saya justru menjelajah ke masa di mana buku itu terbit dan tahun-tahun sesudahnya. Saya membayangkan bagaimana jargon-jargon panas yang berseliweran seperti Kapbir, Ganjang 7 Setan Desa, Revolusi, dan lainnya akan memancing reaksi kelompok lain sehingga potensi terjadi konflik horizontal sangat besar. Saya juga membayangkan bagaimana kader-kader komunis berkampanye langsung hadir di tengah rakyat yang termarginalkan. Bahkan tertulis setiap kader partai “kalau perlu harus menceboki anak petani” (Hal: 18) sebagai implementasi 3 Sama: sama bekerja, sama makan, dan sama tidur dengan buruh tani atau tani miskin. Bagaimana PKI tidak besar kalau model kampanyenya seperti itu? Dan masih banyak pertanyaan lain yang terlintas dalam benak.
Kepada beberapa kawan, saya jual foto copy "Kaum Tani Mengganjang Setan-setan Desa". Ketika saya berjualan buku di trotoar Jalan Merdeka dan Jalan Purnawarman depan CCF, saya juga menjual kopian buku ini dan ternyata banyak yang berminat, terutama di kalangan mahasiswa Unisba, ITB , Unpas, dan Unpar. Print out buku ini tersebar. Mereka tertarik karena selain bukunya sangat langka, penulisnya adalah seorang ketua umum dari sebuah partai terlarang.
Pada tahun 2010, kebutuhan hidup mendesak saya untuk menjual buku langka ini. Tentu harganya tidak semahal kalau dijual saat sekarang. Hanya arsip saja yang kini tersisa.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan Indra Prayana, dan artikel-artikel lain tentang Buku