Voice Of Baceprot, Perempuan dan Musik Metal
Voice of Baceprot atau (VOB) melemparkan memori saya pada Bandung dekade 90-an. Saat itu banyak sekali anak-anak muda Bandung yang menggandrungi musik underground.
Indra Prayana
Pegiat buku dan surat kabar
18 September 2022
BandungBergerak.id - Sudah beberapa pekan ini saya sedang asyik dan “kecanduan” melihat berbagai tayangan YouTube ataupun media sosial lain yang mengupas band musik fenomenal karena capaian prestasinya yang cukup membanggakan kita semua, khususnya bagi pecinta musik cadas. Kebanggaan itu karena tidak hanya sebatas musik tetapi juga mengenalkan etnis (Sunda) dan Indonesia sebagai bangsa ke berbagai belahan negara-negara Eropa yang dikunjungi.
Sebagai seorang yang pernah berkecimpung langsung dengan dunia musik metal, tentu jiwa dan rasa saya juga tidak sepenuhnya lepas dari musik. Melihat kemunculan band Voice of Baceprot atau (VOB) yang sangat luar biasa ini seakan melemparkan memori saya pada kondisi Bandung dekade 90-an, di mana saat itu banyak sekali anak-anak muda Bandung yang menggandrungi musik yang membengkakkan telinga ini. Hampir di setiap perkampungan kota terdapat berbagai komunitas penikmat musik underground, beragam aliran memiliki pengikutnya masing-masing, dari mulai hard core, grind core, black metal, death metal, punk hingga ska mempunyai massanya sendiri. Semua genre bergerak dinamis dan berkompetisi dalam menjaga eksistensinya, namun seleksi alam jugalah yang pada akhirnya menjadi hakim sejarah untuk menentukan siapa yang mati, tertinggal atau bertahan mengikuti zaman sampai sekarang.
Pada tahun 2014 VOB terbentuk, band yang semua personilnya perempuan berhijab dan memainkan alat musik. Digawangi oleh Firda “Marsya” Kurnia (Gitar dan Vocal), Widi Rahmawati (Bass) dan Euis Siti Aisyah (Drum), dengan bimbingan Erza Satia atau akrab disapa Abah Erza seorang guru sekolahnya di MTs. Al Baqiatusholihat Banjarwangi, Kecamatan Singajaya, Kabupaten Garut. Terbentuknya VOB Bermula dari kegiatan ekstrakurikuler teater, sebelum guru pembinanya (Abah Erza) “mengendus” bakat bermain musik pada anak-anak didiknya. Sampai akhirnya menjelma menjadi tiga orang yang semuanya mempunyai spirit dan konsistensi dalam bermain musik itu.
Di tengah masyarakat religius yang masih kental dengan nilai-nilai tradisi, kemunculan perempuan berhijab memainkan musik metal tentu menjadi antitesa atas konstruksi sosial yang selama ini terbangun. Belum lagi kalau dibenturkan dengan perspektif hukum agama yang memiliki tafsir beragam tentunya bisa menimbulkan perdebatan baru. Memilih untuk fokus bermain musik merupakan langkah berani dari para personil VOB, dengan mengusung genre hip metal funky mereka mulai menjajaki berbagai panggung ke panggung dan festival ke festival baik yang bersifat lokal maupun nasional.
Jam terbang dan pengalaman yang luas semakin mematangkan mental dan jiwa mereka sehingga dalam waktu relatif cepat sudah mampu menjadi band dengan reputasi internasional, terbukti dengan tampilnya VOB pada helatan Wacken Open Air (WOA) yang merupakan salah satu event musik metal terbesar pada 4-6 Agustus 2022 di Jerman.
