JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #4: Lapak Cikapundung, dari Enny Arrow hingga Buku-buku Pergerakan
Di lapak-lapak Cikapundung pinggiran gedung heritage, para pecinta buku mendapatkan buku-buku yang dilarang oleh rezim Orde Baru
Penulis Daffa Primadya Maheswara5 September 2023
BandungBergerak.id - Tahun 90-an lapak buku di Jalan Cikapundung Barat ibarat surganya buku-buku penting, setidaknya bagi Indra Prayana. Pada masa Orde Baru tersebut Indra masih tercatat sebagai mahasiswa dan aktif dalam klub diskusi buku. Di lapak-lapak buku Cikapundung itulah ia sering mendapatkan buku-buku jarang dan “terlarang”.
Indra kuliah di Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisip) Universitas Langlangbuana (Unla) Bandung. Pendiri Jaringan Buku Alternatif ini aktif di klub Lestari (Lembaga StudI Analisis dan Informasi), sebuah perkumpulan di bidang literasi di Fisip Unla. Mahasiswa yang menjadi anggota klub Lestari biasa mendapat tugas menuliskan hasil diskusi atau pembacaan suatu buku yang telah mereka bedah.
Nah, Indra kebagian tugas mencari buku yang cocok untuk dibedah klub Lestari. Hampir dua kali dalam seminggu ia mengunjungi lapak buku di jalan yang masih satu blok dengan Jalan Asia Afrika itu. Indra menyebut lapak buku Cikapundung sebagai lapak PLN karena para pelapak memajang buku-bukunya tepat di emperan gedung kuno PLN.
Dulu lapak PLN memang tak seramai lapak-lapak buku lain di Bandung, situasinya nyaris sama dengan sekarang. Lapak PLN berbeda dengan lapak buku di Jalan Dewi Sartika atau Pasar Palasari yang memiliki banyak pedagang buku. Malah lapak PLN lebih didominasi para penjual majalah, lapak bukunya bisa dihitung dengan jari.
“Pelapak buku di PLN itu dulu paling tiga, pak Simon, pak Makmur, dan satu lagi saya lupa. Selebihnya majalah,” tutur Indra Prayana, ketika dihubungi BandungBergerak.id, Selasa (5/9/2023).
Pada zaman Indra mencari buku untuk klub bukunya, ada tradisi yang cukup unik di lapak Cikapundung. Para penjual majalah biasa menawarkan buku atau majalah secara bisik-bisik ke calon pembeli atau pengunjung yang lewat. Buku atau majalah yang mereka bisikan bukan buku yang kerap dauber-uber oleh rezim Orde Baru seperi buku Pramoedya Ananda Toer, melainkan buku dengan gambar atau cerita “esek-esek”.
Bagi generasi zaman sekarang yang hidup serba digital, mungkin menawarkan buku atau majalah porno terdengar konyol atau menggelikan. Maklum, konten esek-esek dewasa ini jauh lebih mudah didapatkan dengan bantuan teknologi. Pada zaman dulu, pornografi hanya beredar melalui gambar-gambar.
“Narawarkannya itu berbisik-bisik. Disangkanya saya suka kayak gituan. Saya mah moal da era,” kenang Indra seraya tertawa. Tradisi ini tentunya sudah tidak ada lagi pada Bandung zaman kiwari.
Buku atau majalah yang terkenal erotis di masa lalu antara lain Playboy dan Enny Arrow. Bahkan kini Enny Arrow sudah bermetamorfosa menjadi bacaan erotik klasik yang menjadi barang koleksi.
Pengunjung lapak Cikapundung tempo dulu tidak seramai pusat-pusat buku lainnya di Bandung. Mungkin karena situasi itulah Indra merasa beruntung karena berhasil mendapatkan banyak buku langka yang dikoleksi para pelapak di sana. Walaupun yang menawarkan buku esek-esek selalu ada.
Lapak buku yang menjadi langganan Indra awalanya miliki pak Makmur, dalam perkembangannya ia berlangganan juga pada lapak pak Simon. Dari lapak-lapak PLN itu ia di antaranya mendapatkan buku Sri Bintang Pamungkas berjudul “Demokrasi Ekonomi” dan “Saya Musuh Politik Suharto”.
