• Opini
  • Dua Dekade Bersama Jaringan Buku Alternatif (JBA) Bandung

Dua Dekade Bersama Jaringan Buku Alternatif (JBA) Bandung

Jaringan Buku Alternatif (JBA) sudah berusia 20 tahun. Awalnya berjualan di emperan CCF (IFI) Bandung, pindak ke Jalan Merdeka ketika jalan ini masih dikuasai PKL.

Indra Prayana

Pegiat buku dan surat kabar

Di trotoar prapatan Jalan Merdeka-Riau, Bandung, ini, Jaringan Buku Alternatif (JBA) pertama kali dicetuskan, 20 tahun lalu. (Foto: Qori Qonita)

8 Oktober 2023


BandungBergerak.idDalam kultur feodal biasanya terdapat hierarki yang bisa menempatkan seseorang pada stratifikasi sosial tertentu. Dulu ketika kita sebagai bumiputra merasa inferior di hadapan “para pendatang” yang memiliki berbagai kemampuan baik itu secara kekuasaan, pendidikan, peradaban ataupun pekerjaan, sehingga mereka bisa menjajah dan menguasai kita sebagai manusia berdaulat.

Implikasi dari cara berpikir yang masih kental kolonial ini juga sempat kami rasakan selepas menyelesaikan kuliah, berbagai tuntutan yang bermuara pada nilai ekonomis dan prestise seakan suatu keniscayaan. Pada periode waktu itu saya bersama dua orang teman, Dandan Mardiana (Damar) dan Rikky Yusuf Hamdani (Rikuh) memutuskan untuk berusaha menepis sesat pikir tersebut.

Langkah pertama yang dilakukan adalah menjual beberapa koleksi buku-buku kami yang sebelumnya sering dijadikan bahan bacaan dan kajian diskusi dengan teman-teman mahasiswa Universitas Langlang Buana (Unla) yang tergabung dalam Lembaga Studi Analisa dan Informasi (Lestari), semacam wadah pengkaderan mahasiswa untuk berlatih nalar kritis dan menuangkannya ke dalam berbagai bentuk tulisan.

Adapun lokasi untuk menjual buku di Jalan Purnawarman 32, tepat depan Centre Culturel Francais (CCF), sekarang berganti nama menjadi IFI (Institut Francais Indonesie), lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan kedutaan negara Prancis. Pertimbangannya selain tempatnya strategis di mana banyak komunitas-komunitas berkumpul, juga untuk memotong arus lalu lalang orang yang menuju ke arah toko buku Gramedia pintu belakang. Berbagai genre buku terutama yang berkait dengan sastra, budaya, pemikiran ataupun pergerakan menjadi pilihan kami. Berbekal kain berukuran 1,5 meter kami memajang sekitar 200-an buku untuk dijual. Karena buku yang dijual milik sendiri, sering kali terdapat stempel atau logo yang bersifat privat. Saya sendiri menandai buku milik sendiri dengan gambar bintang dalam lingkaran merah.     

Baca Juga: Voice Of Baceprot, Perempuan dan Musik Metal
Mengenang Gang Bongkaran, Daerah Beling di Bandung
Buku-buku Bandung Paling Antik, Langka, dan Unik

Buku pertama yang terjual pada saat melapak adalah Orang Aneh karya Albert Camus. Buku ini merupakan terjemahan dari novel Il Streanger, diterbitkan oleh penerbit Nusa Indah yang berkantor di kepulauan Ende Flores tahun 1977. Pada buku Orang Aneh ini, penulisnya (Albert Camus) ditasbihkan sebagai seorang pengusung filsafat absurdisme dengan menempatkan cara pandang tokoh-tokoh dalam novel tersebut sebagai sesuatu yang menjalani hidup tetapi tidak mempunyai makna, dan juga tidak ada sumber atas makna itu sendiri.

