• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #29: Kami Masih Membutuhkan Ruang Publik

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #29: Kami Masih Membutuhkan Ruang Publik

Cicalengka dan mungkin di banyak tempat lain membutuhkan ruang publik yang khusus untuk menyelenggarakan kegiatan literasi. Butuh dukungan nyata pemerintah.

Muhammad Luffy

Pegiat di Lingkar Literasi Cicalengka

Fasilitas Pojok Baca di kompleks Terminal Cicalengka yang tidak kunjung bisa diakses sejak dibangun pada Juni 2021 lalu akibat masalah perizinan. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

29 April 2023


BandungBergerak.id – Sepanjang beberapa tahun terakhir, Lingkar Literasi Cicalengka mempunyai masalah mendasar yang belum terselesaikan. Masalah itu berkaitan dengan ruang kreativitas sebagai wahana untuk mewujudkan gagasan dan mengampanyekan pentingnya lilterasi di masyarakat.Sebetulnya, di Cicalengka sendiri ada beberapa tempat yang bisa digunakan. Entah itu alun-alun maupun gedung terminal sebagai ruang publik; atau aula desa dan kecamatan sebagai tempat untuk mengadakan acara-acara besar. Namun tentu saja, minimnya sokongan dari para pemangku kebijakan tidak mengubah apa pun terkait ruang-ruang yang semakin jauh dari daya kreativitas itu. Padahal menurut hemat saya, ruang-ruang publik seperti tempat-tempat kosong di terminal Cicalengka bisa sangat efektif dalam mengampanyekan literasi, meskipun hal ini tidak banyak dipahami oleh para birokrat yang asyik dengan tetek bengek urusan administratif.

Sejauh ini fungsi ruang publik masih dipahami sebatas sarana rekreasi. Hal ini mungkin merujuk pada pola kapital yang merujuk pada kondisi di sekitarnya. Area alun-alun, misalnya, dikelilingi oleh mal-mal dan pusat perbelanjaan kecil. Di sana juga terdapat para pedagang asongan maupun pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai makanan atau pakaian sehingga orang yang datang ke alun-alun tentu punya motif lain di samping sekadar bermain.Pemanfaatan ruang publik untuk mendobrak daya kreatif mesti terhubung dengan relasi kekuasaan. Jika tidak, para pegiat kreativitas ini akan terancam keberadaannya di ruang publik. Meskipun mereka mempunyai hak dalam menuangkan berbagai opininya.

Menurut Habermas, ruang publik tidak terlepas dari hubungan kekuasaan yang dinilai sebagai proses demokratisasi. Habermas sebagaimana dikutip F. Budi Hardiman (2023), menyebut ruang publik seperti ini sebagai ruang publik politis.Bagi Habermas sendiri ruang publik politis merupakan suatu hakikat dari kondisi komunikasi berupa formasi opini dan aspirasi diskursif dari sebuah publik yang dapat berlangsung. Publik ini pun diartikan oleh Habermas sebagai warga negara atau masyarakat yang mempunyai hak untuk berpendapat. Maka penafsiran Budi Hardiman mengenai pengertian ruang publik dari pandangan Habermas ini, bisa dianggap sebagai prosedur komunikasi (hlm. 134).

Artinya, jika merujuk pada pengertian Habermas tersebut ruang-ruang publik yang berada di Cicalengka tentu merupakan akses untuk mengungkapkan opini warganya atas kondisi yang ada. Kita lihat bagaimana arena diskursif di Cicalengka begitu sulit dan sedikit. Dengan adanya tempat-tempat kosong yang bisa digunakan di terminal atau di aula kecamatan, sebetulnya, dapat melegitimasi fungsi dari ruang publik sebagai celah untuk menyatakan berbagai pendapat warganya. Dalam hal ini, opini-opini yang mengacu pada kultur literasi yang baik dapat memasifkan proses demokrasi. Sehingga, ruang publik seperti alun-alun, ruang-ruang kosong yang terdapat di terminal, bahkan juga aula-aula yang tersedia di kecamatan atau di kantor desa mampu mendorong hak politik warganya untuk membangun kesadaran dalam segala bentuk kreativitasnya.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #28: Semalter, Belajar Iktikaf untuk Anak-anak dan Remaja
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #27: Menagih Janji Realisasi Pojok Baca Terminal Cicalengka (Sebuah Surat Terbuka)
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #26: Melebarkan Gerakan Literasi Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #25: Kawasan Tidak Ramah Lingkungan

