• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #25: Kawasan Tidak Ramah Lingkungan

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #25: Kawasan Tidak Ramah Lingkungan

Dalam sepuluh tahun terakhir, sekurang-kuranya terjadi beberapa kali longsor di jalur Jalan Cikopo, Dampit sampai Tanjungwangi di Cicalengka Kabupaten Bandung.

Muhammad Luffy

Pegiat di Lingkar Literasi Cicalengka

Papan peringatan rawan longsor di Jalan CIkopo, Cicalengka, yang dipasang BPBD Kabupaten Bandung. (Foto: Muhammad Luffy)

19 Maret 2023


BandungBergerak.id – Rabu malam yang lalu, tanggal 1 Maret 2023, Cicalengka diguyur hujan begitu deras. Saya yang hendak pulang melalui Alun-alun terpaksa harus menunggu hujan besar itu selama dua jam. Yang lebih penting, hujan itu membuat sebagian wilayah Cicalengka ditimpa banjir, bahkan menghadang ke pemukiman di dataran tinggi. Seraya menunggu hujan surut, seorang kawan mengabarkan melalui pesan Whatsapp bahwa di sekitar Jalan H. Darham Cikopo banjir mencapai lutut orang dewasa. Tentu saja kabar itu membuat saya sedih. Sebab, sampai sejauh ini, Jalan Cikopo tak pernah ada riwayat dilanda banjir.

Sejak kapan Jalan H. Darham Cikopo menjadi rawan banjir? Hal ini belum bisa dipastikan. Yang jelas bagi saya dapat diperkirakan sejak lahan-lahan di dataran tinggi Cicalengka kian dipersempit oleh bangunan vila dan perumahan, terutama sekitar Dampit hingga ke Tanjungwangi.

Kawasan Cikopo memang satu arah dengan Dampit di sebelah selatan. Untuk menuju ke sana kita harus melewati jalan berliku yang cukup curam. Lalu di sebelah utara sejurus dengan jantung kota Cicalengka, terdapat pendopo kecamatan, Alun-Alun, Puskesmas, Masjid Agung Cicalengka dan berbagai pusat perbelanjaan, sementara di Jalan H. Darham Cikopo sendiri ada Rumah Sakit Umum Daerah Cicalengka, Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Cicalengka dan beberapa toko makanan, gedung pertokoan yang di sebelahnya berdekatan dengan El Green Residace Cicalengka.

Dari Jalan Cikopo menuju Dampit mula-mula kita akan menemui Bumi Panenjoan di sebelah kanan. Lalu setelahnya ada Green Village Cicalengka di ruas kiri yang terletak di atas kemiringan. Sekitar 500 meter terdapat lahan urukan yang rencananya akan dibangun Rumah Menantu Resort di ruas jalan kanan. Lahan ini tepat berhadapan dengan sebuah bukit, sementara orang menyebut bukit tersebut sebagai Candi yang di sekitar itu terdapat tanah lapang dan sering digunakan orang untuk berjoging.

Bila kita perhatikan di depan urukan yang akan dibuat Rumah Menantu Resort tertancap sebuah plang berwarna kuning yang masih kokoh. Plang tersebut bertuliskan, “Hati-hati, Anda Memasuki Kawasan Rawan Pergerakan Tanah/Longsor” dari Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Kabupaten Bandung. Bahkan plang yang berukuran 50 cm x 1 meter itu sudah ada sebelum lahan-lahan yang semula hijau menjadi hamparan tanah merah seperti sekarang. Sehingga jika kita lihat lagi hari ini tampak pagar menutupi area urukan, ditambah beberapa bendera dan spanduk yang dibentangkan dengan bertuliskan Rumah Menantu Resort dengan berbagai komodifikasinya. Itu menandakan bahwa sepanjang ruas Dampit, terutama di seberang jalan yang berhadapan dengan Candi merupakan kawasan bukan ramah lingkungan, dengan menghasilkan berbagai dampak ekologis yang tidak bisa dihindari.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #24: Memaknai Kembali Arti Belajar bagi Seorang Guru
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #23: Menjejaki Curug Cowang sambil Memahami Literasi Lingkungan
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #22: Kisah Nundang Rundagi di Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #21: Orang Palembang di Cicalengka

Dampak Lahan yang Kian Sempit

Pada tahun 2016 sempat terjadi banjir bandang akibat luapan sungai Citarik di Cicalengka. Imbasnya, beberapa tempat tinggal di sekitar sungai menjadi sasaran banjir bandang.