Hanya beberapa hari saja kami membuka lapak di emperan CCF sebelum diberitahu di kawasan CCF tidak boleh ada Pedagang Kaki Lima (PKL). Ini bisa dimaklumi karena CCF merupakan perwakilan sebuah negara asing yang harus dihormati. Kami pun akhirnya berpindah tempat ke depan show room mobil di Jalan Merdeka. Saat itu sepanjang Jalan Merdeka sampai perempatan Jalan Aceh masih “dikuasai” para PKL. Mereka menjual kuliner, seni handcraft, body painting, hingga hewan-hewan langka, sedangkan untuk PKL dengan barang buku atau yang sejenisnya tidak ada. Kemungkinan adanya toko buku besar Gunung Agung yang berada di dalam Bandung Indah Plaza (BIP) dan Gramedia dianggap sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan buku warga Bandung.

Hari pertama sebelum memulai buka lapak di jalan merdeka itu, kawan kami (Rikuh) sempat-sempatnya menyiramkan air dalam kemasan di sekitar area berjualan. Ketika saya tanya kenapa disiram air, “biar jualannya laris, karena itu air jampe,” jawabnya. Mendengar itu saya bersama kawan Damar tertawa serasa geli mendengarnya. Ya, bagaimana tidak kami yang sehari-hari bergelut dengan buku, pemikiran, dialektika, dan rasionalitas tetapi masih mempercayai hal-hal yang bersifat tahayul dan irasional.

Bicara irasionalitas pada kaum intelektual, saya jadi teringat ketika membaca cerita pada masyarakat Prancis yang menjunjung tinggi logika, tetapi ketika memperingati 100 tahun Rene Descartes (bapak logika), malah banyak dari mereka yang pergi ke dukun atau paranormal. Suatu paradoks yang tidak hanya ada di kalangan akar rumput tetapi juga pada orang terdidik.

Dari Nama Jaringan Islam Liberal

Upaya memisahkan logika dan kepercayaan itu juga yang sering memantik perbincangan di antara kami tentang berbagai karakter para pedagang yang ada di sepanjang jalan Merdeka saat itu, terkhusus penjual buku. Saya membaca setidaknya ada dua karakter. Pertama, pedagang “logis” yaitu pedagang yang hanya berjualan semata tanpa menghiraukan konten, penulis ataupun asal muasal suatu buku. Sedangkan kedua, adalah pedagang buku “ideologis” yang berusaha untuk mengetahui, membaca, bahkan membincangkannya sehingga bisa berbagi dengan konsumen. Sehingga kami merasa penting untuk menetapkan sebuah nama lapak sebagai sebuah identitas yang akan memudahkan orang  lain mengingatnya. 

Semula nama “Buku Alternatif” kami sematkan sebagai pembeda dengan buku-buku mainstream yang ada di toko-toko buku besar. Perbedaan tidak hanya pada buku bekas atau baru, tetapi juga kelangkaan dan keunikan yang menjadi kekuatan kami dalam menjual buku, karena di situlah letak alternatifnya. Sedangkan diksi “Jaringan” muncul bermula dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 18 November 2002, bertajuk Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam yang ditulis oleh Ulil Absar Abdalla sebagai Koordinator JIL atau Jaringan Islam Liberal, sebuah komunitas yang aktif menyebarkan pemikiran-pemikiran liberalisme termasuk dalam kerangka pikir keagamaan.

Artikel Ulil Absar Abdalla banyak menuai  pro dan kontra di kalangan masyarakat,  tak terkecuali di kalangan kampus dan mahasiswa sehingga banyak diskursus yang dipicu oleh tulisan tersebut. Kata “Jaringan” itu bersifat aktif dan progresif yang menjadi landasannya, irisan yang sama dengan semangat kami. Sehingga nama Jaringan Buku Alternatif dengan akronim Jabal dicetuskan di awal tahun 2003. Tetapi karena terdapat kesamaan dengan salah satu penerbit, akronim Jabal diganti menjadi JBA.  

