• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #32: Tjitjalengka Historical Trip dan Upaya untuk Memperkenalkan Literasi Sejarah

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #32: Tjitjalengka Historical Trip dan Upaya untuk Memperkenalkan Literasi Sejarah

Panitia Tjitjalengka Historical Trip menggelar diskusi buku “Dari Bosscha ke Junghuhn”. Menyadarkan pentingnya menumbuhkan basis literasi sejarah.

Muhammad Luffy

Pegiat di Lingkar Literasi Cicalengka

Pembicara dan peserta diskusi buku Dari Junghuhn ke Bosscha yang digelar panitia Tjitjalengka Historical Trip berfoto bersama selepas acara diskusi yang berlangsung di Bumi Kapungkur, Kamis (18/5/2023). (Foto: Dadan Muttaqien)

22 Mei 2023


BandungBergerak.id – Hari Kamis, tanggal 18 Mei 2023 kemarin, panitia Tjitjalengka Historical Trip (THT) mengadakan diskusi buku bertajuk Dari Junghuhn ke Bosscha di Bumi Kapungkur sebagai kegiatan pra-event. Acara itu menghadirkan langsung para penulisnya, antara lain Hawe Setiawan, Hafidz Azhar dan Atep Kurnia. Semula kegiatan ini digelar terbatas untuk panitia dan beberapa orang yang dianggap sebagai tokoh Cicalengka. Tetapi informasi acara ini beredar secara meluas yang sampai ke para peminat di luar Cicalengka, seperti dua orang pasangan paruh baya yang hadir dari Rancaekek.

Dari tiga orang pembicara yang hadir, Hafidz Azhar terlebih dulu menyampaikan pandangannya. Sebagai salah satu penulis ia menjelaskan bagian yang ia tulis, yakni mengenai kehidupan Bosscha sebagai juragan teh sekaligus filantropi yang tinggal di Bandung. Hafidz juga mengungkapkan bahwa Bosscha tidak ada hubungannya dengan Cicalengka. Namun, ia sedikit menguraikan isi buku yang bertalian dengan kegiatan THT seperti kemunculan Bandoeng Vooruit sebagai perkumpulan darmawisata tahun 1930an.

Sementara itu, giliran Atep Kurnia menyampaikan pandangannya. Ia menjelaskan kaitan Junghuhn dengan penelitiannya mengenai batu obsidian. Dalam konteks ini, Atep menghubungkan juga kiprah Junghuhn yang pernah menginjakkan kakinya di Cicalengka. Penjelasan Atep menghadirkan data-data baru tentang perjalanan Junghuhn di Priangan.

Setelah Atep Kurnia, Hawe Setiawan membahas lebih mendalam terkait usaha Junghuhn dalam membuat lanskap Priangan, terutama pengembaraannya di kawasan yang kini terletak di wilayah Kabupaten Bandung. Hawe juga menjelaskan karya-karya dan pemikiran Junghuhn. Menurutnya, selain sebagai naturalis, Junghuhn terpengaruhi oleh filsafat Spinoza mengenai aspek panteisme. Penjelasan Hawe tersebut begitu disimak oleh hadirin. Bahkan secara kebetulan, buku yang sedang didiskusikan itu diambil sebagian dari penelitian disertasi doktoralnya di ITB yang ditulis oleh Hawe.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #29: Kami Masih Membutuhkan Ruang PublikCATATAN DARI BANDUNG TIMUR #30: Masa Depanku atau Masa Depanmu?CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #31: Para Ibu dan Pekerjaan Rumah Mereka Mendidik Anak

Membangun Kesadaran Sejarah

Dari berbagai paparan para pembicara, akhirnya timbul berbagai pendapat dan pertanyaan-pertanyaan yang menarik untuk dihubungkan dengan THT. Salah satu pendapat tersebut muncul dari sesepuh Cicalengka yang akrab disapa Mang Dadan Dania, tentang pentingnya menggali sejarah lokal seperti Cicalengka yang diperkenalkan ke sekolah-sekolah. Menurut Mang Dadan upaya yang dilakukan oleh THT ini merupakan kegiatan belajar yang tidak membosankan. Dalam perkembangannya kini, wisata literasi sejarah memang banyak dilakukan oleh berbagai lembaga pendidikan. Tetapi bagi Mang Dadan, kegiatan dalam mengenal sejarah seperti itu terkadang lebih banyak melakukan wisatanya ketimbang secara serius memahami narasi sejarah yang diterangkan oleh seorang guru. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi panitia THT. Sebab, perlu strategi signifikan sebagai ikhtiar memperkenalkan sejarah Cicalengka ke sekolah-sekolah.

