• Liputan Khusus
  • JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #3: Asam Garam Toko Buku Bandung

JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #3: Asam Garam Toko Buku Bandung

Toko Buku Bandung baru hitungan bulan berdiri. Sejarah panjang perbukuan di Bandung membentang di belakangnya.

Toko Buku Bandung di Jalan Garut, satu komplek dengan Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Kamis (3/8/2023). (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Penulis Daffa Primadya Maheswara21 Agustus 2023


BandungBergerak.idToko Buku Bandung tak hanya menyajikan ribuan koleksi buku kepada calon pembeli, tetapi juga rutin menggelar diskusi buku melalui acara rutin bernama Klub Buku Laswi. Terakhir, Klub Buku Laswi membahas fenomena bully atau perundungan yang sayangnya masih sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat kita.

Toko Buku Bandung beralamat tak jauh dari mulut Jalan Garut. Di toko berukuran dua meter persegi itu buku-buku lawas dan baru tertata rapi. Suasana toko cukup teduh karena berada di komplek Perpustakaan Ajip Rosidi yang memiliki sejumlah pohon rindang.

Sebulan terakhir, setidaknya ada dua tema diskusi yang diangkat di Toko Buku Bandung. Selain buku Bully, novel karya Knut Hamsun, peraih penghargaan nobel tahun 2010, juga menjadi bahan perbincangan Klub Buku Laswi.

Saat membahas isu bully, seniman pantomim Wanggi Hoed tampil sebagai pembicara. Buku visual ini ditulis seniman Anissa Rengganis yang berkolaborasi dengan Wanggi Hoed. Buku ini bercerita tentang perundungan yang merupakan pintu masuk ke jalan penindasan. Karena itu, perundungan harus diputus sejak dini.

Wanggi Hoed berharap, pembaca buku Bully atau siapa pun bisa bersama-sama memutus lingkaran setan perundungan. Langkah ini bisa dimulai di lingkungan terdekat, misalnya di keluarga. Tanpa upaya pencegahan, korban perundungan akan terus bertambah. Bahkan korban kemudian bisa berubah menjadi pelaku perundungan.

"Dari korban menjadi pelaku, bahkan sebaliknya. Dan tidak menutup kemungkinan siapa pun bisa menjadi keduanya,” kata Wanggi Hoed, saat berbincang dengan BandungBergerak.id, pertengahan Agustus 2023.

Perundungan bisa terjadi kapan dan di mana saja. Masuknya perundungan bisa melalui cara yang paling sederhana di kehidupan sehari-hari, misalnya ketika bercanda dalam kondisi yang tidak tepat. “Benih bully akan tumbuh di situ dan di segala ruang lainnya. Yuk, kita putus sebelum benih itu menyebar luas," ucap Wanggi Hoed.

Literasi menjadi salah satu jalan untuk memutus perundungan. Buku merupakan salah satu pintu untuk mencapai pencerahan.

Literasi dan Jalan Panjang Toko Buku Bandung

Bagi penggemar buku-buku lawas, pengelola Toko Buku Bandung tidaklah asing. Ia adalah Deni Rachman, pemilik LawangBuku. Toko Buku Bandung menempati komplek Perpustakaan Ajip Rosidi belum setahun. Namun sebelumnya, Deni Rachman telah mengalami perjalanan panjang di bidang perbukuan atau literasi.

Deni Rachman atau biasa di panggil Deni Lawang memulai bisnis buku sejak ia masih berstatus sebagai mahasiswa Fakultas MIPA Unpad pada tahun 1998. Ia memulai bisnis buku karena kecintaannya pada buku. Pada 2001, ia melapak buku pertamanya di Lapangan Gasibu, depan Gedung Sate, setiap pasar tumpah Minggu.

Sebelum mengusung nama Lawang Buku, ia sempat memakai jenama Wacana untuk merek jualan bukunya. Namun karena ada jurnal di Yogyakarta yang mempunyai nama yang sama, akhirnya ia memakai istilah Lawang. Jenama LawangBuku sampai sekarang melekat pada Deni, sampai akhirnya ia membuka Toko Buku Bandung.

"Karena temanya lawang, jadi ceritanya dulu kios ini menjual buku tapi sambil ngampar di Gasibu," tutur Deni Lawang. Dalam bahasa Sunda, lawang berarti akses keluar masuk.

Kurang lebih selama setahunan Deni melapak buku di Gasibu. Waktu itu Gasibu masih bisa dipakai jualan oleh ratusan pedagang kaki lima (PKL). Setiap Minggu pasar tumpah hadir di situ di bawah tenda-tenda warna-warni.

Di Gasibu pula Deni bertemu dengan orang dari penerbit buku. Orang tersebut tertarik karena melihat Deni menjual buku-buku dari penerbit tempat ia bekerja. Deni mendapat kartu nama orang itu.

"Allhamdulillah setelah kenal dengan orang penerbitan itu saya mendapatkan distribusi dari penerbit tersebut," cerita Deni.

Deni kemudian tidak perlu lagi membeli buku karena ia mendapatkan pasokan dari orang penerbit tersebut. Lama kelamanaan jumlah bukunya melimpah, ia kemudian memberanikan diri untuk membuka pameran buku di beberapa kampus.

Relasinya di dunia perbukuan semakin meluas, ia menjalin hubungan dengan komunitas-komunitas pecinta buku, juga dengan penerbit besar. Sejumlah kampus pernah ia jejaki berpameran, mulai dari UIN SGD Bandung, Unisba, Unpar, hingga ITB.

Masa itu menjadi awal bagi Deni sebagai distributor buku, mengisi beberapa event pameran besar, dan mengisi buku di sejumlah toko-toko buku di Bandung.

Bagian dalam Toko Buku Bandung di Jalan Garut, Kamis (3/8/2023). (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)
Bagian dalam Toko Buku Bandung di Jalan Garut, Kamis (3/8/2023). (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Membentuk Komunitas

Perjalanan Deni Rachman tidak terpaku pada bisnis semata. Ia aktif berkomunitas untuk meramaikan aktivitas literasi di Bandung. Menurutnya, komunitas penting untuk mewadahi para pegiat literasi agar bisa berinteraksi langsung dengan masyarakat.

Masa-masa keemasan yang dialami Deni luluh lantak akibat krisis moneter pada tahun 2008-2009. Waktu itu pasar saham Amerika Serikat ambruk dan berdampak pada ekonomi dunia, termasuk dunia perbukuan. Keterpurukan ini sempat medorong Deni menyerah di bisnis perbukuan.

Di sela-sela keterpurukan itu, Deni memutuskan untuk magang sebagai jurnalis selama dua tahun. Namun kegiatannya di komunitas tetap jalan. Ia aktif di komunitas Museum Konperensi Asia Afrika (KAA), lalu turut mendirikan Asian Asian Reading Club dan Sahabat Museum KAA.

Di tengah kesibukannya berkomunitas, kecintaannya terhadap buku tetap menyala dan terus membayangi perjalanan hidupnya. Deni menikah pada 2011, entah kebetulan atau telah menjadi guratan takdir, sang mertua istri adalah seorang penulis. Pernikahan ini seakan mengingatkan Deni bahwa jalan hidupnya memang tidak bisa jauh dengan buku.

"Sepertinya ada yang mengingatkan saya terhadap buku, dan mungkin memang jalan saya di sini," ucap Deni, sembari tertawa.

Sejak itu, gairah menghidupkan kembali aktivitas perbukuan hidup kembali. Namun jika sebelumnya ia menjual buku-buku baru, kali ini ia mengubah haluan pada buku-buku lawas. Kebetulan ia memiliki banyak koleksi buku-buku lawas.

Beberapa buku lawas dipajang di Toko Buku Bandung, antara lain Wawatjan Batara Rama yang ditulis Bupati Bandung R.A.A Martanagara (1893-1918) yang disebut Bapak Modernisasi Bandung, dan beberapa buku tentang kolonialisme terbitan Belanda. Pepatah mengatakan, menanam kebaikan akan berbuah kebaikan pula. Meski bisnis bukunya pasang surut, kenalan-kenalannya yang ia tanam di masa lalu masih terjalin sampai sekarang.

