JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #2: Di Bawah Terpal Biru Kios Buku Tjihapit
Kios Buku Tjihapit menempati salah satu sudut di kawasan Pasar Cihapit, Kota Bandung. Setia menawarkan buku-buku lawas.
Penulis Daffa Primadya Maheswara13 Agustus 2023
BandungBergerak.id - Ratusan atau bahkan mungkin ribuan buku berjejalan di atas rak besi berkarat Kios Buku Tjihapit, Jalan Cihapit, Kota Bandung. Mayoritas buku-buku lawas, tidak sedikit buku-buku langka. Seandainya ada peta khusus tentang pusat perbukuan di Bandung, maka kios ini bisa dipastikan akan masuk ke pemetaan tersebut.
Kios yang berlokasi di kawasan Pasar Cihapit ini menempati bangunan tidak permanen, beratapkan terpal biru kusam karena lama terbakar matahari, ukurannya tak jauh berbeda dengan kios-kios kaki lima umumnya yang biasa berdiri di trotoar-trotoar Kota Bandung.
Bagi para pegiat literasi atau pemburu buku, Kios Buku Tjihapit bukan nama asing. Selain menyediakan buku-buku lawas berbahasa Indonesia, kios ini memiliki banyak koleksi buku berbahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman.
Kebetulan pemiliknya, Bagja (58 tahun) juga menguasai bahasa Jerman, keahlian yang jarang dimiliki seseorang. Pria paruh baya kelahiran Cihapit ini adalah pemiik kios yang sudah berdiri sejak 1980-an itu. Pada tahun tersebut di Jalan Cihapit tadinya ada enam kios buku. Kios Bagja satu-satunya yang bertahan sampai sekarang.
“Dulu itu kios buku di sini pada ngampar (lesehan), tapi karena beberapa pedagang buku di sini beralih profesi ke makanan akhirnya banyak juga kios makanan di Cihapit,” tutur Bagja, kepada BandungBergerak,id, awal Agustus lalu.
Sebagai pedagang yang juga suka buku, Bagja tidak tergoda ikut-ikutan membuka kios makanan atau banting setir menjual barang-barang yang lebih populer. Ia memilih tetap berjualan buku. “Karena saya suka baca buku juga saya masih berprinsip bahwa saya harus bertahan dari buku,” ucap Bagja.
Kini, sudah 43 tahun Bagja bergelut dengan buku. Selama itu kecintaannya pada buku tak pernah surut. Ia mengaku mulai menggemari buku sejak usia SMA. Jenis buku yang ia sukai beragam, mulai buku filsafat hingga sejarah dunia.
Bagja paham betul soal buku-buku langka dan asli. Misalnya, beberapa buku sejarah zaman kolonial Belanda di dunia.
“Ini banyak buku-buku tentang Afrika yang berbahasa Jerman. Buku tentang Hindia Belanda yang asli juga ada,” ucap Bagja sambil membuka beberapa halaman buku koleksi kebanggaannya.
Suka Duka Bagja
Keberadaan Kios Buku Tjihapit tampak ganjil dan jadul karena berdiri di antara kios-kios penjual makanan. Spanduk usang bertuliskan “Kios Buku Tjihapit” menegaskan bahwa kios ini hanya menjual buku.
Sebuah meja yang menjadi tempat bagi sang pemilik untuk menyortir buku atau melayani pembeli hampir memakan seluruh ruangan yang sesak penuh buku itu. Di atas meja terhampar tumpukan buku, gelas kopi, teko plastik. Galon isi ulang yang tinggal setengahnya terisi dan buntalan plastik mengisi tempat di kolong meja.
Buntalan-butalan keresek juga berjejalan di rak buku, tak jauh dengan jam dinding bulat yang menyempil di antara barisan buku. Sebuah jaket menggantung di tiang kios, jaket yang melindungi Bagja dari cuaca Kota Bandung yang akhir-akhir ini terasa ekstrem.
Bagja bukannya tidak mau membangun kios permanen yang lebih kokoh. Status tanah yang ditempatinya menghendaki demikian. Ia berjualan di atas tanah milik Pemerintah Kota Bandung, sehingga tidak diperbolehkan berdiri bangunan permanen di sana.
Pahit getir mengandalkan penghasilan dari buku sudah kenyang dialami Bagja. Tiga tahun lalu Kota Bandung dan dunia dirundung pandemi Covid-19. Wabah global ini memberi pukulan telak pada kios Bagja sampai saat ini.
Waktu itu Kota Bandung seperti kota mati. Apalagi Cihapit yang termasuk tengah kota, sangat terdampak pembatasan sosial yang diberlakukan pemerintah demi membendung persebaran virus. Bagja sangat kesulitan menjual buku di saat kota sedang dikarantina.
Bahkan dampak pandemi bagi Bagja lebih buruk dibandingkan pembatasan di era otoriter Suharto. Pada masa Orde Baru itu para penjual buku dilarang menjual buku-buku berhaluan kiri atau kerakyatan. Orde Baru sangat alergi dengan paham komunis. Bagja mengalami masa penuh kekangan itu.
“Saya lebih baik jual beberapa buku kiri di zaman Suharto dibandingkan batasan (karena Covid-19). Saya ga bisa ke mana-mana saat itu,” ucap Bagja, kumis dan janggotnya yang jarang sudah memutih.
Pada momen-momen antara sebelum reformasi dan awal reformasi adalah masa keemasan bagi Bagja. Saat itu buku-buku yang tadinya terlarang bisa dijual dengan harga mahal. Bahkan pascareformasi, buku-buku yang tersembunyi menjadi bebas dijual di pasaran. Bagja mengaku tidak akan menemukan lagi momen paling berkesan itu sekarang.
Pada zaman yang konon serba bebas sekarang, Bagja justru kecewa. Minat orang pada buku semakin menurun. Minat baca masyarakat merosot tajam.
"Awal reformasi saat saya semangat menjual buku, saat itu para mahasiswa juga dosen lagi sering-seringnya baca buku. Bagi saya itu masa yang saya rindukan," ucap pengagum Sudarsono Katam, penulis sejarah Bandung.
Namun sekarang, Kios Buku Tjihapit lebih sering dilanda sepi karena jarang disambangi pembeli. Orang yang mampir ke kiosnya hanya satu dua terutama mahasiswa. Biasanya mahasiswa menanyakan beberapa judul buku referensi, itu pun kadang hanya sekadar bertanya-tanya.
Tak heran jika Bagja sering menutup kiosnya. Ketika ditemui BandungBergerak.id, Bagja baru buka lagi setelah tutup selama tujuh bulan ke belakang.
“Makannya banyak akhirnya buku yang dimakan rayap," keluh Bagja, memperlihatkan raut wajah yang penuh jejak usia dan kekecewaan.
Apalagi kini zaman sudah jauh melaju. Teknologi digital menguasai segala lini kehidupan. Semua bacaan, video, berita, cukup diakses di telepon genggam. Hal ini turut meghantam bisnis barang-barang cetakan seperti buku.
Bagja sempat mengikuti arah zaman dengan membuka toko online di sebuah marketplace. Namun bisnis online tak semudah yang digembar-gemborkan oleh para pejabat. Ia menghentikan bisnis onlinenya dan kembali berjualan secara konvensional saja.
Ada banyak cara yang sudah dilakukan Bagja agar kiosnya menarik baik calon pembeli. Antara lain mempersilakan calon pembeli untuk membaca sepuasnya di tempat. Dengan catatan, buku-buku tersebut tidak boleh di bawa pulang.
Buku-buku di Kios Buku Tjihapit berasal dari beberapa teman kolektor selain milik Bagja sendiri. Selain itu, ia selalu ingat dengan pesan Gusdur, “Orang yang meminjamkan buku adalah orang bodoh. Orang yang mengembalikan buku adalah orang gila," cerita Bagja seraya terbahak.
Cara lain yang ia tempuh dalam mempertahankan kiosnya dengan mengadakan buku-buku yang sering dicari pembeli, seperti novel dan ilmu pengetahuan umum. Dengan demikian ia berharap kios bukunya tetap relevan.
Baca Juga: JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #1: Pasar Palasari di Persimpangan Zaman
Bandoeng Waktoe Itoe
Lawatan Sejarah yang Paling Sunyi
Kios Buku Tjihapit di Mata Pembaca
Bagaimanapun Kios Buku Tjihapit merupakan kios buku mandiri yang jauh berbeda dengan toko-toko buku besar dari segala sisi. Kios mungil yang di dalamnya tempat buku-buku berjejalan tidak mungkin sanggup bersaing dengan korporasi yang mampu menyediakan sarana dan prasarana nyaman bagi calon pembeli.
"Lebih memilih Gramedia atau toko buku retail dibandingkan toko buku independen bagi saya. Alasannya karena jaminan keaslian bukunya sudah dipastikan, selain itu tempat yang nyaman dalam pemilihan buku,” kata Dhea Rizqia, mahasiswi ilmu komunikasi dari sebuah kampus di Bandung.
Meski demikian, toko-toko buku independen seperti Kios Buku Tjihapit memiliki kelebihan tersendiri. Kios ini menyediakan buku-buku lawas yang tak bisa disediakan ritel. Namun mengenai jenis buku, menurut Dhea tergantung dari kebutuhan pembaca sendiri. Ia mengaku lebih membutuhkan buku-buku baru daripada buku-buku lama.
Kelebihan lain dari pedagang buku independen adalah citranya yang ekslusif. Karena sifatnya inilah toko buku independen mampu menyediakan buku-buku yang tidak dijual di pasaran umumnya.
"Beberapa kios milik pribadi mempunyai buku yang langka terbitan lama yang mungkin penerbitnya sudah tidak ada dan penulisnya sudah tidak ada pula. Bedanya dengan Gramedia dan sebagainya, buku buku Gramedia hanya buku-buku viral yang dijual tapi tidak dengan harga sejarahnya," terang WidyaPuri, dosen pengampu mata kuliah dasar-dasar penulisan.
Kios Buku Tjihapit dalam Peta Kecamatan
Kios Buku Tjihapit berada di wilayah kecamatan Bandung Wetan. Secara makro, jumlah penduduk Kota Bandung sekitar 2,5 juta jiwa, 3.892 jiwa penduduk di antaranya tinggal di Cihapit, berdasarkan data BPS tahun 2020. Rinciannya, penduduk Cihapit yang masih berumur 5-9 tahun sebanyak 235 orang, penduduk yang berusia 10-14 tahun 287 orang, penduduk yang berumur 15-19 tahun 287 orang, dan penduduk berusia 19-21 tahun 142 orang.
Buku identik dengan pendidikan atau sekolah. Jumlah sekolah di Cihapit pada tahun 2021 terdiri dari SD sebanyak 7 sekolah, SMP ada 3 sekolah, dan SMA ada 2 sekolah serta SMK ada 3 sekolah. Total sekolah yang tersebar di Cihapit ada 15 sekolah. Jumlah murid dari SD sampai SMA/sederajat sebanyak 951 orang.
Data BPS juga menunjukan jumlah penduduk Cihapit yang tidak/belum sekolah mencapai angka 502 orang. Dengan kata lain, dari total 3.892 penduduk warga Cihapit, ada sekitar 502 jiwa yang tidak menempuh pendidikan atau belum sekolah.