Di luar keunikan yang melekat pada VOB, tentunya mereka juga menawarkan skill dalam bermusik dengan lirik-liriknya yang kritis. Berbagai isu-isu sosial kontemporer dari mulai bobroknya sistem pendidikan, hak-hak perempuan, toleransi, perdamaian dan kemanusiaan tak luput disuarakan. Meskipun tidak hanya mereka, banyak band metal lain juga menyuarakan hal serupa. Tetapi ketika anak-anak muda yang lahir sebagai generasi Z membawa pesan-pesan itu maka gaungnya akan sangat menginspirasi. Sebagaimana harapan mereka bahwa kami tidak hanya semata bermain musik tetapi yang lebih penting mampu memberikan warna positif serta menjadi sebuah gerakan bersama. Beberapa lagu VOB yang menurut saya menceminkan itu seperti:
School Revolution
Revolusi Sekolah merupakan single pertama VOB yang dirilis pada tahun 2018 dengan menggandeng Stephen Santoso sebagai produsernya. Lagu yang sarat dengan kritik sosial terkhusus dalam dunia pendidikan ini secara umum menggambarkan kondisi pendidikan di Indonesia dengan segala masalah-masalahnya. Kegelisahan yang dirasakan itu mampu disuarakan oleh semua personel VOB pada saat mereka juga sedang duduk dibangku sekolah, sehingga apa yang disampaikan dalam lirik lagu School Revolution sangatlah kontekstual. Berikut sedikit nukilannya:
“Di balik tembok isi kepala seakan digembok
Selaksa dogma ditimpa hingga bongkok
Bila teriak merdeka bersiaplah ditabok atau dikatain”
“Di sana dijuluki penjara paling indah
Tapi tak berikan bukti apa-apa
Hanya seabruk aturan yang tak pernah diterapkan
Menyisakan sejarah yang telah terlupakan”.
Mendengar apa yang disampaikan dalam lagu ini mengingatkan saya pada buku-buku semacam: “Sekolah Itu Candu” (Roem Topitimasang), “Di balik Tembok Sekolah” reportasi jurnalistik (Tri Joko Her Riyadi), “Mengajar Sebagai Aktivitas Subversif” (Neil Postman), “Deschooling Society’ nya Ivan Illich atau buku klasik “The Pedagogy of Oppressed” karya Paulo Freire. Buku alternatif yang bisa menjadi pembanding atas berbagai pandangan pendidikan yang selama ini dipahami secara luas termasuk dengan beragam masalah-masalah pendidikan di dalamnya.
Salah satu masalah pada negara-negara berkembang biasanya terkait dengan akses untuk mendapatkan pendidikan yang belum merata. Pendidikan masih dikendalikan oleh kapital, siapa yang mempunyai modal besar maka semakin terbuka juga untuk mengenyam pendidikan sampai jenjang maksimal. Komersialisasi inilah yang biasanya menjadi jurang pemisah antara kelompok masyarakat kaya dan miskin.
Belum lagi kalau dihadapkan pada beban akademik yang terkadang memberatkan sehingga anak kurang bisa mengeksplorasi bakat dan kemampuannya di bidang yang lain, padahal setiap anak itu memliki keunikannya sendiri dan bisa jadi itu lebih berkembang di luar bidang akdemiknya. Pada sisi ini tidak semua pendidik (guru) di sekolah memahaminya sehingga masih menempatkan posisi superior terhadap anak-anak didiknya, atau meminjam bahasa Paulo Freire (dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas) bahwa sekolah masih menerapkan pola “pendidikan gaya bank” yang spesifikasinya bisa diartikan seperti ini:
- Guru mengajar, murid diajar;
- Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa;
- Guru berpikir, murid dipikirkan;
- Guru bercerita, murid patuh mendengarkan;
- Guru menentukan peraturan, murid diatur;
- Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui;
- Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan guru;
- Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pendapat itu;
- Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan wewenang jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid;
- Guru adalah subjek dalam proses belajar, murid adalah objek belaka (Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas,1985).
Ketidakdemokratisan itu mungkin yang membelenggu siswa sehingga tidak bisa mengeksplorasi bakat dan minatnya secara lebih jauh, tetapi seperti dalam reff lagu School Revolution juga diksi “don’t try to judge us now” sampai diulang-ulang sebanyak 12 kali, artinya nasib dan peruntungan setiap manusia itu tidak ada yang tahu.
What’s The Holy (Nobel) Today?
Diawali dengan teriakan stop war/we hate war yang diulang-ulang, lagu ini jelas menyeru untuk menghentikan segala macam bentuk peperangan, karena dampak perang itu sangat mengerikan bagi kemanusiaan. Perang juga sering menjadi hegemoni negara tertentu terhadap negara lainnya, oleh karena itu VOB dengan sarkas mempertanyakan, apakah nobel masih menjadi suatu yang sakral saat ini?