Sungai Citarik sendiri mengalir di sebagian pedesaan di Kecamatan Cicalengka. Dari Gunung Masigit Kareumbi di Sumedang sebagai hulunya, air melintasi desa Tanjung Wangi, desa Dampit sampai ke kawasan Kabupaten Sumedang. Setiap hujan besar turun, beberapa titik yang berada di dekat sungai Citarik selalu menjadi perhatian, terutama di sekitar pom bensin Panenjoan. Di situ air selalu menggenang dengan volume cukup tinggi, sehingga kerap menyusahkan para pengendara motor untuk melalui jalur tersebut, terutama yang datang dari arah By Pass. Tidak jarang juga pom bensin itu seketika berhenti beroperasi jika banjir besar menerjang.

Pada bulan Januari 2021, di ruas Jalan H. Darham Cikopo pernah terjadi tanah longsor. Timbunan longsor mengarah ke jalur yang akan menuju Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cicalengka, tepatnya, di Desa Babakan Peuteuy. Kendati tidak ada korban jiwa, bencana ini mengindikasikan kerusakan ekologis. Pemicunya, tentu lahan-lahan yang kian dikeruk dan dipersempit oleh perumahan.

Dalam sepuluh tahun terakhir, sekurang-kuranya terjadi beberapa kali longsor di jalur Jalan Cikopo, Dampit sampai Tanjungwangi. Tahun 2013 sempat terjadi longsor di Desa Dampit karena curah hujan yang besar dan cukup lama. Lalu, berdasarkan penelusuran Pikiran Rakyat 15 April 2016, longsor juga kembali melanda kawasan Desa Tanjung Wangi dan Desa Dampit. Meski tidak ada korban jiwa, laporan itu menyebutkan bahwa kerusakan ekologis menjadi salah satu pemicu timbulnya tanah longsor.

Penelitian yang dilakukan oleh Roihan Muhammad Derajat, Lili Somantri dan Iwan Setiawan dalam Jurnal Samudera Geografi berjudul Pemetaan Tingkat Risiko Longsor Berbasis Sistem Informasi Geografis di Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung (2021) bisa menjadi gambaran bahwa terdapat 4 desa yang masuk dalam kriteria risiko bencana tanah longsor sangat tinggi. Keempat desa itu antara lain, Desa Nagrog, Desa Mandalawangi, Desa Tanjung Wangi dan Desa Dampit. Penelitian tersebut juga dilihat berdasarkan variabel kemiringan, curah hujan, bentuk lahan dan penutup lahan, sehingga menghasilkan analisis data dengan potensi tanah longsor yang beragam.

Untuk tingkat risiko aman seluas 12,6 persen, tingkat risiko sedang 24,2 persen, tingkat sedang 12,7 persen, tingkat risiko tinggi 29,1 persen, sedangkan tingkat risiko sangat tinggi seluas 21,4 persen seperti yang ditunjukkan pada Desa Dampit, Desa Tanjung Wangi, Desa Mandalawangi dan Desa Nagrog.

Di bagian akhir penelitian itu mencatat dua poin rekomendasi sebagai pertimbangan dalam mengurangi bencana longsor. Pertama, pengurangan pembangunan perumahan di kawasan pegunungan yang curam. Mungkin dalam hal ini, kawasan Dampit dan Tanjung Wangi termasuk pada kawasan yang curam dan berkelok. Kedua, perlu melakukan penghijauan kembali yang lebih massif dan mempertahankan kondisi hutan yang ada, terkhusus pada wilayah yang sangat rentan bencana tanah longsor.

Dengan demikian penelitian yang ditulis oleh Roihan Muhammad Derajat bersama tiga orang lainnya bisa dijadikan legitimasi bahwa kerusakan ekologis di sekitar Dampit dan Tanjung Wangi bukan sekadar perkiraan belaka. Tak heran bila sampai sekarang dua kawasan itu sering menjadi perhatian karena termasuk ke dalam kawasan yang tidak ramah lingkungan.

*Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan komunitas Lingkar Literasi Cicalengka

Editor: Redaksi

COMMENTS

//