Pada masa Orde Baru berkuasa, mendapatkan buku Sri Bintang Pamungkas adalah kemewahan dan butuh nyali tersendiri. Ketika kebanyakan orang takut pada Suharto yang otoriter, Sri Bintang Pamungkas berani melawan hingga ia dijebloskan ke penjara. Sri Bintang Pamungkas baru dibebaskan setelah Suharto runtuh, pada masa Presiden B. J. Habibie.
“Jadi buku-buku pergerakan saya sering mendapatkan di Cikapundung. Dulu banyak sekali buku pergerakan, sebelum ramai buku antik (zaman Belanda) seperti sekarang,” kata Indra.
Buku lainnya yang didapatkan Indra berjudul Hikayat Abdullah. Ia mendapatkan buku langka ini seharga 25 ribu rupiah, harga yang terbilang murah. Di Jakarta buku Hikayat Abdullah dibanderol 100 ribu rupiah. Sebagai gambaran, tahun 90-an uang 25 ribu rupiah mungkin setara dengan 350 ribu rupiah sekarang.
Dari lapak Cikapundung pula Indra mendapatkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer cetakan pertama yang di para pelapak buku kekinian biasa dibandrol sangat tinggi. Indra berhasil mendapatkan buku Arus Balik.
Tak hanya itu, ia mendapatkan buku pledoi Bambang Isti Nugraha, aktivis yang dikriminalisasi karena membaca dan mendiskusikan buku Pramoedya Ananta Toer. Pada dekade 80-an, Bambang menjadi salah satu pemuda yang diadili karena membaca dan mendiskusikan buku Pramoedya Ananta Toer.
Pengadilan Negeri Yogyakarta menyatakan Bambang dan kawan-kawan melakukan tindakan subversif dan harus menjalani hukuman penjara. Di pengadilan, Bambang menyampaikan pledoi yang kemudian dibukukan. Buku itulah yang didapat Indra di lapak Cikapundung.
Kisah Bambang, menurut Indra, menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami masa-masa gelap kebudayaan. Orang yang membaca dan mendiskusikan buku Pramoedya Ananta Toer diuber-uber, diciduk, dan dihukum.
“Buku-buku aneh yang kayak gitu saya sering dapat di Cikapundung. Buku-buku ini bagi mahasiswa seksi sehingga menarik untuk didiskusikan,” cerita Indra.
Di tengah pelarangan buku-buku yang dicap berhaluan kiri oleh Orde Baru, lapak buku Cikapundung sepengetahuan Indra belum pernah menjadi sasaran razia buku-buku kiri seperti yang pernah dialami para pedagang buku di Pasar Palasari. Padahal masa itu para pelapak memajang buku-buku pergerakan tersebut di lapaknya bersama buku-buku lainnya, tanpa ditutup-tutupi.
“Razia tidak terdengar di PLN mah. Yang terdengar mah di Palasari. Misalnya tahun 2000-an ada razia buku kiri. Mungkin di Cikapundung tidak terdeteksi da dulu mah Cikapundung lebih banyak majalahnya,” cerita Indra.
Sampai sekarang Indra masih rajin mendatangi para pelapak buku Cikapundung. Namun iklim penjualan buku di sana sudah berubah. Jika dulu para pelapak cenderung kurang memperhatikan jenis-jenis buku, sekarang mereka lebih terbuka sehingga tahu mana buku langka atau antik. Kemajuan pengetahuan para pelapak ini berdampak pada naiknya harga buku-buku langka.
Pemasaran buku pun sedikit berubah. Dulu buku-buku langka yang menjadi andalan para pelapak cukup dipajang disatukan dengan buku-buku lainnya, kini para pedagang biasa menawarkan langsung kepada pelanggan atau kolektor. Para pedagang sudah memiliki nomor-nomor kontak kolektor yang menjadi langganan mereka.