Ruang Publik dan Kampanye Literasi 

Dalam pelaksanaannya, memanfaatkan ruang publik sebagai pendorong kesadaran literasi mesti berhadapan juga bukan hanya dengan para penguasa di tingkat kecamatan atau desa, tetapi dengan pihak lain yang dinilai mempunyai kekuasaan lebih atas semua ruang-ruang yang ada. Cicalengka sebagai bagian administratif Kabupaten Bandung tentu akan berelasi dengan pemangku kebijakan di tingkat daerah, maka secara otomatis seluruh perizinan tidak saja berada di bawah naungan camat atau kepala desa. Umpamanya, dalam membangun pojok baca di terminal, Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Bandung tidak bisa mengupayakan secara sepihak, alih-alih mengklaim sebagai program mereka. Sehingga sampai saat ini pojok baca yang telah direncanakan sejak tahun 2021 itu masih pada tahap pengupayaan di sana-sini. Termasuk dalam membujuk Bupati Kabupaten Bandung dan dinas lainnya yang tersambung dengan program tersebut.

Di samping itu, tidak dapat dipungkiri bahwa di Cicalengka ada suatu ruang publik yang sering digunakan sebagai tempat berkesenian. Tempat itu dinamakan Gedung Pertemuan Rakyat atau Gedung Nasional (GDN). Konon, gedung tersebut dibangun saat masa-masa revolusi Indonesia yang berlangsung tahun 1940-an. Sementara hingga sekarang ini gedung itu tidak jarang dimanfaatkan untuk kegiatan teater dan pertunjukan musik yang diadakan secara insidental. Pada hari-hari biasa, GDN sering juga digunakan oleh masyarakat sebagai sarana olahraga bulu tangkis. Dengan ukuran ruangan yang cukup luas, gedung tersebut diatur dengan nuansa lapangan bulu tangkis, selain di bagian depannya terdapat panggung kecil sebagai latar untuk kegiatan seni. Belum lagi letaknya yang berada di pusat Cicalengka, GDN menjadi salah satu ruang publik yang strategis untuk menggelar setiap acara besar tertutup.

Sayangnya, meski GDN menjadi salah satu tempat yang kerap berlangsung acara-acara kesenian, tentu saja tempat tersebut belum dapat mewadahi semua kegiatan komunitas literasi yang saat ini sedang dalam kondisi membutuhkan ruang permanen. Apalagi, setelah beberapa agenda acara terealisasi oleh Lingkar Literasi Cicalengka (LLC), kami yang berada dalam barisan itu seolah melakukan kerja literasi secara liar. Padahal jauh-jauh hari pihak kecamatan telah menyatakan dukungan luar biasa terhadap kegiatan literasi yang dilakukan LLC. Dengan kata lain, kami menganggap bahwa dukungan ini hanyalah komunikasi birokratis tanpa didasarkan kesungguhan yang tulus dan sekadar basa-basi.

Itulah mengapa sampai saat ini masalah mendasar kami para pegiat literasi di Cicalengka ialah membutuhkan ruang publik yang khusus untuk acara-acara literasi. Apa salahnya bila  pemerintahan setempat ikut andil dalam mengupayakan realisasi tempat khusus untuk kegiatan literasi di Cicalengka. Di antaranya, sebuah ruangan yang terletak di gedung area terminal yang sudah direncanakan dua tahun silam sebagai pojok baca oleh Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Bandung. Jika ini sudah resmi digunakan oleh kami, kami tentu tidak akan kebingungan ketika mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membahas acara literasi di Cicalengka. Intinya, kami masih butuh ruang publik yang bisa digunakan untuk kegiatan literasi, dan dukungan yang bukan sekadar basa-basi.

* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//