• Liputan Khusus
  • JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #1: Pasar Palasari di Persimpangan Zaman

JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #1: Pasar Palasari di Persimpangan Zaman

Pasar Palasari bukan pasar biasa. Pasar buku di tengah Kota Bandung ini terdiri dari lorong-lorong penuh buku dengan cerita sejarahnya yang panjang.

Suasana Pasar Palasari yang menyediakan berbagai macam buku, Jalan Palasari, Bandung, Kamis (3/8/2023). (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Penulis Daffa Primadya Maheswara10 Agustus 2023


BandungBergerak.idPasar buku Palasari kerap menghadapi persimpangan zaman. Pasar buku yang konon terbesar se-Indonesia ini pernah dihantam dua kali peristiwa kebakaran; dirazia aparat yang mencari buku-buku kiri, dan kini menghadapi era digital di mana buku bacaan dianggap tak lagi menarik.

Berlokasi di Jalan Palasari, pasar buku ini menawarkan pengalaman khas pada calon pembelinya. Kurang dari lima langkah dari pasar, kita akan langsung disambut pedagang yang menawarkan buku-buku dagangan mereka. Di bagian dalam pasar kita akan berada di tengah lorong buku yang tersusun rapi.

Atmosfer ilmu pengetahuan terasa melekat kuat di sana; judul-judul buku amat memanjakan mata para pecinta literatur, mulai dari majalah zaman kanak-kanak, filsafat, pengetahuan umum, hingga biografi tokoh-tokoh dunia.

Dansiko (90 tahun), salah seorang pedagang buku di Palasari, menceritakan Pasar Palasari dibangun berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) sekitar tahun 1970-1980an. Saat itu masih berupa bangunan gedung dua lantai.

Kebanyakan para pedagang di pasar inpres ini merupakan imigran dari Jalan Cikapundung, salah satu titik literasi di Bandung, pada tahun 1958. Menurut Dansiko, hampir 80 persen para pemilik kios di Palasari berasal dari tanah Minang. Selebihnya orang Pasundan.

Dansiko mengalami betul pahit manis berjualan buku di Palasari. Puncak kejayaaan Pasar Palasari terjadi sekitar tahun 1990-an. Namun awal tahun 1993, pasar buku ini dilanda bencana kebakaran. Api membakar gudang ilmu pengetahuan yang tengah menikmati masa jayanya itu.

Gedung Inpres itu pun luluh lantak. Lokasi bekas pasar yang hangus sempat menjadi lahan kosong dan dipakai untuk parkir para pengunjung pasar. Para pedagang dipindahkan ke pinggir Jalan Palasari yang menjadi lokasi pasar sekarang.

"Kiranya hampir semua bangunan Pasar Palasari habis. Buku-buku sudah ga bisa kita selamatkan," kenang Dansiko.

Konon kebakaran tersebut dipicu korsleting listrik dari sebuah rumah makan. Tetapi muncul juga desas-desus bahwa Pasar Palasari sengaja dibakar. Kabar burung ini bahkan sudah menjadi buah bibir bagi para pedagang buku.

Bencana kebakaran meninggalkan luka amat membekas bagi para pedagang buku Palasari. Sejak peristiwa itu mereka yang menjadi korban harus kembali membangun usaha dari nol.

Selang 14 tahun kemudian, bencana kebakaran Pasar Palasari kembali terulang, tepatnya tahun 2007. Saat itu, santer rencana revitalisasi Pasar Palasari. Para pedagang bahkan sudah ditawari uang revitalisasi 17 juta rupiah per meter.

"Kakek mah bukan ga mau. Tapi sejarah Palasari amat panjang dan membekas bagi kakek. 17 juta (rupiah) mah ga bisa beli ganti rugi kakek gimana cara kakek bangkit," lanjut Dansiko.

Tak hanya itu, razia buku kerap mewarnai perjalanan panjang Pasar Palasari di masa Orde Baru. Razia yang terjadi sepanjang tahun 1985 dan 1986 ini mentarget buku-buku yang dicap terlarang. Razia dilakukan aparat gabungan polisi dan tentara. Beberapa judul buku yang menjadi target razia di antaranya karya-karya Pramoedya Ananta Toer, mulai dari Jejak Langkah (1985), Bumi Manusia (1980), dan Anak Semua Bangsa (1980). 

Monopoli Buku Sekolah

Salah satu pangsa pasar para pedagang buku Pasar Palasari di masa jayanya adalah sekolah. Banyak pihak sekolah yang mendatangi Pasar Palasari untuk memesan buku ajaran.

Namun kini zaman berubah. Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang secara tidak langsung memangkas rezeki para pedagang di Pasar Palasari. Sekolah tidak boleh lagi mengadakan buku untuk murid-muridnya.

"Padahal dulu setiap sekolah datang ke toko buku kios saya beli buku-buku untuk anak-anak muridnya. Jadi harga kita masih bisa tawar-menawar dengan para pembeli, kan sekarang mah tidak," ucap pemilik kios Dunia Ilmu, Samahadi.

Pemerintah mengeluarkan kebijakan agar pihak sekolah tidak terlibat dalam jual beli buku. Niatnya baik, untuk memangkas praktik korupsi di dunia pendidikan. Pengadaan buku diatur oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang bekerja sama dengan penerbit atau distributor langsung.

Dengan demikian, sekolah hanya mendapatkan buku langsung dari peneribit atau distributor. Bukan lagi dari pedagang buku seperti di Pasar Palasari.