"Apa yang kita tanam, kalau yang kita tanam baik, itu tidak ada yang sia-sia. Perjalanan saya selama 10 tahun hingga 2011 saya memutuskan kembali pada buku. Tapi ternyata jaringan pertemanan ini masih pada nyahut gitu," ucap Deni.

Tak sedikit teman atau pelanggan bukunya di masa lalu yang berdatangan kembali ke Toko Buku Bandung. Mereka terkejut karena Lawang Buku kini membuka Toko Buku Bandung.

Baca Juga: JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #1: Pasar Palasari di Persimpangan Zaman
JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #2: Di Bawah Terpal Biru Kios Buku Tjihapit
Tjitjalengka Historical Trip dan Upaya untuk Memperkenalkan Literasi Sejarah

Buka Toko Buku di Mal

Sebelum membuka Toko Buku Bandung, Deni Rachman pernah memiliki toko di Baltos Taman Sari Bandung. Masa itu merupakan momen keemasan kedua bagi Deni dalam menggeluti bisnis buku. Namun masa ini tak bertahan lama seiring kemajuan teknologi.

Teknologi digital yang pesat membawa pengaruh cukup besar pada bisnis barang cetakan seperti buku. Tidak sedikit para pedagang buku yang membuka bisnis online. Persaingan pun berlangsung sengit. Sementara jumlah pembeli buku terus berkurang. Orang lebih tertarik pada konten-konten visual daripada membaca buku.

Pada 2016 Deni memutuskan menutup tokonya di Baltos. Ia kemudian memilih fokus berjualan di media sosial. Sempat mendirikan kios buku di dekat kampus Unpar pada tahun 2017 bernama Kelana Buku. Namun kios ini hanya mampu bertahan dua tahun.

Selain berjualan secara daring, Deni masih rutin mengikuti pameran-pameran buku. Pada 2018, ia mencoba menggeluti lini usaha penerbitan. Tahun itu pula ia menerbitkan Pohon Buku di Bandung, buku yang membahas peta perbukuan di Bandung dari tahun 2001-2008.

Ia juga menulis buku tentang Inggit Garnasih bersamaan dengan munculknya pandemi global 2020. Pandemi Covid-19 nyaris melumpuhkan seluruh sektor kehidupan. Usaha buku Deni juga turut terhantam.

Deni bisa dibilang sudah mengalami banyak asam garam perbukuan. Krisis ekonomi bukan satu-satunya faktor yang menghambat kegiatannya di bidang literasi. Ada faktor lain yang juga tak kalah melumpuhkan: politik. 

Ia masih ingat dengan peristiwa 16 Desember 2006 ketika toko buku Ultimus di Jalan Lengkong, Bandung, menggelar diskusi tentang marxisme. Diskusi ini digerebek ormas yang berdalih menolak komunisme. Para pegiat diskusi kemudian digiring ke kantor kepolisian. Padahal diskusi itu digelar setelah reformasi yang meruntuhkan Orde Baru yang otoriter.

Pada masa Orde Baru, buku-buku yang dicap berhaluan kiri diberangus, dirazia, dan dirampas. Suharto sangat mengekang kebebasan berekspresi rakyatnya. Tetapi rupanya paham Orde Baru yang antibuku masih menjalar walaupun zaman sudah berubah. Bahkan sampai sekarang buku-buku kiri masih mendapat stigma. 

"Dampaknya kan banyak! Mematikan ekonomi, kreatif, gagasan juga runtuh akibat rampasan tersebut," tegas Deni. 

Kini, Toko Buku Bandung adalah babak baru dari perjalanan tukang buku Deni Lawang. Toko buku ini hadir hasi kerja sama Deni dengan penerbit Pustaka Jaya yang juga berkantor di Perpustakaan Ajip Rosidi.

Deni mengaku banyak memetik perjalanan berharga dari perjalanan panjangnya di bidang perbukuan, bahwa kita harus selalu bisa adaptif dalam menghadapi peralihan zaman. Tanpa kemampuan adaptasi kita hanya akan dirundung zaman.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//