Pertanyaan itu tentu merujuk pada Alfred Nobel (1833-1896) ilmuwan Swedia yang namanya diabadikan sebagai ikon penghargaan tahunan untuk orang-orang yang dianggap berjasa dan memberi pengaruh besar pada perdamaian. Pesan itu terkadang menjadi paradoks ketika dunia masih tetap mempertontonkan perang dan kekerasan sebagai bagian dari “solusi” seperti yang terjadi antara Rusia vs Ukraina, penindasan Israel di Palestina, dan peperangan di belahan bumi lainnya.
Hey, Mrs. Nobel where are you now
Hey, Mr. Nobel where are you now
Teks lirik lagu VOB ini seakan menyentil kepada para aktivis perdamaian, di mana kalian ketika banyak peperangan yang terjadi? Apakah sikap kalian juga sama ketika melihat berbagai konflik? Atau hanya Nobel yang kalian harapkan.
Pesan yang dibawa VOB dalam lagu ini merupakan representasi nurani manusia-manusia yang mencintai kemanusiaan dan perdamaian, mencintai dan menghargai kehidupan.
Baca Juga: Kecamatan Ujung Berung: Zaman Intel Belanda dan Musik Cadas ala Ujungberung Rebels
Tragedi AACC 14 Tahun Lalu, masihkah Bandung Takut pada Musik Underground?
BANDUNG HARI INI: 14 Tahun Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC, Luka Besar Jagat Musik Bandung
(Not) Public Proverty
Di antara semua lagu VOB, Not Public Proverty (NPP) mungkin yang pertama dibuat secara mandiri tanpa sentuhan mentor sekaligus gurunya Abah Erza sebagaimana terlihat pada lagu yang lainnya. Diluncurkan pada 8 Maret 2022 bertepatan dengan hari perempuan internasional. Lagu yang dibuat dengan latar keprihatinan atas maraknya kekerasan seksual yang menimpa kaum perempuan menjadi tema tidak hanya dalam lingkup lokal tetapi secara nasional bahkan internasional. Korban kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja dan pelakunya pun bisa datang dari mana saja.
Menurut Firda “Marsya” Kurnia yang menulis lagu ini dalam banyak wawancaranya menyebut bahwa ia begitu gusar dengan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi. Firda berbicara ketika sedang mencuat kasus Hery Wirawan dan kasus mahasiswi bunuh diri karena dipaksa aborsi. Dalam berbagai kasus bahkan masih sering kali menyalahkan korban sebagai penyebabnya, dan itu sedikit disinggung dalam penggalan lirik (NPP):
“Everyone has the right to live safely
But why do people ignore it
They are still busy, talking 'bout dressing appropriately
(Because) We are forced to obey by unwritten fucking rules
And we are tired of things that people said to be good”
[Setiap orang berhak untuk hidup dengan aman
Tapi kenapa orang mengabaikannya
Mereka masih sibuk, membicarakan tentang berpakaian yang pantas
(Karena) Kami dipaksa untuk mematuhi aturan sialan yang tidak tertulis
Dan kita lelah dengan hal-hal yang dikatakan orang baik]
Keamanan dan kenyamanan seharusnya memang menjadi hak setiap manusia tanpa memandang gender, tanpa takut didiskriminasi dan dilecehkan. Kesadaran itulah yang sebenernya menjadi pekerjaan rumah bersama, bagaimana menanamkan mindset yang jelas untuk menghormati dan menempatkan hubungan antara laki-laki dan perempuan pada posisi yang agung, sedangkan pemerintah harus menyokongnya dengan hukum dan regulasi yang adil.
Sebenarnya hampir semua lagu VOB membawa pesan yang kuat terlepas dari berbagai kekurangannya, tetapi paling tidak uraian tiga lagu di atas memberi gambaran pada kita bahwa perempuan muda yang memainkan musik itu sedang mengajak kepada kita semua untuk memikirkan bersama tentang sebuah tatanan kemasyarakatan yang lebih baik, tentang relasi sosial yang egaliter dan adil.
Salam metal.