Baca Juga: JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #1: Pasar Palasari di Persimpangan Zaman
JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #2: Di Bawah Terpal Biru Kios Buku Tjihapit
JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #3: Asam Garam Toko Buku Bandung
Salamun alias Simon
Salah satu pelapak buku Cikapundung yang namanya cukup terkenal di kalangan pecinta buku dan kolektor bernama Salamun. Orang-orang biasa memanggilnya Simon.
"Saya muslim ya. Orang lain tahunya saya non-nis karena nama saya Simon. Aslinya nama saya Salamun," kata Simon seraya tertawa, saat ditemui BandungBergerak, Agustus 2023.
Simon sudah berjualan buku di Bandung sejak tahun 1979. Ia pernah menjajakan beragam buku, mulai dari buku-buku pergerakan, buku-buku baru, buku lawas, buku antik, dan lain-lain sesuai minat pasar. Di sana ia berjualan bersama lebih dari 24 pelapak yang ngampar di Cikapundung.
Tentu suka duka sudah banyak Simon lalui selama bergelut dengan buku. Meski ia menepis penjualan buku dewasa ini lebih sulit. "Sekarang buku bukan berarti sulit, tapi gak gampang," ucap Simon.
Menurutnya, penjualan buku di Cikapundung selalu mengalami pasang surut. Bisnis buku juga berbeda dengan bisnis lain, kuliner misalnya. Meski demikian, sebagai pelapak yang lama berjualan buku ia memiliki pelanggan setia mulai dari pelajar, mahasiswa, hingga kolektor.
Simon mengaku nyaman dengan jualan buku di Cikapundung dengan cara lapakan seperti sekarang. Ia tidak tergiur jualan daring seperti yang banyak dilakukan para pesaingnya.
"Saya berjualan apa adanya saja. Rezeki sudah yang ngatur, saya bukan gak percaya teknologi tapi rezeki ada yang ngatur," ucap Simon.
Simon juga tidak mengeluhkan fenomena turunnya minat baca karena pengaruh teknologi. Kalaupun mengeluh, toh ia tidak mungkin memaksa orang-orang agar rajin membaca dan membeli buku.
Simon dan pelapak lainnya termasuk pedagang kaki lima (PKL). Sebagai PKL, ia pernah menerima kabar kurang mengenakkan dari pemerintah kota, misalnya soal relokasi. Pada tahun 80-an, para pelapak buku Cikapundung banyak yang direlokasi ke Pasar Palasari. Namun Simon tetap bertahan di Cikapundung.
Berikutnya, para pelapak Cikapundung juga mendapat kabar akan direlokasi ke Pasar Cihaurgeulis di daerah Jalan Suci. Simon dan kawan-kawan juga memilih bertahan di Cikapundung. Ia yakin, berjualan buku di emperan tidak akan merusak pemandangan dan mengotori kota.
"Kita bertahan dengan argumen masing-masing cuma dengan menjaga kebersihan," jelas Simon.
Ia menegaskan, para pelapak buku sudah paham pentingnya menjaga kebersihan. Mereka tidak perlu disuruh-suruh bersih-bersih karena kebersihan sudah menjadi tanggung jawab masing-masing.
Masa Penuh Larangan
Di masa penuh larangan era rezim Suharto, Simon dan pelapak buku Cikapundung lainnya tak merasakan dampak razia buku-buku kiri. Pada masa itu ia justru terkenang pada orang-orang yang antusias membaca dan membeli buku.
Di masa lalu, para pencari buku yang datang ke lapaknya kebanyakan membutuhkan buku sastra dan sejarah. Satu hal yang menjadi ganjalan di benak Simon, bahwa pendidikan saat ini sudah berbeda haluan. Sekolah sekarang lebih mengutamakan formalitas seperti kenaikan atau kelulusan bukan esensi pendidikan itu sendiri.
“Gak perlu pinter sekolah yang penting naik kelas dan lulus sekolah," tuturnya.
Sekolah saat ini lebih mengutamakan ijazah daripada memperdalam ilmu. Sementara orang tua menyerahkan pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah. Pendidikan menjadi seperti lingkaran setan.