Biasanya dari jam 16.00 hingga 21.00 kami berjualan, dari rentan waktu itu banyak  pertemanan baru. Di Jalan Merdeka saya mengenal Iit Sukmiati pemilik distro dan toko buku Ommunium yang rajin memilih buku-buku sastra klasik baik yang terjemahan ataupun aslinya; jumpa Erwan Juhara pengelola Jendela Seni Bandung; akrab dengan Anas aktivis Islam yang mengelola akun buku Tanah Air; hingga ketemu Deni Rachman owner Lawang Buku yang saat itu membeli beberapa buku sastra. Satu di antara yang dibeli Deni adalah buku Three Years tulisan sastrawan Rusia Anton Chekov yang diterbitkan oleh Foreign Language Publishing House Moscow.

Buku yang dijual Jaringan Buku Alternatif (JBA) dengan stempel logo yang sama. (Sumber foto : Deni Rachman - Lawang Buku)
Buku yang dijual Jaringan Buku Alternatif (JBA) dengan stempel logo yang sama. (Sumber foto : Deni Rachman - Lawang Buku)

Sejak itu JBA banyak bekerja sama dengan Lawang Buku sebagai pemasok utama buku-buku bekas yang bermutu untuk setiap kali ada event ataupun pameran buku, karena saat itu Lawang Buku sebagai distributor penerbit belum bermain pada buku second hand. Proses simbiosis mutualisme ini juga yang akhirnya memberi keluasan pada JBA untuk berjejaring dengan berbagai komunitas ataupun manusia-manusia yang bergelut dengan buku dan literasi khususnya yang ada di Kota Bandung.

Tahun 2004 kami mencoba peruntungan dengan mengontrak sebuah kios yang ada di pasar buku Cihaurgeulis Suci. Pamor pasar buku Cihaurgeulis memang tidak sejajar dengan Pasar buku Palasari, keberadaannya di tengah pasar tradisional sering membuat pengunjung enggan untuk sengaja datang ke pasar buku Cihaurgeulis yang ada di lantai 2. Sehingga kami lebih banyak memanfaatkan koneksi pertemanan, pelanggan, dan kolektor  sebagai konsumen.

JBA juga memperluas genre dengan menyediakan buku-buku bertema Nederland-Indie, Bandoeng Tempo Doeloe, koran, majalah, ataupun komik-komik Indonesia lawas. Tak heran jika kolektor ataupun peneliti lokal dan asing sering berkunjung ke tempat kami, dan itu menarik media TV lokal STV dan Bandung TV untuk meliputnya sebagai bahan berita  feature. Pada tahun 2007 kawan Damar dan Rikuh tidak aktif lagi di JBA karena kesibukannya, sejak itu saya membawa bendera JBA untuk tetap bertahan dalam kepungan zaman yang terus berganti. JBA aktif di berbagai kegiatan yang terkait dengan buku, literasi, charity ataupun masalah sosial lainnya seperti berdonasi baik dengan buku ataupun lainnya. Aktivitas ini bagian untuk menjaga keberadaan.

Dalam buku Pohon Buku di Bandung 2000-2009, Deni Rachman mencatat ada lebih dari 73 toko buku yang tersebar di seantero Bandung sampai tahun 2009 dan JBA termasuk satu di antaranya (Hal: 6). Dari jumlah tersebut tidak banyak yang bertahan sampai sekarang, melewati berbagai kondisi zaman yang terus dinamis. Banyak toko buku baik yang berbasis perusahaan ataupun komunitas gulung tikar. Terakhir kita mendengar toko buku Gunung Agung telah menutup semua gerainya.

JBA, meskipun selalu bersifat kecil, tetapi tetap bertahan pada track yang benar. Dengan filosofi ngindung ka waktu, mibapa ka jaman, JBA berusaha terus menemani para pecinta buku, pengeja kata-kata, ataupun peneliti literasi yang tumbuh hilang silih berganti. JBA konsisten menyediakan hidangan buku-buku bermutu sampai dua dasawarsa terakhir ini. Panjang umur JBA.  

* Mari membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Indra Prayana, atau artikel-artikel lain tentang buku dan literasi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//