CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #30: Masa Depanku atau Masa Depanmu?
Digitalisasi pendidikan menuntut guru berinovasi dengan merogoh kocek sendiri. Menambah beban kerja, beban psikologis, dan ekonomi. Menjadi tekanan finansial.
Noor Shalihah
Mahasiswa, bergiat di RBM Kali Atas
6 Mei 2023
BandungBergerak.id – Sebuah notifikasi masuk di layar gawai. Pesan itu berisi tentang pengecekan data pengisian survei. Sudah berhari-hari notifikasi itu hadir, beberapa kali diingatkan, lalu dikirimkan siapa saja yang sudah mengisi dan yang belum. Terakhir, ditutup dengan kalimat bernada peringatan: “Jika tidak segera diisi, akan dihubungi oleh pengawas setempat. Saya tidak tahu mengapa untuk melakukan survei seperti melakukan sensus.”
Sederet program pemerintah tentang pendidikan yang meminta kami mengerjakan pekerjaan seperti aksi nyata, survei lingkungan belajar, isian pendaftaran implementasi kurikulum merdeka, perencanaan berbasis data, dan lain sebagainya hanya menambah daftar pekerjaan rumah yang banyak namun kurang dipahami guru. Apakah tidak ada cara yang lebih bagus daripada sekedar mengisi berbagai macam kebijakan pendidikan?
Sebelumnya adalah proyek mengisi platform merdeka mengajar. Para guru dituntut untuk melakukan aksi nyata. Aksi nyata adalah salah satu bagian dari program pelatihan, Untuk mendapatkan salah satu sertifikat, pendidik harus mengunggah beberapa video dalam pembelajaran. Setelah itu ia seharusnya berkembang menjadi diskusi-diskusi di antara guru. Namun, akhirnya ia hanya sekedar pemenuhan tugas.
Beban administratif yang konon mengganggu kinerja guru itu, kini ditambah lagi. Dengan pekerjaan semacam melakukan dokumentasi video, foto, bahkan untuk hal-hal yang sifatnya insidental. Hal ini dikeluhkan beberapa guru karena fasilitas sekolah yang masih terbatas. Jangankan untuk mendapatkan dokumentasi yang baik dan menyeluruh, untuk keberadaan dan keberlangsungan sekolah pun masih dipertanyakan.
Semenjak pendidikan serba di digitalisasi, semua yang dikerjakan hampir semuanya berbau aplikasi, tautan, file, dan benda-benda digital lainnya. Saya pikir dengan serba digital akan menambah pekerjaan efektif dan efisien. Nyatanya jauh panggang dari api: kami harus mengisi data yang sama berulang kali. Sejujurnya, keamanan datanya juga dipertanyakan karena tak ada sistem yang aman untuk memastikan data tersebut digunakan dengan baik.
Tak jarang aktivitas itu terkendala dengan gawai yang tidak kompatibel, memori yang terbatas, kesibukan guru di kelas lebih banyak daripada untuk sekedar melakukan dokumentasi video. Secara tidak langsung, guru memiliki tuntutan untuk menjadi seorang konten kreator. Bukan hanya kendala itu, para guru harus berinovasi dengan merogoh dari sakunya sendiri.
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #29: Kami Masih Membutuhkan Ruang Publik
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #28: Semalter, Belajar Iktikaf untuk Anak-anak dan Remaja
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #27: Menagih Janji Realisasi Pojok Baca Terminal Cicalengka (Sebuah Surat Terbuka)
Dampak Aturan Negara dan Bebannya pada Guru
Kali ini pemerintah mulai menambahkan bahwa masa depan berada pada kemampuan masing-masing. Bagaimana ia bisa bertahan dalam lingkungan kerja yang tak baik. Semua yang berhubungan dengan pekerjaan dan masa depan adalah tanggung jawab pribadinya. Hal ini berbeda dengan apa yang di lapangan di mana tak semua orang memiliki akses.
Yulindrasari, dkk. dalam risetnya menyatakan bahwa ini merupakan sebuah dampak dari Undang-undang Guru tahun 2005 di mana kinerja guru terkhusus guru PAUD mengacu kepada sistem neo-liberalisme. Hal ini mengedepankan sisi maskulinitas. Nilai-nilai yang diterapkan seperti kompetensi, individualisme, dan rasionalisme.