Niat baik pemerintah rupanya berbeda dengan kenyataan. Praktik tidak sehat tetap terjadi, yaitu monopoli. Banyak penerbit/produsen buku yang sengaja membuat buku dan menjualnya sendiri buku mereka ke sekolah.

Para pedagang buku seperti Samahadi menilai telah terjadi kapitalisasi dalam pendidikan. Hal ini membuat para pedagang buku tidak mempunyai celah untuk berjualan buku ke sekolah.

Menurut Samahadi, mestinya pemerintah membuat suatu kebijakan yang memperhatikan alur perdagangan buku. Sehingga kebijakan tentang pengadaan buku sekolah tidak merugikan para pedagang buku di Pasar Palasari.

"Saya mah gak masalah sama perkembangan zaman yang mulai digital. Karena itu mah kemajuan zaman. Tapi saya kecewa akan kebijakan pemerintah yang memaksa kita bersaing dengan produsen," ucap Samahadi.

Buku-buku yang masuk ke Palasari tidak langsung dari distributor melainkan dari para agen yang sudah kerja sama dengan para pedagang. Artinya, alur pendistribusian buku melewati beberapa tangan dan keuntungan dari satu buku pun dibagi di antara tangan-tangan tersebut.

Suasana Pasar Palasari yang menyediakan berbagai macam buku, Jalan Palasari, Bandung, Kamis (3/8/2023). (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)
Suasana Pasar Palasari yang menyediakan berbagai macam buku, Jalan Palasari, Bandung, Kamis (3/8/2023). (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Persaingan Digital

Di era digital, Pasar Palasari kembali menghadapi tantangan berat. Semua orang kini terhubung dengan perangkat digital, ponsel pintar dan komputer. Bacaan-bacaan digital mudah diakses tanpa harus memiliki fisik buku atau tulisannya.

Di saat yang sama, minat orang pada buku cenderung menurun. Anton (32 tahun), pedagang lainnya di Pasar Palasari mengatakan, kemajuan zaman sepertinya menjadi faktor yang mempengaruhi turunnya jumlah penjualan buku.

"Mungkin banyak sekarang beberapa website contoh seperti perpustakaan digital, sehingga kadang perpustakaan di mana mana sudah mulai kehilangan isinya karena internet. Padahal dulu beberapa perpustakaan itu datang ke toko buku untuk mengisi isian perpusnya kan?" ucap Anton.

Anton yakin, meski zaman sudah digital, tetapi buku tak bisa tergantikan. Ada kelebihan-kelebihan tersendiri dari memiliki buku secara fisik dibandingkan digital.

"Kita kan kalo baca bentuk fisik itu lebih jelas sumbernya, terbit tahun berapa? Yang menerbitkan siapa? Ada ISBN nya legal berarti? Dengan baca bentuk fisik juga bagi saya kita menghargai para penulisnya," terang Anton

Walaupun menurutnya banyak penulis juga yang sekarang memilih memproduksi tulisannya melalui penerbit independen untuk dijual sendiri. Mereka tidak lagi berharap banyak pada royalti dari penerbit. Fenomena ini merugikan para pedagang buku.

Jika para pedagang Pasar Palasari mengeluhkan turunnya penjualan, lain lagi dengan data pertumbuhan buku di Indonesia yang relatif stabil. Menurut Ikatan Penertbit Indonesia (Ikapi), dalam tiga tahun terakhir percetakan buku cenderung tumbuh.

Dari tahun 2017 hingga 2018, jumlah judul yang diterbitkan meningkat sebanyak 16.162 judul (meningkat 25,8 persen). Pada 2018 ke 2019, jumlah judul yang diterbitkan meningkat menjadi 16.749 judul (meningkat 21,2 persen). 

Dari sisi distribusi, Ikapi mencatat jaringan Gramedia menyerap 37 persen judul-judul buku baru. Sisanya adalah melalui distribusi sendiri dan saluran toko buku non-Gramedia.

Baca Juga: Pasar Palasari: Razia Buku Kiri, Kebakaran, dan Mimpi Revitalisasi
Pasar Cicaheum: Antara Kebakaran Besar, Koperasi, dan Persib
Menunggu Godot di Pasar Buku Palasari

Kata Pelanggan Palasari

Meski terus menerus diterpa perubahan zaman, Pasar Palasari hingga kini masih memiliki pelanggan setia. Citra bahwa Pasar Palasari sebagai pusat buku-buku dengan harga miring juga masih melekat, seperti diakui Ressa Melian, mahasiswi dari universitas swasta di Bandung.

“Setelah mengunjungi dan membeli buku di Pasar Palasari, menurut saya di Pasar Palasari itu buku-bukunya cukup lengkap. Mulai dari buku cerita anak, buku pelajaran sekolah, dan masih banyak buku buku lainnya,” ucap peremuan yang akrab disapa Ressa.

Menurutnya, Palasari tak hanya duikunjungi mahasiswa. Banyak anak-anak sampai orang tua yang berkunjung ke pasar buku ini.

Namun ia mengakui Pasar Palasari tak seramai dulu lagi. Ia menduga karena sekarang sudah banyak toko-toko buku yang lebih modern dan beberapa orang lebih memilih membeli buku di toko buku modern tersebut.

Pelanggan lainnya, Lia Amalia, menyebut salah satu kelebihan Pasar Palasari adalah menawarkan harga buku yang miring. Hal ini yang membuat Palasari mampu bertahan hingga kini.

“Untuk perbedaan harga buku di palasari dan toko buku modern ngga jauh beda. Tapi kalau di Palasari kita bisa nawar harga. Jadi saya lebih milih membeli buku di Pasar Palasari,” ucap Lia.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//