Dalam sesi diskusi itu datang juga pertanyaan dari Nurul Maria Sisilia sebagai moderator kepada tiga pembicara. Pertanyaan tersebut berkaitan dengan refleksi terhadap buku Dari Bosscha ke Junghuhn, yang disusun oleh ketiga pembicara itu. Hafidz mendapat giliran pertama dalam menjawab pertanyaan tersebut. Hafidz menjelaskan bahwa dalam usaha menggali sejarah jangan sampai sekadar menunjukkan romantisisme terhadap semua peninggalan historis yang masih ada. Upaya merefleksikan itu bisa dibuat berupa catatan, sebagaimana yang dilakukan oleh Junghuhn dan Nyi Anah, atau bisa juga membuat sketsa serta hal-hal kreativitas lainnya supaya kegiatan trip itu dapat meninggalkan dokumentasi penting selain foto.

Kemudian, giliran kedua dijawab oleh Atep Kurnia. Menurut Atep, bahwa saat ini masih banyak serpihan sejarah Cicalengka yang belum tertulis dan penting untuk ditelusuri. Ia mengacu pada lembaga pendidikan yang butuh penelusuran lebih lanjut. Apalagi di Cicalengka sendiri sudah banyak sekolah-sekolah swasta dan juga pesantren yang mempunyai pengaruh penting. Bukan hanya itu. Atep juga menjelaskan jejak-jejak kaum pergerakan yang pernah menggeliat di Cicalengka. Ia memberikan contoh Partai Nasional Indonesia afdeeling Cicalengka yang menjadi salah satu basis terbesar di Bandung. Hal itu, bagi Atep, juga belum ada yang menulis. Sebagai bahan diskusi, buku Dari Bosscha ke Junghuhn itu hanya menampilkan bagian kecil mengenai Bandung dan Cicalengka. Dengan demikian hasil refleksi Atep terhadap buku itu menekankan perlu diadakan kembali penulisan sejarah Cicalengka yang belum digali dan ditulis. Dari konteks itu ia berharap agar panitia THT bisa melanjutkan upaya-upaya penulisan sejarah tersebut.

Tiba giliran Hawe Setiawan. Sebagai peneliti Junghuhn, Hawe menyarankan agar kita bisa meneruskan kebiasaan yang dilakukan oleh Junghuhn berupa gambar lanskap yang masih dapat dilihat oleh generasi sekarang ini. Menurutnya, di samping memanfaatkan data-data sejarah untuk dicatat, kita juga bisa menggambarkan narasi-narasi sejarah melalui sketsa atau lukisan sebagai hasil pencerapan yang mengacu pada data-data yang telah ditelusuri sebelumnya.

Memang, dalam mengadakan kegiatan trip sejarah, dibutuhkan pendasaran literasi yang kuat agar memperoleh output dan input dalam memahami peristiwa masa lampau. Bahkan, yang lebih penting, kegiatan trip-trip sejarah seperti THT tidak sebatas acara seremonial yang nantinya tidak mendapatkan hasil apa pun dari kegiatan, yang konon, dianggap sebagai acara literasi itu. Saya sendiri sepakat untuk membangun literasi sejarah terlebih dulu, sebelum orang-orang memulai kegiatan trip tersebut yang ujung-ujungnya hanya sekadar jalan-jalan sambil melihat berbagai peninggalan masa silam. Alasannya, jika mengambil pandangan Hafidz Azhar, akan menghasilkan kolonialisme baru, karena bisa saja masyarakat di sekitar bangunan bersejarah itu merasa terganggu atau menjadi objek sampingan ketika kegiatan trip sedang berjalan.

Dengan demikian acara diskusi buku Dari Bosscha ke Junghuhn yang berlangsung di Bumi Kapungkur tanggal 18 Mei 2023 lalu, hakikatnya, untuk menyadarkan kita terkait pentingnya menumbuhkan basis literasi sejarah. Jangan sampai panitia sebagai penyelenggara tidak lebih tahu dari para peserta yang mengikuti acara THT yang disebabkan kurangnya pengetahuan sejarah, terutama sejarah yang bertautan dengan Cicalengka dan sejarah Bandung sebagai induk di mana Cicalengka itu berada. Mari kita membiasakan membaca terlebih dulu, sebelum mengadakan acara-acara bernuansa literasi agar dapat memproduksi diskursus pengetahuan lanjutan.

* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//