Padahal dalam pendidikan anak usia dini, memerlukan sisi-sisi yang cenderung feminin serta memiliki ikatan emosional. Namun, nyatanya konsep pemerintah berbeda dengan adanya sebuah profesionalisme yang perlu dicapai oleh masing-masing guru. Seperti apa yang diungkapkan oleh Nygreen, guru sebagai teknisi untuk menyampaikan kurikulum.
Selain karena dampak aturan negara, sebagian orang menganut bahwa yang perlu menafkahi dan perlu biaya hidup lebih banyak adalah laki-laki. Sedangkan perempuan dinafkahi. Oleh sebab itulah, terkadang guru PAUD dianggap tak usah dibayar tinggi karena perempuan. Apalagi jika ia memiliki suami, maka tanggung jawab kehidupannya adalah dari suami.
Meskipun sudah memiliki aturan yang jelas mengenai profesi guru, Guru sampai saat ini belum dipandang penuh sebagai sebuah profesi, tapi masih sebagai sebuah pengabdian.
“Suatu hari saya tak dapat gaji atau pernah saya mah cuma kebagian dua puluh lima ribu. Selebihnya saya dahulukan dulu untuk guru-guru.”
Hal itu dirasakan oleh kepala sekolah salah satu Kelompok Bermain di Cicalengka. Begitu pula dengan kepala sekolah yang lain. Mereka membatin karena tak bisa menghidupi gurunya secara layak.
Kadang, biaya untuk menutupi biaya ongkos ke sekolah pun tidak. Bayangkan saja, jarak Ujungberung-Cicalengka. Dua puluh lima ribu hanya untuk satu kali jalan. Meskipun ada yayasan, namun sepertinya ia tak cukup banyak bisa mendanai secara layak guru-guru yang bekerja di sana.
Masih merujuk kepada penelitiannya Yulindrasari, dkk. Tekanan yang semula perlu alasan emosional untuk mendidik anak-anak secara baik, namun mau tak mau dengan pandangan dan meningkatkan beban kerja, beban psikologis, dan ekonomi berubah menjadi tekanan finansial.
Rata-rata penghasilan guru PAUD non PNS per bulan di kecamatan Cicalengka adalah Rp 300.000. Dengan penghasilan sebesar itu, para guru tidak bisa mencukupi kebutuhan dirinya untuk satu bulan. Mau tidak mau, guru harus memiliki penghasilan tambahan untuk bisa bertahan hidup. Beban kerja serba rangkap karena kurang SDM. Kurang pendanaan sekolah menjadi masalah utama.
Masalah seperti ini tidak hanya berdampak kepada dirinya, namun juga pada orang terdekatnya, pasangan.
“Suami saya udah nyuruh saya berhenti bekerja di PAUD.”
Para suami sudah mulai meminta istrinya berhenti dari PAUD. Sebab melihat istrinya kewalahan dengan beban keluarga, kesibukan yang tidak pernah berhenti. Ditambah dengan timbal balik yang seadanya. Seperti dalam sebuah penelitian dari Muzakki, bahwa beban kerja, tekanan kerja, dan lingkungan kerja guru akan mempengaruhi kesejahteraan guru.
Masalah-masalah itu berdatangan, para pendidik PAUD masih bertahan di lembaganya untuk memberikan pendidikan. Satu alasan terkuat adalah pendidikan masyarakat sekitar masih rendah. Meskipun Cicalengka terbilang dekat dengan kota, namun ada beberapa wilayah masyarakat yang masih buta huruf. Karena sebab itulah alasan orang tua menyekolahkan anaknya ke PAUD. Apalagi membimbing anaknya, ia pun tak bisa untuk dirinya sendiri.
Secara tak langsung, baik laki-laki maupun perempuan yang berprofesi sebagai guru PAUD akan dihadapkan pada pilihan masa depan dirinya atau masa depan anak-anak. Bukan lagi semata-mata urusan finansial yang tidak layak, tapi juga menyoal beban kerja. Beban kerja
Persoalan pendidikan kita, sepertinya belum beranjak. Jika diibaratkan guru adalah tulang punggung pendidikan bangsa, bagaimana kita hendak menggantungkan nasib masa depan anak bangsa pada tulang punggung yang rapuh?
* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka